Penelitian Big Data Ini Mengungkap Kode Rahasia Harga Indekos Yogyakarta – dan Ini yang Harus Diketahui Pemilik Properti!

Dipublikasikan oleh Hansel

28 Oktober 2025, 13.20

rukita.com

Pasar indekos di Yogyakarta adalah sebuah paradoks. Di satu sisi, ini adalah pasar properti yang masif, didorong oleh gelombang migrasi konstan dari mahasiswa baru dan pekerja muda. Di sisi lain, penetapan harganya sering kali terasa buram, lebih didorong oleh "perasaan" pemilik dan "harga tetangga" daripada oleh data yang solid.

Mengapa satu indekos di lokasi yang sama bisa dihargai Rp 800.000 per bulan, sementara yang lain di sebelahnya menuntut Rp 2.500.000? Fasilitas apa yang sebenarnya dicari penyewa, dan fasilitas apa yang memberi pemilik properti lisensi untuk menaikkan harga?

Sebuah penelitian tesis mendalam dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta akhirnya berhasil membongkar "kotak hitam" ini.1 Penelitian yang dilakukan oleh Erlinda Gilberta Wibawa pada tahun 2021 ini tidak menggunakan survei kuesioner yang lambat dan subjektif. Sebaliknya, penelitian ini menggunakan senjata modern: Big Data-Driven Analytics.1

Dengan "menyapu" dan menganalisis ribuan data digital dari platform pencarian indekos terkemuka, Mamikos, penelitian ini berhasil memetakan DNA pasar indekos Yogyakarta. Hasilnya adalah sebuah panduan strategis yang mengungkap fasilitas apa yang paling signifikan secara statistik dalam membedakan indekos murah dan premium.

Bagi pemilik properti dan investor, ini bukan sekadar informasi menarik—ini adalah cetak biru untuk pengambilan keputusan investasi.

 

Di Balik Ledakan Pasar: Pertarungan 'Kenyamanan' di Kota Pelajar

Untuk memahami mengapa penelitian ini sangat penting, kita harus melihat siapa sebenarnya yang membanjiri pasar Yogyakarta. Latar belakang masalah yang diidentifikasi penelitian ini menyoroti bahwa Yogyakarta adalah magnet migrasi nasional.1 Namun, ini bukanlah sembarang migran.

Data menunjukkan bahwa para migran ini didominasi oleh individu dengan jenjang pendidikan tinggi (Gambar 1.1 dalam tesis) dan berstatus sebagai pekerja atau sedang mencari pekerjaan (Gambar 1.2 dalam tesis).1

Ini adalah poin krusial. Permintaan yang membanjiri Yogyakarta bukanlah sekadar permintaan akan "atap di atas kepala". Ini adalah permintaan dari demografi yang cerdas, terdidik, dan memiliki ekspektasi spesifik. Mereka adalah mahasiswa pascasarjana, profesional muda, dan digital nomad yang menuntut kenyamanan, privasi, dan konektivitas.

Di sinilah letak masalah yang ingin dipecahkan oleh penelitian ini.1 Pertarungan di pasar indekos Yogyakarta yang sangat jenuh ini telah bergeser. Ini bukan lagi tentang "mengisi kamar", tetapi tentang "membenarkan harga premium".

Pemilik properti terjebak dalam teka-teki investasi: Apakah lebih baik menghabiskan Rp 30 juta untuk merenovasi kamar mandi dalam di 10 kamar, atau menggunakan uang yang sama untuk memasang AC di setiap kamar? Apakah penambahan dapur bersama akan menaikkan harga sewa lebih tinggi daripada peningkatan kecepatan WiFi?

Investasi yang salah berarti biaya modal yang tinggi tanpa pengembalian harga sewa yang sepadan. Penelitian ini, oleh karena itu, berfungsi sebagai panduan intelijen pasar yang vital untuk menavigasi keputusan investasi tersebut.

 

Membongkar 'Kotak Hitam' Harga: Bagaimana Peneliti 'Menginterogasi' Ribuan Data Mamikos

Untuk mendapatkan jawaban berbasis data, penelitian ini menerapkan metodologi dua langkah yang canggih.1

Langkah pertama adalah pengumpulan Big Data. Peneliti menggunakan perangkat lunak web scraping bernama ScrapeStorm untuk "menyisir" dan mengekstraksi data secara digital dari ribuan daftar indekos di platform Mamikos.1 Proses ini bukanlah sekadar mengunduh data; ini adalah investigasi digital yang cermat. Perangkat lunak ini diprogram untuk "mengklik" setiap daftar, masuk ke halaman detail, dan mengekstrak puluhan variabel untuk setiap properti—mulai dari harga, luas kamar, hingga daftar centang setiap fasilitas yang ditawarkan.1

Setelah ribuan titik data ini dikumpulkan dan dibersihkan 1, penelitian memasuki tahap kedua: analisis statistik canggih menggunakan "Regresi Logistik Multinomial".1

Istilah ini mungkin terdengar teknis, tetapi konsepnya sangat kuat dan harus dipahami oleh setiap pemilik properti.

