Penelitian CSIS Mengungkap Ambisi Jalur Sutra Digital Tiongkok di Indonesia – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel

20 Oktober 2025, 01.49

unsplash.com

Sebuah laporan mendalam yang dirilis oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia memetakan sebuah fenomena yang diam-diam telah membentuk ulang lanskap ekonomi dan teknologi bangsa: Jalur Sutra Digital (Digital Silk Road/DSR) Tiongkok. Lebih dari sekadar proyek kabel dan menara, inisiatif ini merupakan bagian integral dari Belt and Road Initiative (BRI) yang ambisius, sebuah visi strategis yang menempatkan Indonesia di persimpangan jalan antara peluang pertumbuhan yang fenomenal dan risiko ketergantungan yang mendalam.

Laporan bertajuk “Digital Silk Road and Inclusive Development in Indonesia” ini membongkar lapisan-lapisan pengaruh Tiongkok, mulai dari aplikasi di ponsel pintar kita hingga kabel serat optik yang tertanam di dasar laut Nusantara. Analisis ini bukan hanya relevan bagi para pembuat kebijakan, tetapi juga bagi setiap warga negara yang hidup di tengah revolusi digital yang tak terelakkan ini. Apa sebenarnya Jalur Sutra Digital? Seberapa dalam jejaknya di Indonesia? Dan yang terpenting, apa artinya ini bagi masa depan kita semua?

 

Revolusi Digital Indonesia: Mesin Pertumbuhan di Atas Fondasi yang Rapuh

Di permukaan, kisah digital Indonesia adalah sebuah narasi kesuksesan yang luar biasa. Laporan CSIS menyoroti bagaimana nilai ekonomi digital nasional meroket hingga mencapai US$ 70 miliar pada tahun 2021, sebuah lompatan sebesar 49% hanya dalam satu tahun.1 Pandemi COVID-19, alih-alih memadamkan, justru menyulut api transformasi ini. Terkurung di rumah, masyarakat berbondong-bondong beralih ke dunia maya, menciptakan gelombang 21 juta konsumen digital baru dan mendorong total pengguna internet di Indonesia menembus angka 202,6 juta jiwa.1 Sektor informasi dan komunikasi menjadi bintang terang di tengah kontraksi ekonomi, tumbuh lebih dari 10% saat sektor lain terpuruk.1

Namun, di balik angka-angka yang memukau ini, laporan tersebut mengungkap sebuah paradoks yang mengkhawatirkan. "Demam emas digital" ini ternyata dibangun di atas fondasi yang rapuh. Ibarat membangun gedung pencakar langit di atas tanah yang belum sepenuhnya padat, pertumbuhan pesat ini ditopang oleh infrastruktur dan kapabilitas yang tertinggal. Data menunjukkan kecepatan internet seluler Indonesia berada di peringkat 120 dunia, jauh di bawah rata-rata global.1 Ini adalah sebuah ironi: sebuah bangsa dengan salah satu populasi online terbesar di dunia justru berselancar di jalur lambat.

Kerapuhan ini tidak hanya bersifat fisik. Laporan CSIS juga menyoroti kelemahan fundamental dalam sumber daya manusia. Indeks literasi digital Indonesia hanya berada di angka 3,47 dari skala 5.1 Yang lebih mengkhawatirkan, skor terendah justru berada pada sub-indeks "Literasi Informasi dan Data"—kemampuan esensial untuk mencari, menyaring, dan memverifikasi informasi. Di era disinformasi yang merajalela, kelemahan ini adalah kerentanan strategis.

Ledakan jumlah pengguna digital, jika dianalisis lebih dalam, ternyata tidak didorong oleh infrastruktur berkualitas atau keterampilan canggih, melainkan oleh kebutuhan mendesak akibat pandemi dan aksesibilitas ponsel pintar. Fenomena ini menciptakan ekonomi digital "kuantitas di atas kualitas", sebuah ekosistem partisipasi massal yang belum tentu diimbangi oleh produksi digital bernilai tinggi. Kondisi inilah yang membuka pintu lebar-lebar bagi para pemain eksternal yang datang menawarkan solusi atas kepingan yang hilang: infrastruktur yang andal dan platform yang ramah pengguna. Di sinilah Jalur Sutra Digital Tiongkok menemukan momentumnya yang sempurna.

