Pendekatan Sosial Budaya Menghidupkan Kembali Sungai dalam Tata Kelola Air Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati

29 Juli 2025, 13.38

pixabay.com

Pengantar: Sungai sebagai Entitas Sosial-Ekologis

Artikel “Understanding Rivers and their Social Relations” mendorong perubahan besar dalam paradigma pengelolaan air: dari pendekatan teknokratik ke pendekatan relasional dan kontekstual. Sungai dipahami bukan hanya sebagai objek hidrologis, tapi juga sebagai entitas hidup yang terkait dengan identitas, spiritualitas, dan kesejahteraan masyarakat.

Peralihan Paradigma: Dari Aliran Minimum ke Aliran Relasional

Konsep environmental flows awalnya dikembangkan untuk melestarikan fungsi ekologis sungai melalui penetapan debit minimum. Namun pendekatan ini kerap mengabaikan hubungan sosial-budaya antara masyarakat dan sungai.

Deklarasi Brisbane 2018 merevisi definisi ini menjadi lebih inklusif:

"...kuantitas, kualitas, dan waktu dari aliran air tawar yang diperlukan untuk mendukung ekosistem, budaya, ekonomi, dan kesejahteraan manusia."

Studi Kasus: Menyatukan Pengetahuan Lokal dan Kebijakan Air

1. Sungai Patuca, Honduras

Masyarakat adat Miskito dan Tawahka mengidentifikasi aliran ideal untuk transportasi, pertanian banjir, dan pemijahan ikan melalui pemetaan partisipatif dan wawancara lokal. Hasilnya: pemerintah menetapkan debit minimum musim kering berdasarkan rata-rata keluaran bendungan.

2. Sungai Ganga, India

Ganga bukan hanya sungai fisik, melainkan sungai spiritual. Kajian WWF India di Kumbh Mela 2013 memperkirakan debit optimal untuk ritual mandi dan kremasi: 200–300 m³/s. Pemerintah Uttar Pradesh akhirnya mengalokasikan debit tersebut sebagai bentuk penghormatan pada kebutuhan spiritual masyarakat.

3. Sungai Athabasca, Kanada

Suku ACFN dan Mikisew Cree memformulasikan konsep Aboriginal Base Flow (ABF) dan Aboriginal Extreme Flow (AXF) untuk mempertahankan aktivitas tradisional seperti memancing, berkebun, dan beribadah. Mereka menyatakan bahwa sungai adalah makhluk hidup dengan hak dan relasi dengan manusia.

4. Murray-Darling Basin, Australia

Konsep Cultural Flows menjadi platform masyarakat adat untuk menuntut hak legal atas aliran air demi kelangsungan budaya. Studi di Werai Forest menunjukkan pentingnya konektivitas antara air dan situs spiritual, yang tidak bisa dicapai hanya dengan analisis hidrologi konvensional.

5. Sungai Kakaunui dan Orari, Aotearoa (Selandia Baru)

Suku Māori menilai sungai menggunakan indikator budaya seperti mahinga kai (makanan tradisional), Wai Māori (air murni), dan hauora (kesejahteraan). Debit di bawah 350 L/s di Kakaunui dan 900 L/s di Orari dinilai merusak kualitas hubungan spiritual.

Kritik dan Refleksi: Keterbatasan Pendekatan Barat

Walau progresif, sebagian pendekatan masih mengandalkan metode teknis Barat dan pemisahan antara manusia dan alam. Banyak studi tetap menilai sungai dari perspektif jasa ekosistem, padahal bagi masyarakat adat seperti suku Lumbee (Amerika), sungai adalah kerabat dan identitas kolektif, bukan hanya penyedia air.

Mengapa Personifikasi Sungai Penting?

Gerakan memberi status hukum pada sungai, seperti Sungai Whanganui (NZ) dan Ganga (India), mengubah logika pengelolaan:

  • Sungai tidak lagi “dikelola”, tapi “berelasi” dengan manusia
  • Manajemen bergeser dari eksploitatif ke tanggung jawab timbal balik

Kesimpulan: Merancang Ulang Tata Kelola Air Secara Holistik

Artikel ini menyerukan agar tata kelola air lebih dari sekadar sains dan kebijakan ia juga harus mencakup spiritualitas, identitas, dan sejarah masyarakat. Dalam dunia yang kian terdampak krisis air, pengakuan terhadap nilai lokal dan relasi sosial dengan sungai menjadi kunci keberlanjutan dan keadilan.

Sumber Asli :

Boelens, R., Zwarteveen, M., Rusca, M., et al. (2022). Understanding rivers and their social relations: A critical step to advance environmental water management. WIREs Water, 9(1), e1381.