Penelitian ini memfokuskan pada evaluasi pelaksanaan program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) serta identifikasi kendala spesifik yang ditemukan selama implementasinya pada proyek konstruksi Pembangunan Rumah Susun Lanjutan Provinsi Sumatera Utara I Medan. Metodologi yang digunakan adalah survei deskriptif melalui penyebaran kuisioner kepada pekerja dan pelaksana pembangunan, yang kemudian dianalisis menggunakan nilai Rata-rata (Mean) untuk meranking tingkat implementasi dan hambatan. Tujuan utama adalah menyediakan basis evaluatif yang dapat digunakan untuk meminimalisir potensi kecelakaan kerja.
Jalur temuan logis penelitian ini bergerak dari penilaian kepatuhan struktural (penyediaan fasilitas) menuju identifikasi hambatan non-teknis (perilaku dan manajemen). Hasil awal menunjukkan adanya komitmen perusahaan dalam penyediaan infrastruktur K3 dasar. Sebagai contoh, di bawah kategori evaluasi Peralatan dan Pakaian Kerja, respons terhadap item "Perusahaan menyediakan pakaian kerja, helm, sepatu boots, sarung tangan, masker, sabuk pengaman dan lainnya" mencapai Mean tertinggi sebesar 4.27 (SD 0.578), menduduki Peringkat 1 di subkategori tersebut. Dalam kategori Kesehatan Kerja, ketersediaan kotak P3K untuk pertolongan pertama juga dinilai sangat baik dengan Mean 4.12 (SD 0.754), Peringkat 1 dalam subkategori tersebut.
Namun, temuan ini mengungkap adanya perbedaan substansial antara ketersediaan sarana dan kepatuhan aktual. Data menunjukkan bahwa meskipun sarana telah disediakan secara memadai (Mean 4.27 ), item yang mengukur adopsi aktif oleh pekerja, yaitu "Para pekerja menggunakan peralatan dan pakaian kerja pada saat bekerja," berada pada Peringkat terendah dalam subkategori tersebut, dengan Mean 3.70 (SD 0.397). Disparitas sebesar 0.57 poin Mean ini secara deskriptif menunjukkan hubungan kuat antara inisiatif struktural perusahaan (penyediaan) dan tindakan kepatuhan individu (penggunaan) yang relatif rendah, menandakan adanya masalah adopsi yang mendasar.
Penggalian lebih dalam mengenai hambatan mengonfirmasi bahwa masalah K3 pada proyek ini sebagian besar berakar pada faktor perilaku dan sosio-ekonomi pekerja. Pada analisis hambatan dari sisi pekerja, item "Tuntutan pekerja masih pada kebutuhan dasar atau pokok" menduduki Peringkat 1 dengan Mean 3.60 (SD 0.517). Hal ini diperkuat oleh temuan lain bahwa pekerja merasa tidak nyaman dengan peralatan perlindungan diri (APD) yang ada (Mean 3.50 , SD 0.566) dan terbiasa bekerja tanpa perlindungan diri (Mean 3.37 , SD 0.496). Kesimpulan riset memperjelas bahwa pekerja cenderung memprioritaskan pemenuhan kebutuhan dasar atau bonus yang akan dicapai dibandingkan keselamatan saat bekerja, karena ketidaknyamanan APD.
Dari perspektif manajemen dan kelembagaan, hambatan dominan perusahaan adalah terkait finansial dan regulasi. Dua item berbagi nilai Mean 3.53: "Pengawasan pemerintahan yang lemah dalam menerapkan K3 dalam proyek" (SD 0.523) dan "Perusahaan meminimkan modal untuk menjalankan program K3" (SD 0.589). Korelasi ini mengisyaratkan bahwa kelemahan pengawasan eksternal berfungsi sebagai insentif bagi perusahaan untuk menganggap K3 sebagai pusat biaya yang dapat diminimalkan, yang secara langsung berkontribusi pada penyediaan APD yang mungkin tidak ergonomis atau pelatihan yang tidak memadai, sehingga memperparah keengganan pekerja.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Kontribusi penelitian ini sangat penting karena mengalihkan lensa diagnostik K3 dari fokus tradisional pada ketersediaan fisik dan prosedur, menuju analisis kendala paradigma kognitif dan motivasi di kalangan pekerja.
