Paradoks Hijau di Pesisir Klungkung: Mengurai Jejak Limbah Industri Rumput Laut dan Solusi Akar Rumput

Dipublikasikan oleh Hansel

16 Desember 2025, 20.56

unsplash.com

Aroma Uang dan Amonia di Desa Jumpai

Di pesisir timur Bali, di mana debur ombak Selat Badung bertemu dengan hamparan pasir hitam vulkanik, Desa Jumpai di Kabupaten Klungkung menyimpan dua sisi mata uang yang kontradiktif. Di satu sisi, desa ini adalah denyut nadi ekonomi bagi ratusan keluarga yang menggantungkan hidup pada industri pengolahan rumput laut. Di sisi lain, aroma laut yang segar sering kali terdistorsi oleh bau menyengat yang khas: campuran amonia, belerang, dan bahan organik yang membusuk.1 Ini adalah bau dari kemakmuran yang tidak terkelola, jejak olfaktori dari transformasi Eucheuma cottonii menjadi komoditas global, yang menyisakan limbah cair berbahaya bagi ekosistem yang justru menghidupinya.

Bali, pulau yang dipuja dunia karena harmoni Tri Hita Karana—keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan—sedang bergulat dengan realitas industrialisasi pedesaan. Di balik citra pariwisata yang glamor, sektor agroindustri seperti pengolahan rumput laut beroperasi dalam bayang-bayang regulasi lingkungan yang sering kali tumpul di lapangan. Limbah cair dari proses pencucian rumput laut, yang kaya akan residu kimia pemutih dan beban organik masif, mengalir ke saluran-saluran air, membawa ancaman eutrofikasi dan kematian bagi kehidupan akuatik mikro.2

Sebuah dokumen penelitian bertajuk "Pemanfaatan Sistem Biofiltrasi Tanaman dalam Pengolahan Air Limbah Industri Rumput Laut" (selanjutnya disebut 1), yang disusun oleh I Made Gde Sudyadnyana Sandhika dan tim dari Universitas Dhyana Pura, hadir bukan sekadar sebagai laporan akademis. Ia adalah sebuah canary in the coal mine—peringatan dini sekaligus tawaran solusi bagi krisis sanitasi industri yang menggerogoti pesisir Bali. Laporan ini menawarkan sebuah jalan keluar yang tampak sederhana namun revolusioner: menggunakan tanaman kangkungan (Ipomoea crassicaulis) sebagai biofilter alami untuk "mencuci" dosa-dosa ekologis industri ini.

Namun, investigasi mendalam terhadap dokumen ini dan konteks ekosistemik di sekitarnya menyingkap lapisan masalah yang jauh lebih kompleks. Apakah tanaman yang sering dianggap gulma invasif dan beracun ini benar-benar pahlawan sanitasi yang kita butuhkan? Ataukah kita sedang menukar satu masalah pencemaran air dengan risiko kontaminasi biologis lainnya? Laporan ini akan membedah secara forensik temuan 1, menempatkannya dalam lanskap ekonomi biru Indonesia yang sedang berkembang, serta menguji validitasnya di tengah regulasi ketat Provinsi Bali.

1.1 Realitas di Lapangan: Ketika Sungai Berubah Warna

Desa Jumpai bukan satu-satunya titik panas. Di seberang selat, di Nusa Penida dan Nusa Lembongan, petani rumput laut mengeluhkan penurunan kualitas panen yang drastis. Penyakit "ais-ais" yang memutihkan batang rumput laut dan serangan hama ikan menjadi momok tahunan.2 Ironisnya, sebagian dari masalah ini berakar pada penurunan kualitas air laut akibat pencemaran—baik dari aktivitas wisata maupun limbah domestik dan industri yang tidak terolah dengan baik.2

Limbah cair dari industri pengolahan rumput laut memiliki karakteristik yang "jahat" bagi perairan. Proses pembuatan Alkali Treated Cottonii (ATC), produk setengah jadi yang populer diekspor, melibatkan perendaman rumput laut dalam larutan alkali panas (biasanya Kalium Hidroksida atau Natrium Hidroksida) untuk meningkatkan kekuatan gel.4 Residu dari proses ini menghasilkan air limbah dengan pH yang sangat tinggi (basa), keruh, dan penuh dengan bahan organik terlarut.