Pertama, peneliti mengelompokkan semua indekos di pasar ke dalam empat kelas harga, mirip dengan peringkat bintang hotel: Bintang 1 (termurah), Bintang 2, Bintang 3, dan Bintang 4 (termahal).1

Selanjutnya, model Regresi Logistik Multinomial bertindak sebagai "mesin prediksi probabilitas". Alih-alih hanya mengatakan "kos mahal punya AC" (sebuah korelasi sederhana yang lemah), model ini mengisolasi dampak dari setiap fasilitas.

Model ini menjawab pertanyaan yang jauh lebih penting: "Jika kita mengambil indekos Bintang 1 sebagai dasar, seberapa besar peningkatan probabilitas (peluang) indekos itu untuk 'melompat' ke kelas Bintang 4 jika ia menambahkan AC?"

Dengan menghitung probabilitas ini untuk setiap fasilitas, penelitian ini berhasil mengidentifikasi secara tepat fasilitas mana yang paling signifikan secara statistik dalam membedakan satu kelas harga dari kelas lainnya.1 Ini mengubah data mentah Mamikos dari sekadar "daftar iklan" menjadi "intelijen pasar" yang dapat ditindaklanjuti.

 

Peta Fasilitas Sleman & Bantul: Lahirnya 'Tiga Serangkai' Penentu Harga Premium

Ketika data untuk Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul dianalisis, sebuah pola yang sangat jelas dan konsisten muncul. Kedua wilayah ini, meskipun secara geografis terpisah (Sleman di utara, Bantul di selatan), berfungsi sebagai wilayah satelit utama yang menampung kampus-kampus besar seperti UGM dan UII di Sleman, serta UMY dan ISI di Bantul.

Pasar di kedua wilayah ini didorong oleh demografi yang identik: mahasiswa dan profesional muda yang baru datang, yang sensitif terhadap harga namun mendambakan kenyamanan dasar.

Temuan di Kabupaten Sleman

Analisis data regresi untuk Kabupaten Sleman 1 mengungkapkan tiga fasilitas utama yang secara konsisten menjadi pembeda harga paling kuat.

Dalam analisis fasilitas kamar 1, dua item menonjol dengan signifikansi statistik yang sangat tinggi: AC (Air Conditioner) dan Kamar Mandi Dalam. Ketersediaan kedua fasilitas ini secara dramatis meningkatkan probabilitas sebuah indekos untuk diklasifikasikan sebagai Bintang 2, Bintang 3, atau Bintang 4, dibandingkan dengan Bintang 1.

Pilar ketiga ditemukan dalam analisis fasilitas bersama 1: WiFi (Internet). Sama seperti AC dan Kamar Mandi Dalam, WiFi terbukti sangat signifikan dalam membedakan semua kelas harga premium dari kelas dasar.

Fasilitas lain seperti Kloset Duduk dan Water Heater (Pemanas Air) juga signifikan 1, tetapi dampaknya lebih terasa dalam membedakan antara kelas menengah (Bintang 3) dan kelas atas (Bintang 4). Namun, fondasi untuk keluar dari kelas Bintang 1 adalah trio AC, Kamar Mandi Dalam, dan WiFi.

Temuan di Kabupaten Bantu

Temuan di Kabupaten Bantul 1 menceritakan kisah yang hampir identik, mengkonfirmasi pola "pasar satelit".

Analisis data Bantul kembali menunjukkan "Tiga Serangkai" yang sama sebagai pendorong harga yang paling konsisten dan signifikan secara statistik. Kehadiran AC 1, Kamar Mandi Dalam 1, dan WiFi 1 secara konsisten meningkatkan kemungkinan indekos berada di kelas harga yang lebih tinggi (Bintang 2, 3, dan 4) dibandingkan dengan Bintang 1.

Fasilitas tambahan seperti Air Panas dan Layanan Kebersihan Kamar juga menunjukkan signifikansi di Bantul 1, tetapi "Tiga Serangkai" tersebut tetap menjadi fondasinya.

Implikasi dari temuan gabungan ini melahirkan apa yang bisa disebut "Model Investasi Satelit". Jika Anda membangun atau merenovasi indekos di wilayah universitas di pinggiran Yogyakarta (Sleman atau Bantul), investasi yang non-negosiabel untuk menembus pasar premium adalah AC, Kamar Mandi Dalam, dan WiFi.