Satu penemuan penting adalah adanya perlakuan terhadap K3 sebagai sebuah komoditas kepatuhan daripada nilai operasional inti. Perusahaan memenuhi persyaratan dasar penyediaan APD (Mean 4.27 ) dan fasilitas keamanan reaktif seperti P3K (Mean 4.12 ). Namun, fokus pada aspek reaktif ini menyebabkan pengabaian terhadap langkah-langkah kesehatan proaktif. Pemeriksaan kesehatan berkala untuk karyawan (sebelum dan selama proyek), yang merupakan indikator pencegahan yang kuat, mencatat Mean terendah 3.30 di kategori Kesehatan Kerja (SD 0.683). Ini menunjukkan bahwa sistem manajemen K3 yang diterapkan cenderung reaktif (mengatasi setelah kecelakaan terjadi) dan menganggap pemenuhan K3 sebagai kepatuhan regulasi minimal, bukan sebagai investasi pencegahan jangka panjang.
Kondisi ini diperparah oleh dinamika intervensi regulasi dan insentif finansial. Data yang menunjukkan kelemahan pengawasan pemerintah (Mean 3.53 ) memiliki hubungan yang kuat dengan kecenderungan perusahaan untuk meminimalkan modal K3 (Mean 3.53 ). Keadaan ini menciptakan lingkaran umpan balik negatif di mana kurangnya penegakan hukum memvalidasi keputusan manajemen untuk menekan biaya, yang pada gilirannya menghasilkan lingkungan kerja di mana pekerja harus memilih antara kebutuhan dasar/bonus dan penggunaan APD yang tidak nyaman atau kurang dipahami manfaatnya. Ini menyiratkan bahwa intervensi K3 yang berhasil harus secara bersamaan merekayasa insentif ekonomi bagi manajemen dan mengatasi disinsentif perilaku pekerja.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun penelitian ini berhasil mendiagnosis hambatan utama, terdapat tiga keterbatasan kunci yang harus menjadi fokus agenda riset lanjutan.
Pertama, penggunaan analisis Mean dan Ranking secara dominan memberikan peta deskriptif yang kuat tetapi membatasi kemampuan untuk menetapkan hubungan sebab-akibat yang definitif. Penelitian ini menyimpulkan bahwa tuntutan kebutuhan dasar (Mean 3.60 ) dan ketidaknyamanan APD (Mean 3.50 ) adalah hambatan utama di pihak pekerja. Namun, tanpa analisis statistik inferensial, komunitas akademik tidak dapat menentukan secara pasti sejauh mana prioritas sosio-ekonomi pekerja bertindak sebagai variabel independen yang memediasi keputusan untuk mengabaikan K3. Pertanyaan terbuka di sini adalah: Bagaimana kita dapat secara kuantitatif memodelkan tekanan sosio-ekonomi sebagai prediktor risiko perilaku K3?
Kedua, keterbatasan konteks studi kasus pada satu proyek spesifik di Medan membatasi validitas eksternal temuan. Meskipun data ini kritis untuk Sumatera Utara, generalisasi mengenai pola pikir pekerja dan efektivitas pengawasan pemerintah ke seluruh Indonesia, atau bahkan ke jenis proyek konstruksi yang berbeda (misalnya, proyek infrastruktur skala besar), masih belum teruji. Pertanyaan terbuka penting yang harus dijawab oleh riset lanjutan adalah apakah disonansi antara penyediaan dan utilisasi APD merupakan masalah budaya kerja yang spesifik regional atau berlaku universal pada sektor konstruksi domestik.
Ketiga, meskipun kuisioner mengumpulkan data demografi responden, penelitian tidak secara eksplisit mengintegrasikan analisis mendalam mengenai bagaimana faktor-faktor seperti pengalaman kerja atau tingkat pendidikan memengaruhi adopsi K3 dan persepsi hambatan. Adalah mungkin bahwa pekerja yang lebih berpengalaman memiliki status quo bias yang lebih kuat, merasa "terbiasa dengan apa adanya" tanpa perlindungan diri (Mean 3.37 ). Penelitian masa depan perlu melakukan segmentasi responden berdasarkan faktor demografi ini untuk mengungkap dinamika perilaku yang lebih halus.