 

Membedah Ambisi Tiongkok: Apa Sebenarnya Jalur Sutra Digital (DSR)?

Untuk memahami dampak DSR di Indonesia, kita harus terlebih dahulu memahami apa sebenarnya inisiatif ini. Laporan CSIS dengan tegas menyatakan bahwa DSR bukanlah sekadar program bantuan pembangunan infrastruktur internet. Ia adalah komponen inti dari visi geopolitik Tiongkok yang lebih besar, sebuah pilar digital dari Belt and Road Initiative (BRI).1

Di Balik Proyek Infrastruktur: Sebuah Visi untuk Supremasi Teknologi Global

Saat Presiden Xi Jinping pertama kali mengartikulasikan visi DSR, ia tidak hanya berbicara tentang konektivitas. Ia berbicara tentang masa depan yang akan didefinisikan oleh kecerdasan buatan (AI), komputasi kuantum, mahadata (big data), dan kota pintar (smart cities).1 Laporan ini menggarisbawahi bahwa DSR adalah manifestasi dari upaya Tiongkok untuk mencapai "supremasi teknologi" dan secara sistematis mengurangi ketergantungannya pada teknologi Barat.1 Dalam kerangka ini, data secara eksplisit disebut sebagai "sutra jenis baru" yang dialirkan melalui jalur modern ini.1

DSR bukanlah proyek tunggal, melainkan sebuah ekosistem yang terdiri dari beberapa komponen kunci yang saling terkait:

  • Pembangunan Tulang Punggung Digital: Ini mencakup pembangunan infrastruktur fisik fundamental seperti kabel serat optik bawah laut dan darat, jaringan seluler 5G, serta pusat data (data center).1
  • Pengembangan Teknologi Canggih: Tiongkok secara agresif mendorong pengembangan dan adopsi AI, di mana data dari negara-negara mitra DSR menjadi bahan bakar utamanya.1
  • Penyebaran Sistem Navigasi Satelit: Inisiatif ini secara aktif mempromosikan penggunaan sistem satelit Beidou sebagai alternatif dari GPS milik Amerika Serikat, dengan tujuan mengintegrasikan negara-negara mitra ke dalam ekosistem navigasi Tiongkok.1
  • Ekspansi Ekosistem E-commerce: Raksasa seperti Alibaba didorong untuk membangun zona perdagangan bebas digital dan mengintegrasikan sistem pembayaran lintas batas, memperkuat sirkulasi ekonomi digital yang berpusat di Tiongkok.1

Analisis laporan CSIS membawa kita pada pemahaman yang lebih dalam: DSR bukan hanya strategi ekspor untuk perusahaan teknologi Tiongkok. Ini adalah sebuah cetak biru komprehensif untuk menetapkan standar dan model tata kelola bagi internet generasi berikutnya, dengan Tiongkok sebagai pusatnya. Dengan menanamkan teknologinya—jaringan 5G Huawei, layanan komputasi awan Alibaba, sistem satelit Beidou—ke dalam infrastruktur negara-negara seperti Indonesia, Tiongkok tidak hanya membangun jaringan. Ia membangun sebuah ekosistem global yang beroperasi di atas standar teknis dan protokol yang mereka definisikan. Bagi Indonesia, ini berarti keputusan untuk berpartisipasi dalam DSR bukan sekadar soal mendapatkan kabel internet yang lebih murah, melainkan sebuah langkah jangka panjang yang akan menyelaraskan sebagian masa depan digitalnya dengan lingkup teknologi yang berpusat pada Tiongkok.