Dalam studi 1, sampel air limbah yang diambil langsung dari outlet industri di Desa Jumpai menunjukkan angka yang mengejutkan. Biological Oxygen Demand (BOD)—indikator jumlah oksigen yang dibutuhkan bakteri untuk mengurai sampah organik—tercatat sebesar 297,7 ppm (mg/L). Sementara itu, Chemical Oxygen Demand (COD) mencapai 456,5 ppm. Sebagai perbandingan, Peraturan Gubernur Bali Nomor 16 Tahun 2016 menetapkan batas aman untuk pembuangan limbah ke lingkungan adalah maksimal 100 ppm untuk kedua parameter tersebut.5

Artinya, industri ini membuang limbah dengan beban pencemar tiga hingga empat kali lipat di atas ambang batas legal. Ketika limbah "super-kaya" nutrisi ini masuk ke sungai atau laut, ia memicu ledakan populasi bakteri pengurai yang menghabiskan oksigen terlarut dalam air (hypoxia). Ikan megap-megap, terumbu karang tercekik oleh pertumbuhan alga liar, dan air berubah menjadi hitam dan berbau busuk. Ini adalah resep sempurna untuk bencana ekologis di zona wisata.6

 

Anatomi Ekonomi Rumput Laut dan Sisi Gelapnya

Untuk memahami urgensi dari penelitian biofiltrasi ini, kita harus menarik lensa ke sudut pandang makro. Indonesia adalah pemain raksasa dalam panggung rumput laut global, menduduki peringkat kedua sebagai produsen terbesar setelah China.8 Komoditas ini adalah tulang punggung "Revolusi Biru" yang dicanangkan pemerintah, menyediakan mata pencaharian bagi masyarakat pesisir yang sering kali terpinggirkan dari derap pembangunan daratan.9

2.1 Emas Hijau dari Lautan

Rumput laut, khususnya jenis Gracilaria dan Eucheuma, bukan hanya bahan baku agar-agar atau karagenan untuk industri pangan. Ia adalah bahan ajaib yang digunakan dalam segala hal, mulai dari pasta gigi, kosmetik, pakan ternak, hingga potensi bioavtur masa depan.2 Di Nusa Penida, produksi rumput laut pernah mencapai puncaknya pada tahun 2015 dengan angka fantastis 106 ribu ton, sebelum jatuh bebas menjadi hanya 597 ton pada 2017 akibat kombinasi perubahan iklim, pencemaran, dan peralihan tenaga kerja ke sektor pariwisata.11

Pasar global sangat haus akan karagenan. Permintaan ini mendorong industri pengolahan di darat, seperti di Klungkung, untuk beroperasi dalam kapasitas penuh. Namun, infrastruktur pengolahan limbah (IPAL) sering kali menjadi prioritas terakhir dalam struktur biaya industri kecil dan menengah (UKM). Membangun instalasi pengolahan limbah konvensional dengan sistem aerasi mekanis dan filtrasi kimia membutuhkan modal besar dan biaya listrik yang tinggi—sesuatu yang sering kali tidak terjangkau oleh pabrik skala desa.13

2.2 Jejak Kimiawi Pengolahan ATC

Proses transformasi rumput laut mentah menjadi keripik ATC (Alkali Treated Cottonii) adalah proses kimiawi yang intensif.

  1. Pencucian Awal: Menghilangkan garam, pasir, dan kotoran laut.

  2. Perlakuan Alkali: Rumput laut direndam dalam larutan alkali (KOH/NaOH) pada suhu tertentu. Tujuannya adalah memodifikasi struktur kimia karagenan agar gel yang dihasilkan lebih kuat.

  3. Pencucian dan Netralisasi: Residu alkali harus dicuci bersih. Inilah tahap yang menghasilkan volume limbah cair terbesar. Air bilasan ini membawa sisa alkali (pH tinggi) dan potongan-potongan sel rumput laut yang hancur (BOD tinggi).4

Limbah ini, jika dibuang langsung, tidak hanya meracuni air dengan pH ekstrem (12-13), tetapi juga meningkatkan kekeruhan yang menghalangi penetrasi sinar matahari ke dasar perairan.14 Tanpa sinar matahari, fotosintesis di sungai atau laut terhenti, mematikan produsen primer dalam rantai makanan. Dokumen 1 mencatat bahwa limbah tersebut memiliki tekstur "licin" dan warna "keruh kekuningan", indikasi visual dari tingginya padatan tersuspensi dan sifat basa sabun dari alkali.