Rangkuman perbandingan fasilitas dalam penelitian 1 menegaskan hal ini: indekos Bintang 1 hampir tidak pernah menyediakan ketiga fasilitas ini. Menambahkannya adalah langkah pertama dan paling kuat untuk membenarkan kenaikan harga sewa.

 

Anomali Kota Yogyakarta: Pertarungan Antara 'Standar Wajib' dan 'Kemewahan Murni'

Namun, ketika peneliti menganalisis data untuk pusat Kota Yogyakarta 1, ceritanya berubah drastis. Pasarnya jauh lebih kompleks dan "dewasa" (mature) dibandingkan dengan pasar "berkembang" (emerging) di Sleman dan Bantul.

Di Kota Yogyakarta, model statistik menemukan sesuatu yang unik: adanya "fasilitas standar wajib".

Analisis data regresi 1 menunjukkan bahwa fasilitas seperti Kasur/Tempat Tidur, Kipas Angin, Meja Belajar, Akses 24 Jam, dan Ruang Tamu bukanlah lagi "pembeda" harga. Mereka adalah ekspektasi dasar atau "harga tiket masuk" untuk bersaing di pasar pusat kota.

Model tersebut menemukan bahwa probabilitas indekos di kelas Bintang 2, Bintang 3, atau Bintang 4 tidak memiliki fasilitas dasar ini hampir nol.1 Sebagai perbandingan, di Sleman, ketersediaan "Kasur" saja masih merupakan pembeda yang signifikan untuk Bintang 3 1, menunjukkan betapa berbedanya tingkat ekspektasi pasar.

Jadi, apa yang menentukan harga premium Bintang 4 di Kota Yogyakarta? Jawabannya adalah lapisan kemewahan di atas standar wajib tersebut.

Pembeda yang paling signifikan secara statistik untuk indekos Bintang 4 di Kota Yogyakarta adalah 1:

  1. AC (Air Conditioner) 1
  2. Air Panas (Water Heater) 1
  3. Security (Keamanan) 1

Implikasinya jelas dan melahirkan "Model Investasi Pusat Kota". Di pusat kota yang padat dan kompetitif 1, pemilik properti tidak bisa lagi bersaing hanya dengan "Tiga Serangkai" (AC, Kamar Mandi Dalam, WiFi). Kamar Mandi Dalam dan WiFi sudah dianggap standar.

Untuk membenarkan harga sewa Bintang 4, investasi harus difokuskan pada kenyamanan premium (Air Panas) dan rasa aman (Security 24 jam). Ini adalah strategi investasi yang berbeda dan lebih mahal, yang mencerminkan kedewasaan dan tingkat persaingan pasar di jantung kota.

 

Temuan Kunci yang Mengejutkan: Ternyata, Kamar Mandi Adalah Raja

Setelah menganalisis semua wilayah dan kategori fasilitas—mulai dari fasilitas kamar, fasilitas bersama, hingga layanan—penelitian ini sampai pada satu kesimpulan utama yang jelas dan mungkin mengejutkan.1

Bukan fasilitas kamar (seperti AC atau TV) yang menjadi prioritas kolektif utama. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Fasilitas Kamar Mandi adalah kategori fasilitas paling penting dan menjadi prioritas utama dalam menentukan kelas harga sewa indekos di seluruh wilayah studi.1

Semakin tinggi kelas harga sewa, semakin lengkap fasilitas kamar mandi yang harus disediakan.

Ini adalah wawasan psikologis yang penting bagi investor. Sebuah kamar tidur pada dasarnya adalah komoditas—hanya sebuah ruang dengan tempat tidur. Namun, kamar mandi menyentuh tiga kebutuhan psikologis yang mendalam bagi penyewa modern:

  1. Privasi (ketersediaan Kamar Mandi Dalam 1).
  2. Kebersihan/Higienitas (ketersediaan Kloset Duduk dan Shower 1).
  3. Kenyamanan Murni (ketersediaan Air Panas 1).

Temuan ini menunjukkan bahwa penyewa modern 1 bersedia membayar harga premium bukan hanya untuk "ruang", tetapi untuk "pengalaman hidup" yang beradab, privat, dan nyaman. Kamar mandi adalah inti dari pengalaman tersebut. Investasi pada peningkatan kualitas kamar mandi kemungkinan besar memiliki Return on Investment (ROI) tertinggi dalam menaikkan persepsi harga properti Anda.

 

Kritik Realistis: Apa yang Tidak Dikatakan oleh Data Besar Ini?