 

Jejak Raksasa di Nusantara: Bagaimana Investasi Tiongkok Sudah Mengakar Kua

Pengaruh Jalur Sutra Digital di Indonesia bukanlah sebuah konsep abstrak di masa depan; ia adalah sebuah realitas yang sudah tertanam kuat dalam ekosistem digital kita hari ini. Laporan CSIS memetakan jejak ini dengan sangat jelas, menunjukkan strategi Tiongkok yang bergerak melalui dua jalur utama secara simultan.

Dari Aplikasi di Ponsel Anda hingga Kabel di Dasar Laut: Peta Pengaruh Digital Tiongkok

Strategi Tiongkok di Indonesia dapat diibaratkan sebagai gerakan menjepit dua sisi. Di satu sisi, mereka menguasai "jalan tol digital" melalui pembangunan infrastruktur. Di sisi lain, mereka mengendalikan "pusat perbelanjaan digital" yang ramai di atas jalan tol tersebut melalui investasi modal.

  • Aliran Modal ke Raksasa Teknologi Lokal:
    • Tencent, raksasa teknologi di balik WeChat, menyuntikkan dana sebesar US$ 150 juta ke Gojek pada tahun 2017.1
    • Alibaba Group tidak hanya mengucurkan dana US$ 4 miliar ke Lazada, tetapi juga menjadi salah satu pemegang saham kunci di GoTo (hasil merger Gojek dan Tokopedia) dengan kepemilikan 12,6%.1 Investasi ini menempatkan Alibaba sebagai pemain berpengaruh di balik dua unicorn terbesar di Indonesia.
  • Pembangunan Fondasi Infrastruktur Fisik:
    • Huawei memainkan peran krusial dalam proyek strategis nasional, Palapa Ring. Perusahaan ini ditugaskan untuk membangun 1.600 km kabel serat optik bawah laut yang menghubungkan Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku Utara.1 Proyek ini secara efektif membangun "sistem saraf digital" baru bagi bangsa, menjangkau wilayah-wilayah yang secara historis tertinggal dalam perlombaan digital.
  • Dominasi di Awan (Cloud) dan Data:
    • Baik Tencent maupun Alibaba telah membangun beberapa pusat data di Indonesia.1 Langkah ini tidak hanya melokalkan layanan komputasi awan, membuatnya lebih cepat dan terjangkau bagi bisnis lokal, tetapi juga menempatkan mereka sebagai penjaga gerbang bagi data digital Indonesia dalam jumlah masif.

Kedua jenis investasi ini—infrastruktur dan platform—bukanlah aktivitas yang terpisah, melainkan saling memperkuat. Infrastruktur yang lebih baik dan lebih murah dari Huawei memungkinkan platform seperti Tokopedia dan Gojek (yang didukung oleh modal Tiongkok) untuk memperluas layanan mereka ke area-area yang sebelumnya tidak terjangkau. Ini menciptakan sebuah siklus yang menguntungkan: Huawei membangun jalannya, dan perusahaan-perusahaan yang sangat dipengaruhi oleh modal Tiongkok menjadi lalu lintas dominan di jalan tersebut. Integrasi yang mendalam ini membuat pengaruh Tiongkok menjadi bagian yang sulit dipisahkan dari kain tenun ekonomi digital Indonesia, meningkatkan pertaruhan bagi setiap keputusan kebijakan di masa depan.

 

Dampak Nyata bagi Masyarakat: Konektivitas, Pekerjaan, dan Layanan Publik

Di tengah percakapan geopolitik dan strategi korporat, pertanyaan yang paling mendasar adalah: apakah kehadiran Jalur Sutra Digital ini benar-benar membawa manfaat bagi masyarakat Indonesia? Laporan CSIS mencoba menjawabnya dengan melihat tiga area krusial: konektivitas, pekerjaan, dan layanan publik.

Apakah Kehidupan Anda Menjadi Lebih Baik? Menimbang Manfaat dan Biaya Sosial

Analisis menunjukkan bahwa dampak paling signifikan dari DSR bukanlah penciptaan lapangan kerja secara langsung, melainkan perannya sebagai enabler atau pemungkin bagi inovasi dan layanan lokal, terutama di saat-saat krisis.

