Latar Belakang Teoretis
Priyono dan Siswadi (2020) memulai artikel dengan menekankan bahwa tanah longsor adalah fenomena pergeseran massa material lereng yang dipicu berbagai faktor geologi dan hidrologi. Mereka mengutip konsep Suryolelono (2002) bahwa longsor merupakan cara alam mencari keseimbangan baru akibat gangguan, serta mekanisme slide pada lapisan kedap air (Hardiyatmo, 2006). Kerusakan lingkungan akibat longsor (baik fisik maupun sosial) dianggap penting untuk diminimalisir. Dalam konteks ini, penulis menyoroti kebutuhan dasar pemetaan lahan pertanian yang rentan longsor sebagai langkah awal mitigasi. Dengan latar teoretis tersebut, penelitian dirancang untuk mengidentifikasi kondisi biofisik (tanah, iklim, topografi, vegetasi, penggunaan lahan, pola usaha tani, demografi) yang memicu kerentanan longsor. Kerangka teori yang digunakan mencakup konsep kesesuaian lahan (FAO 1976; Anonim 2012), klasifikasi kerawanan longsor, serta teknik pemetaan spasial (misalnya overlay peta topografi, geologi, penggunaan lahan). Peta tematik kerawanan merupakan hasil pengelompokan lahan berdasarkan sifat kerawanan yang serupa, sesuai standar kartografi tanah (Hardjowigeno, 2007). Secara keseluruhan, artikel mendasari argumennya pada teori gerakan massa (longsor) dan metodologi pemetaan lahan, menegaskan bahwa peta kerawanan bentang lahan menjadi landasan perencanaan mitigasi yang kontekstual di Sub DAS Samin Hulu.
Metodologi dan Kebaruan
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif dengan pengumpulan data lapangan dan laboratorium. Data primer diperoleh melalui survai ke petani (observasi penggunaan lahan, sampling lapisan tanah) sedangkan data sekunder bersumber dari peta topografi, geologi, curah hujan dan lain-lain. Langkah penting adalah merancang overlay peta curah hujan, peta kemiringan, jenis tanah, rupa bumi dan penggunaan lahan menggunakan perangkat lunak ArcView GIS 3.3. Selanjutnya dilakukan survei lapangan intensif untuk menentukan klasifikasi lahan pertanian rawan longsor. Total 60 unit peta lahan (SPL) dipilih dengan metode Key Area System sepanjang Sub DAS Samin. Setiap unit diteliti parameter fisik (curah hujan tahunan, persentase lereng, ketebalan solum tanah, kadar liat/pH, persen batuan inti di permukaan, dll) sesuai skala kerentanan yang ditetapkan (mis. Paimin & Sukresno 2007). Analisis kuantitatif kemudian dilakukan menggunakan perangkat lunak pssl.exe untuk mengkalkulasi skor kerentanan berdasarkan kombinasi parameter tersebut.
Kebaruan penelitian terletak pada integrasi data biofisik dan sosial-ekonomi khusus pada lahan pertanian di Sub DAS Samin Hulu untuk pemetaan longsor. Penulis menggabungkan analisis kualitas lahan pertanian (kesuburan, jenis tanaman, pola usaha tani) dengan analisis hazard fisik, sehingga kerawanan di lahan produksi ditetapkan berdasarkan gabungan faktor alam dan aktivitas manusia. Pendekatan ini relatif jarang ditemukan dalam literatur, yang biasanya fokus pada lahan permukiman atau infrastruktur. Selain itu, penelitian ini juga mempertimbangkan kebutuhan masyarakat lokal dalam rekomendasi mitigasi (misalnya penyuluhan teknologi pertanian ramah lingkungan), yang menambah nilai kontekstual dan aplikatif dari metodologi yang digunakan.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Hasil penelitian mengungkap pola kerentanan longsor yang khas di Sub DAS Samin Hulu. Secara kuantitatif, tercatat 46 kejadian longsor di daerah tersebut. Analisis data menunjukkan sebagian besar longsor terjadi pada curah hujan tahunan 2000–3000 mm (56,52%) dan pada lereng moderat (16–25% berturut-turut 39,13%). Dari segi penggunaan lahan, 43,48% kejadian longsor terjadi pada lahan tegalan (lahan kering) – lahan yang banyak ditemui (60% dari lahan pertanian). Hal ini mengindikasikan bahwa tegalan yang sering dibuka untuk pertanian dengan konservasi minim lebih rentan longsor dibanding sawah atau kebun campuran. Dari sisi geologi, mayoritas kejadian (95,65%) terjadi di batuan andesit vulkanik, menunjukkan litologi keras namun kompak rendah mendukung longsor jenis slump. Hasil pemetaan tanah memperlihatkan jenis tanah dominan Latosol coklat kemerahan (41,30%) dan Andosol (28,26%), keduanya bercirikan tinggi lempung sehingga mudah jenuh. Ini konsisten dengan bencana longsor rotasional (slump), yang memang mendominasi temuan: 76,09% longsor tergolong slump (banyaknya luncuran tanah dalam bidang cekung). Tipe longsor lain (gabungan slump & rockfall, translasi, subsidence) relatif kecil proporsinya.