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)
Agenda riset ke depan wajib beralih dari fase deskriptif ke fase intervensi dan pemodelan, berfokus pada mekanisme yang dapat mengubah perilaku pekerja dan insentif manajemen.
1. Validasi Kausalitas Faktor Sosio-Ekonomi dalam Kepatuhan K3
Justifikasi Ilmiah: Temuan bahwa "tuntutan pekerja masih pada kebutuhan dasar atau pokok" (Mean 3.60 ) adalah hambatan utama secara empiris menunjukkan bahwa keselamatan bersaing dengan kebutuhan finansial dasar. Pola pikir ini menempatkan keselamatan pada posisi subordinat dalam hirarki kebutuhan pekerja.
Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Perlu dilakukan studi kuasi-eksperimental dalam konteks proyek konstruksi. Studi ini harus membandingkan efektivitas dua skema kompensasi yang berbeda: satu kelompok (Kontrol) menerima skema bonus tradisional berbasis kecepatan/output, sementara kelompok intervensi menerima skema insentif yang stabil dan terjamin, ditambah peningkatan substansial dalam jaminan sosial (misalnya, jaminan kesehatan dan asuransi yang premium).
Menunjukkan Perlunya Penelitian Lanjutan: Riset ini akan memvalidasi hipotesis bahwa intervensi sosio-ekonomi (penyediaan jaring pengaman) adalah prasyarat yang lebih efektif daripada sekadar pelatihan K3. Variabel terukur adalah tingkat kepatuhan APD (diukur melalui observasi lapangan) dan frekuensi pelanggaran minor.
2. Implementasi dan Pengujian Model Behavioral Nudge untuk K3
Justifikasi Ilmiah: Kegagalan pendidikan K3 konvensional dibuktikan oleh rendahnya pola pikir K3 (Mean 3.50 ) dan kebiasaan bekerja tanpa perlindungan diri (Mean 3.37 ). Untuk mengatasi status quo bias ini, diperlukan intervensi non-koersif yang memengaruhi keputusan otomatis pekerja.
Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Melaksanakan studi intervensi terkontrol dengan menerapkan mekanisme Nudge Theory. Contoh nudge termasuk penggunaan umpan balik visual real-time mengenai tingkat kepatuhan APD di pintu masuk lokasi, atau implementasi sistem insentif kelompok di mana keselamatan satu individu memengaruhi bonus kolektif.
Menunjukkan Perlunya Penelitian Lanjutan: Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi metode komunikasi dan intervensi K3 yang dapat mengatasi resistensi perilaku. Variabel utamanya adalah perubahan sikap (diukur melalui kuesioner psikometrik) dan tingkat penggunaan APD harian (actual utilization rate).
3. Kajian Ergonomi APD Konstruksi Tropis dan Penyesuaian Desain
Justifikasi Ilmiah: Keluhan eksplisit pekerja mengenai "tidak nyamannya dengan peralatan perlindungan diri yang ada" (Mean 3.50 ) merupakan penghambat adopsi teknis langsung. APD yang disediakan, meskipun memenuhi standar (Mean 4.27 ), mungkin tidak dirancang secara ergonomis untuk iklim tropis atau jenis pekerjaan spesifik, yang mengakibatkan pelepasannya secara sengaja oleh pekerja.
Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Diperlukan studi desain dan ergonomi yang melibatkan metode kualitatif (FGD dengan pekerja untuk mengumpulkan data antropometri dan persepsi kenyamanan) diikuti dengan fase desain prototipe APD. Prototipe ini harus diuji coba lapangan dalam konteks iklim panas. Variabel yang diukur adalah Perceived Comfort Score dan Sustained Adherence Rate (tingkat penggunaan yang berkelanjutan) terhadap APD yang didesain ulang.
Menunjukkan Perlunya Penelitian Lanjutan: Hasil riset akan memberikan rekomendasi teknis yang dapat diaplikasikan pada industri manufaktur APD, memastikan bahwa perlengkapan keselamatan tidak hanya tersedia tetapi juga adaptif terhadap pengguna, sehingga menghilangkan justifikasi utama penolakan APD.