  • Konektivitas yang Lebih Merata: Laporan ini secara langsung mengaitkan proyek-proyek seperti keterlibatan Huawei dalam Palapa Ring dengan upaya nyata untuk mengatasi kesenjangan digital.1 Bagi jutaan orang di Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku Utara, proyek ini adalah jembatan menuju ekonomi digital yang sebelumnya hanya bisa mereka saksikan dari kejauhan. Ini adalah solusi konkret untuk masalah ketimpangan infrastruktur yang telah lama membelenggu Indonesia.
  • Pekerjaan dan Paradoks Keterampilan: Ekonomi digital yang meledak menciptakan permintaan besar akan talenta. Diperkirakan Indonesia membutuhkan 17,5 juta pekerja yang melek teknologi pada tahun 2034.1 Namun, ada kesenjangan besar antara permintaan ini dan pasokan tenaga kerja terampil. Menanggapi hal ini, Huawei meluncurkan inisiatif untuk melatih 100.000 pejabat dan talenta digital Indonesia selama lima tahun.1 Meskipun merupakan langkah positif, ini juga menyoroti bagaimana solusi untuk kesenjangan keterampilan nasional sebagian bergantung pada inisiatif korporat asing.
  • Layanan Publik yang Bertransformasi: Manfaat paling nyata mungkin terasa selama pandemi. Laporan CSIS menunjukkan hubungan sebab-akibat yang jelas: perbaikan infrastruktur digital (sebagian didanai dan dibangun oleh perusahaan terkait DSR) memungkinkan ledakan layanan esensial. Pertumbuhan pesat platform edutech seperti Ruangguru dan healthtech seperti Halodoc adalah contoh utama dari efek limpahan positif ini.1 Tanpa konektivitas yang memadai untuk mendukung pembelajaran jarak jauh dan telemedisin, krisis kesehatan dan pendidikan bisa menjadi jauh lebih buruk.

Namun, di balik manfaat ini, ada sebuah pertukaran yang subtil. Keberhasilan inovator lokal menjadi bergantung pada infrastruktur yang dibangun dan, dalam beberapa kasus, dikendalikan oleh entitas asing. Indonesia mendapatkan keuntungan langsung dalam penyediaan layanan publik, tetapi secara bertahap menukarnya dengan sebagian otonomi teknologinya di masa depan. Para inovator bangsa sedang membangun masa depan mereka di atas fondasi yang dikendalikan oleh para jawara korporat dari satu kekuatan asing.

 

Catatan Kritis: Menavigasi Risiko Ketergantungan dan Kedaulatan Data

Laporan CSIS tidak hanya memaparkan peluang, tetapi juga menyalakan lampu kuning terhadap risiko-risiko strategis yang menyertainya. Bagian ini menyoroti pertanyaan-pertanyaan sulit yang harus dijawab Indonesia jika ingin memanfaatkan DSR tanpa terjebak dalam perangkapnya.

Peluang Emas atau Jebakan Strategis? Pertanyaan Sulit yang Harus Dijawab Indonesia

Kekhawatiran utama yang diangkat adalah risiko ketergantungan teknologi. Laporan tersebut secara eksplisit menyuarakan kekhawatiran bahwa Indonesia bisa menjadi "terlalu bergantung pada Huawei sebagai satu-satunya sumber pasokan teknologi mereka".1 Ketergantungan pada satu vendor, terutama untuk infrastruktur kritis seperti jaringan 5G, menciptakan risiko technological lock-in—sebuah situasi di mana biaya untuk beralih ke penyedia lain menjadi sangat mahal atau bahkan tidak mungkin, memberikan kekuatan tawar yang sangat besar kepada vendor tersebut.