Temuan tersebut diinterpretasi sebagai konfirmasi bahwa kombinasi kemiringan sedang, curah hujan tinggi, dan lahan tanpa vegetasi kuat mendorong longsor rotasional di area pertanian Sub DAS Samin. Artinya, lahannya agak rawan hingga sangat rawan longsor jika dilihat dari parameter fisik-geomorfik yang dikaji. Penulis kemudian menyajikan peta kerawanan longsor tematik (Gambar 2) yang mengelompokkan risiko dari sangat rendah hingga sangat tinggi. Berdasarkan temuan itu, mereka mengusulkan mitigasi dua arah: non-struktural (penyuluhan IPTEKS kepada petani tentang teknik bertahan saat bahaya longsor dan penanaman tanaman konservasi) dan struktural (reboisasi, agroforestri, multiple cropping, pembangunan teras dan saluran air ramah lingkungan). Hal ini menunjukkan kontribusi penting: selain memetakan risiko fisik, penelitian ini memperkaya pemahaman mitigasi berbasis lanskap pertanian. Sebagai contoh, dominasi lahan tegalan membangkitkan rekomendasi konservasi lahan miring yang relevan dan relatif baru dibanding kajian sektoral lain. Secara keseluruhan, hasil kuantitatif studi ini – seperti persentase longsor per tipe lahan, degradasi tanah, dan pola curah hujan – menambah data lokal yang sebelumnya kurang tersedia, sehingga memberikan masukan empiris baru untuk literatur mitigasi longsor berbasis spasial pertanian.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Metodologi deskriptif yang diusung penulis memang cocok untuk studi eksplorasi kawasan terbatas, namun terdapat beberapa kelemahan analitis. Pertama, pendekatan penetapan skor kerentanan cenderung subjektif karena bobot tiap variabel (curah hujan, kemiringan, tataguna lahan, jenis tanah, dll.) tidak dijustifikasi dengan uji sensitivitas atau kalibrasi statistik. Sebagai contoh, dalam Tabel 5 tampak longsor translasi (hanya 4,35% kejadian) diberi skor lebih tinggi daripada slump (angkanya sebaliknya), suatu hal yang penulis tidak jelaskan motifnya. Kedua, validitas hasil peta tidak diuji dengan data independent – misalnya kros-verifikasi dengan kejadian longsor historis – sehingga akurasi spasial model tidak diketahui. Ketiga, sampel 60 satuan wilayah mungkin kurang mewakili heterogenitas morfologi dan sosial ekonomi Sub DAS Samin Hulu secara menyeluruh, mengingat luas kawasan. Keempat, pengunaan ArcView GIS 3.3 dan pssl.exe menunjukkan keterbatasan peralatan relatif lawas; belakangan riset kerawanan longsor lebih menggunakan platform open-source mutakhir atau metode kecerdasan buatan. Misalnya, studi terbaru oleh Abrar dkk. (2024) menerapkan machine learning dengan 16 faktor independen untuk memetakan kerawanan longsor dan membangun model mitigasi komprehensif. Penelitian Priyono & Siswadi juga tidak memanfaatkan analisis statistik inferensial apapun, sehingga kesimpulan terbangun hanya dari deskripsi pola tanpa pengujian hipotesis.
Secara hipotesis pun, studi ini lebih berfokus pencapaian tujuan pemetaan daripada menguji rumusan hipotesis eksplisit. Akibatnya, implikasi generalisasi penelitian belum jelas; model yang dihasilkan belum diuji di area lain. Kritik akademik juga perlu mencakup asumsi awal: penulis menyiratkan bahwa semua parameter diintegrasikan linier dalam skor, tanpa mendiskusikan korelasi antarvariabel atau heterogenitas data. Lebih lanjut, faktor eksternal seperti perubahan iklim (peningkatan intensitas hujan) dan aktivitas manusia terkini (mis. pembangunan jalan baru) tidak dibahas, padahal relevan untuk kewenangan mitigasi jangka panjang. Meski demikian, cakupan literatur yang digunakan relatif memadai untuk kerangka dasar, namun diskusi kritis atas metode maupun bandingan dengan studi lain kurang ditegaskan dalam teks.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Meskipun lokasinya spesifik, karya ini memiliki implikasi luas untuk riset mitigasi bencana dan pemetaan spasial. Peta kerentanan lanskap pertanian yang disajikan dapat menjadi rujukan awal bagi perencanaan tata guna lahan dan pengembangan early warning systems lokal. Penggabungan data agronomik dengan parameter hazard menegaskan arah riset mitigasi modern yang mensinergikan ilmu kebumian dan ilmu sosial. Kedepannya, pendekatan ini dapat diperkaya dengan teknologi terbaru: misalnya integrasi citra satelit dan drone untuk pemantauan lahan saat hujan ekstrem, pemodelan dinamis dengan machine learning, atau sistem informasi geografis interaktif. Hasil ini selaras dengan rekomendasi Badan Geologi terbaru yang menekankan adaptasi teknologi digital dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia dalam menghadapi bencana geologi. Diseminasi temuan ini juga relevan untuk kebijakan mitigasi skala regional/ nasional, khususnya dalam perumusan Kawasan Rawan Bencana (KRB) berbasis peta kerawanan. Studi lanjutan sebaiknya menguji validitas model ini dengan data lapangan tambahan, mengkaji dinamika waktu (musiman) curah hujan dan penggunaan lahan, serta menskalakan metode ke daerah rawan longsor lainnya di Indonesia.
Referensi:
Priyono, H. & Siswadi. (2020). Pemetaan Tanah Pertanian Rawan Longsor di Sub DAS Samin Hulu Sebagai Bahan Mempertimbangkan Mitigasinya. Prosiding Seminar Pendidikan Kejuruan dan Teknik Sipil (SPKTS), Fakultas Teknik Universitas Negeri Jakarta.