 

Biofiltrasi, Solusi Low-Tech untuk Masalah High-Tech

Di tengah keputusasaan akan solusi murah dan efektif, penelitian Sandhika et al. 1 menawarkan pendekatan berbasis alam (nature-based solution). Biofiltrasi, atau lebih spesifiknya fitoremediasi, memanfaatkan kemampuan tumbuhan air untuk menyerap, mengakumulasi, dan mendegradasi polutan.

3.1 Mengapa Ipomoea crassicaulis?

Pilihan tanaman jatuh pada Ipomoea crassicaulis (dikenal juga sebagai Ipomoea carnea subsp. fistulosa atau Kangkungan Pagar). Tanaman ini adalah kerabat jauh dari ubi jalar dan kangkung sayur, namun memiliki karakteristik yang jauh lebih "liar".15

  • Morfologi Unggul: Batangnya berongga (fistulosa), memungkinkannya mengapung di permukaan air atau tumbuh tegak di lahan basah. Sistem perakarannya serabut dan sangat lebat, menciptakan luas permukaan yang masif di dalam air.17

  • Ketangguhan: Tanaman ini dikenal mampu tumbuh di kondisi ekstrem, dari tanah kering hingga rawa-rawa yang tergenang. Ia toleran terhadap pH yang fluktuatif dan beban organik tinggi, menjadikannya kandidat ideal untuk limbah industri yang "keras".18

  • Simbiosis Mikroba: Keajaiban sebenarnya bukan hanya pada tanamannya, tetapi pada kehidupan mikroskopis di akarnya. Akar Ipomoea melepaskan eksudat (senyawa gula dan asam amino) yang menarik bakteri pengurai seperti Pseudomonas, Bacillus, dan Nitrosomonas. Bakteri-bakteri inilah yang sebenarnya melakukan kerja berat memecah bahan organik kompleks dalam limbah menjadi senyawa sederhana yang kemudian diserap tanaman sebagai nutrisi.1

3.2 Desain Eksperimen: Dari Jerigen ke Baku Mutu

Penelitian ini dilakukan dengan metodologi yang mereplikasi kondisi lapangan yang sederhana.

  1. Tahap Stabilisasi (24 Jam): Air limbah tidak langsung "dihajar" ke tanaman. Ia didiamkan dalam bak stabilisasi selama satu hari. Ini krusial untuk mengendapkan partikel padat berat dan membiarkan suhu serta pH sedikit melunak. Tanpa tahap ini, shock loading (beban kejut) bisa membunuh tanaman seketika.

  2. Tahap Biofiltrasi: Air yang sudah stabil dialirkan ke kolam berukuran $200 \times 60 \times 50$ cm yang dipenuhi Ipomoea crassicaulis.

  3. Monitoring: Peneliti memantau penurunan kadar BOD dan COD setiap 8 jam selama dua hari penuh (48 jam).

Pendekatan ini sangat pragmatis. Tidak ada pompa listrik, tidak ada injeksi oksigen buatan. Hanya gravitasi, waktu, dan biologi. Jika berhasil, ini adalah model IPAL yang bisa dibangun oleh siapa saja dengan biaya minimal.

 

Analisis Data Naratif – Perjalanan Menuju Air Bersih

Data yang dihasilkan dari eksperimen 1 menceritakan kisah sukses yang dramatis, sebuah grafik penurunan polutan yang memberikan harapan nyata bagi industri di Desa Jumpai.

4.1 Fase Kejutan dan Adaptasi (0-16 Jam)

Pada awal perlakuan, air limbah masuk dengan beban BOD 224,6 ppm (setelah stabilisasi). Dalam 8 jam pertama, sistem biofilter bekerja agresif. Bakteri yang kelaparan di akar tanaman menyerang senyawa organik yang mudah terurai (biodegradable). Hasilnya, BOD turun drastis menjadi 168,7 ppm. Efektivitas penurunan mencapai hampir 25% hanya dalam satu shift kerja.

Ini menunjukkan bahwa sistem akar Ipomoea memiliki respon cepat (rapid response) terhadap influks polutan. Koloni bakteri sudah matang dan siap bekerja.

4.2 Titik Balik (Jam ke-32)

Fase paling kritis terjadi antara jam ke-24 dan jam ke-32. Pada jam ke-24, kadar BOD masih berada di angka 106,3 ppm—sedikit di atas ambang batas legal 100 ppm. Namun, saat jarum jam menyentuh angka 32, terjadi terobosan. Kadar BOD anjlok ke 78,7 ppm.