Namun, kerentanan terbesar Indonesia, menurut analisis ini, bukanlah pada teknologi itu sendiri, melainkan pada regulasi. Laporan tersebut menyoroti fakta bahwa kerangka kerja tata kelola data Indonesia sudah usang dan terfragmentasi.1 Pedoman utama yang ada berasal dari tahun 2007, sebuah era yang sangat berbeda sebelum ledakan big data dan AI. Kekosongan hukum ini terjadi bersamaan dengan realitas di lapangan: raksasa teknologi Tiongkok secara agresif membangun pusat data dan mengendalikan platform yang memproses data pribadi jutaan orang Indonesia setiap detiknya.

Ini menciptakan ketidaksesuaian kecepatan yang berbahaya. Di satu sisi, ada aktor yang bergerak cepat (perusahaan teknologi Tiongkok) yang menggelar ribuan kilometer kabel dan membangun pusat data saat ini juga. Di sisi lain, ada birokrasi Indonesia yang bergerak lambat, dengan rancangan peraturan baru yang berjalan tanpa banyak daya tarik.1 Ketimpangan ini berarti pada saat regulasi yang komprehensif berhasil disahkan, realitas teknologi dan pasar mungkin sudah ditetapkan secara permanen oleh pemain asing. Aturan main baru akan ditulis setelah pertandingan selesai. Ini menimbulkan pertanyaan fundamental: siapa yang sesungguhnya memiliki dan mengendalikan "sutra baru" Indonesia, yaitu datanya? Tanpa kerangka regulasi yang kuat dan berdaulat, Indonesia berisiko menjadi "koloni digital"—kaya akan data, tetapi miskin dalam kendali atas aset paling berharganya itu.

 

Arah ke Depan: Merancang Masa Depan Digital Indonesia yang Berdaulat

Menghadapi realitas yang kompleks ini, laporan CSIS tidak berhenti pada kritik, tetapi menawarkan jalan ke depan. Empat rekomendasi kebijakan utama diajukan sebagai panduan bagi Indonesia untuk menavigasi Jalur Sutra Digital secara cerdas dan strategis.

Rekomendasi ini bukan tentang menolak kerja sama, melainkan tentang mengelolanya dengan kedaulatan sebagai kompas utama.

  1. Diversifikasi Infrastruktur: Indonesia harus terus bekerja sama untuk membangun infrastruktur digitalnya, tetapi secara sadar melakukan diversifikasi mitra dan vendor. Menghindari ketergantungan berlebihan pada satu negara atau perusahaan adalah kunci untuk menjaga otonomi teknologi dan keamanan nasional.1
  2. Perkuat Tata Kelola Data: Ini adalah prioritas paling mendesak. Indonesia harus segera merumuskan dan menerapkan aturan main yang modern, komprehensif, dan berdaulat untuk keamanan data, privasi, dan aliran data lintas batas. Regulasi ini harus menjadi benteng yang melindungi aset data nasional.1
  3. Dorong Ekosistem E-commerce Lokal: Pemerintah perlu secara aktif membina ekosistem e-commerce dan layanan digital lokal yang kompetitif. Tujuannya adalah memastikan bahwa infrastruktur baru yang dibangun tidak hanya menjadi pasar bagi pemain asing, tetapi juga menjadi landasan bagi tumbuhnya juara-juara digital dari dalam negeri.1
  4. Investasi Masif pada Talenta Digital: Kedaulatan digital sejati hanya dapat dicapai jika bangsa ini memiliki sumber daya manusianya sendiri. Diperlukan investasi besar-besaran dalam pelatihan keterampilan digital di semua tingkatan, memastikan bahwa orang Indonesia tidak hanya menjadi konsumen, tetapi juga pencipta dan inovator dalam ekonomi digital mereka sendiri.1

Pada akhirnya, Jalur Sutra Digital menawarkan sebuah persimpangan jalan bagi Indonesia. Jika dikelola dengan kedaulatan digital sebagai kompas utama, kolaborasi ini berpotensi menjembatani kesenjangan bangsa dalam satu dekade. Namun, jika melaju tanpa peta regulasi yang jelas, risikonya adalah menjadi pasar digital raksasa yang makmur, tetapi buku aturannya ditulis oleh pihak lain. Pilihan ada di tangan kita.