Sebuah laporan yang kredibel harus mengakui keterbatasannya. Tesis ini secara jujur memaparkan beberapa kritik realistis terhadap metodologinya, yang penting untuk dipahami sebelum menerapkan temuannya secara mentah-mentah.1

Keterbatasan terbesar adalah Kualitas vs. Kuantitas. Model Regresi Logistik Multinomial yang digunakan 1 adalah model biner. Ia hanya tahu apakah sebuah fasilitas itu "Ada" (dicatat sebagai angka 1) atau "Tidak Ada" (angka 0).1 Model ini tidak bisa mengukur kualitas dari fasilitas tersebut.

Sebagai contoh, model ini tidak membedakan antara "WiFi" dengan kecepatan 5 Mbps yang digunakan bersama oleh 20 kamar, dengan "WiFi" berkecepatan 100 Mbps pribadi di setiap kamar. Keduanya hanya dicatat sebagai "Ada WiFi". Model ini juga tidak tahu apakah AC yang tersedia benar-benar dingin atau hanya mengeluarkan angin, atau apakah kamar mandi dalam yang disediakan terawat bersih atau berjamur dan kotor.

Kedua, ada "gajah di dalam ruangan" yang diabaikan oleh model ini: Lokasi Strategis (Proximity). Penelitian ini secara eksplisit menyatakan bahwa variabel lokasi strategis—seperti jarak indekos ke kampus, pusat perbelanjaan, atau area perkantoran—tidak dimasukkan dalam analisis.1

Dalam dunia nyata, kita semua tahu bahwa lokasi adalah raja. Sebuah indekos Bintang 1 (tanpa fasilitas apa pun) yang berjarak 50 meter dari gerbang utama Fakultas Teknik UGM mungkin memiliki harga sewa yang sama atau bahkan lebih mahal daripada indekos Bintang 4 di Bantul yang berjarak 30 menit dari kampus.

Terakhir, sumber data hanya terbatas pada satu platform, yaitu Mamikos.1 Meskipun Mamikos dominan, data ini mengabaikan daftar dari platform pesaing (seperti Infokost) dan, yang lebih penting, ribuan indekos yang masih beriklan secara offline dari mulut ke mulut atau dengan spanduk "Terima Kost" di pagar.

Temuan ini sangat kuat untuk memahami cara kerja pasar digital (cara bersaing di Mamikos), tetapi tidak menceritakan keseluruhan kisah pasar properti fisik.

 

Dampak Nyata: Cetak Biru Digital untuk Investor Properti Yogyakarta

Terlepas dari keterbatasan tersebut, penelitian ini telah berhasil mencapai tujuannya: membuktikan bahwa Big Data-Driven Analytics dapat digunakan untuk memetakan tren pasar secara real-time dan menentukan kebutuhan fasilitas secara akurat.1

Temuan ini menyediakan "cetak biru" digital yang jelas bagi investor dan pemilik properti. Alih-alih menebak-nebak atau sekadar meniru tetangga, pemilik properti kini memiliki panduan berbasis data untuk mengalokasikan modal mereka secara efisien.

Pernyataan dampak nyata dari penelitian ini sangat spesifik 1:

  • Jika seorang investor berencana membangun indekos di Kabupaten Sleman dan menargetkan kelas Bintang 3, data ini menunjukkan bahwa menyediakan AC, WiFi, dan Kloset Duduk adalah investasi non-negosiabel untuk membenarkan harga tersebut. Untuk naik ke Bintang 4, Keamanan 24 jam menjadi penting.
  • Jika membangun di Kota Yogyakarta untuk Bintang 4, fokus investasi harus bergeser. Investor harus menyediakan Kamar Mandi Dalam, AC, WiFi, Shower dengan Air Panas, dan Keamanan 24 jam.
  • Jika membangun di Kabupaten Bantul untuk kelas Bintang 3, investasi kunci adalah Kamar Mandi Dalam, AC, WiFi, Kloset Duduk, dan Shower. Untuk Bintang 4, penambahan Air Panas menjadi pembeda signifikan.

Jika diterapkan, temuan ini dapat secara drastis mengubah cara pemilik properti merencanakan renovasi. Mereka dapat secara strategis mengalokasikan biaya hanya pada fasilitas-fasilitas yang terbukti secara statistik memberikan dampak terbesar pada harga sewa. Dalam pasar yang kompetitif seperti Yogyakarta, strategi berbasis data seperti ini adalah kunci untuk memaksimalkan pendapatan sewa dan memastikan ROI properti yang optimal dalam satu hingga dua tahun ke depan.

 

Sumber Artikel:

Wibawa, E. G. (2021). Big Data-Driven Analytics Tren Pasar Indekos untuk Penentuan Penyediaan Fasilitas Indekos: Model Regresi Logistik Multinomial. Universitas Atma Jaya Yogyakarta.