4. Pemodelan Ekonomi K3: Menghitung Return on Safety Investment (ROSI)
Justifikasi Ilmiah: Sikap perusahaan yang "meminimkan modal untuk menjalankan program K3" (Mean 3.53 ) didorong oleh persepsi K3 sebagai
cost center. Untuk mengubah paradigma manajemen, diperlukan bukti kuantitatif yang solid mengenai nilai ekonomi pencegahan.
Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Pengembangan model ekonomi kuantitatif (ROSI) yang menganalisis data proyek di Indonesia. Model ini harus secara eksplisit memasukkan biaya langsung (premi asuransi, denda) dan biaya tidak langsung (kehilangan waktu kerja, turnover karyawan, kerusakan reputasi) yang diakibatkan oleh kecelakaan kerja vs. biaya investasi dalam manajemen K3 yang unggul (pelatihan berkala, APD premium, kesehatan proaktif).
Menunjukkan Perlunya Penelitian Lanjutan: Dengan menyediakan alat analisis yang berbasis data, riset ini dapat memengaruhi kebijakan manajemen proyek. Tujuannya adalah untuk membuktikan bahwa investasi K3 yang memadai bukan hanya kewajiban, tetapi komponen penting dalam mengoptimalkan profitabilitas dan keberlanjutan proyek jangka panjang.
5. Analisis Komparatif Efektivitas Kebijakan Pengawasan Regulasi
Justifikasi Ilmiah: Lemahnya pengawasan pemerintah daerah (Mean 3.53 ) adalah pendorong utama kelonggaran perusahaan dalam menerapkan K3. Kelemahan ini memungkinkan perusahaan menghindari sanksi tegas (Mean 3.33 ) dan meminimalkan investasi.
Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Melakukan studi komparatif kebijakan K3 (Analisis Kebijakan) antara Provinsi Sumatera Utara dan setidaknya dua provinsi lain di Indonesia yang dikenal memiliki tingkat kepatuhan K3 konstruksi yang lebih tinggi. Metode Mixed-Methods harus digunakan, menggabungkan audit kuantitatif (frekuensi dan kedalaman inspeksi, indeks keparahan sanksi yang diterapkan) dengan wawancara mendalam dengan regulator, kontraktor, dan asosiasi industri.
Menunjukkan Perlunya Penelitian Lanjutan: Penelitian ini krusial untuk mengidentifikasi praktik terbaik dalam penegakan hukum K3 dan mekanisme sanksi yang efektif. Hasilnya akan menjadi panduan bagi pembuat kebijakan untuk memperkuat mekanisme pengawasan, sehingga menghilangkan insentif perusahaan untuk meminimalkan modal K3.
Kesimpulan dan Imperatif Kolaboratif
Penelitian ini menegaskan pergeseran urgensi dalam riset K3 konstruksi, dari masalah teknis menjadi masalah behavioral dan kelembagaan. Meskipun perusahaan di lokasi studi telah memenuhi aspek penyediaan sarana K3 secara struktural, kegagalan adopsi di tingkat pekerja, yang didorong oleh kebutuhan sosio-ekonomi dan ketidaknyamanan APD, merupakan penghalang utama yang harus diatasi. Secara paralel, lemahnya pengawasan regulasi memberikan ruang bagi perusahaan untuk meminimalkan biaya K3, melanggengkan kegagalan program.
Untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil yang dapat direplikasi, penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi Fakultas Teknik/Teknik Sipil (khususnya untuk rekayasa ergonomi dan pemodelan ROSI), Fakultas Ekonomi/Ilmu Sosial (untuk studi perilaku dan eksperimen nudge), dan Lembaga Pemerintah/Regulator K3 daerah (untuk studi komparatif kebijakan dan pengujian efektivitas pengawasan). Kolaborasi multidisiplin ini adalah kunci untuk merumuskan intervensi holistik yang efektif, yang mampu menyentuh baik dimensi manusia, manajerial, maupun regulasi dalam K3 konstruksi.
Sumber data: Saragi, T. E., & Sinaga, R. E. (2021). Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (K3) Pada Proyek Pembangunan Rumah Susun Lanjutan Provinsi Sumatera Utara I Medan. Jurnal Construct, 1(1), 41-48.