Ini adalah "angka keramat" dalam penelitian ini. Artinya, untuk memenuhi standar Pergub Bali 16/2016, industri membutuhkan waktu retensi hidrolik (Hydraulic Retention Time/HRT) minimal 32 jam. Sebuah kolam pengolahan tidak bisa sekadar menjadi tempat lewat air; air harus "menginap" setidaknya satu setengah hari agar bakteri dan tanaman bisa menuntaskan tugasnya.

4.3 Hasil Akhir dan Efisiensi (48 Jam)

Setelah 48 jam, air yang keluar dari sistem biofilter memiliki karakteristik yang jauh berbeda dari saat ia masuk.

  • BOD Akhir: 28,6 ppm (Turun 87,27%)

  • COD Akhir: 70,5 ppm (Turun 83,93%)

Angka 28,6 ppm untuk BOD adalah kualitas air yang sangat baik untuk ukuran limbah industri, bahkan mendekati kualitas air sungai kelas menengah.6 Secara visual, kekeruhan berkurang, dan bau menyengat amonia kemungkinan besar telah hilang, digantikan oleh aroma tanah basah yang lebih netral. Analisis: Data ini menegaskan bahwa biofiltrasi bukan sekadar teori. Ia bekerja dengan efisiensi tinggi, mampu memangkas lebih dari 80% beban pencemar tanpa intervensi mesin. Namun, data ini juga menyimpan implikasi logistik: industri harus menyediakan lahan yang cukup untuk menampung volume limbah selama 48 jam. Jika sebuah pabrik menghasilkan 10.000 liter limbah per hari, mereka butuh kolam berkapasitas 20.000 liter untuk sirkulasi 48 jam.

 

Kritik Realistis – Sisi Gelap Sang Penyelamat Hijau

Sebagai sebuah resensi jurnalistik yang objektif, kita tidak boleh terbuai oleh angka keberhasilan semata. Di balik efektivitas Ipomoea crassicaulis, tersembunyi risiko ekologis dan kesehatan yang serius yang kurang dieksplorasi dalam dokumen.1 Solusi ini, jika tidak dikelola dengan protokol ketat, bisa menjadi "bom waktu" baru bagi Bali.

5.1 Ancaman Invasif: Ketika Obat Menjadi Racun

Ipomoea crassicaulis bukanlah tanaman sembarangan. Di banyak negara, seperti Amerika Serikat, India, dan beberapa wilayah Afrika, tanaman ini diklasifikasikan sebagai gulma berbahaya (noxious weed).16 Kemampuannya untuk tumbuh cepat—yang menjadi aset dalam pengolahan limbah—adalah mimpi buruk bagi ekosistem alami.

Jika benih atau potongan batang tanaman ini lolos dari kolam pengolahan dan masuk ke saluran irigasi sawah atau sungai alami di Klungkung, ia bisa dengan cepat mendominasi, menutupi permukaan air, mematikan tanaman asli, dan menyumbat aliran air (pendangkalan).20 Bali sudah cukup menderita dengan masalah eceng gondok di danau-danaunya; mengintroduksi spesies invasif lain di pesisir adalah perjudian ekologis yang berisiko tinggi.

5.2 Racun dalam Hijauan: Bahaya bagi Ternak

Salah satu aspek paling kritis yang absen dalam diskusi 1 adalah toksisitas tanaman ini. Di pedesaan Bali, tanaman hijau subur di pinggir jalan sering kali dianggap sebagai pakan ternak gratis oleh peternak sapi atau kambing. Ini adalah kesalahan fatal jika menyangkut Ipomoea crassicaulis.

Literatur veteriner global mengonfirmasi bahwa seluruh bagian tanaman ini mengandung alkaloid swainsonine dan calystegines.21 Konsumsi kronis pada ternak menyebabkan penyakit penyimpanan lisosom (lysosomal storage disease), sebuah gangguan neurologis yang parah. Gejalanya meliputi:

  • Ternak menjadi kurus meski makan banyak.

  • Gangguan koordinasi otot (sempoyongan).

  • Kemandulan dan keguguran.

  • Kematian.

Bayangkan skenario ini: Petani rumput laut di Desa Jumpai memanen Ipomoea yang sudah rimbun dari kolam limbah karena dianggap "membersihkan" kolam, lalu memberikannya pada sapi mereka. Sapi keracunan, mati, atau menghasilkan daging yang terkontaminasi. Rantai toksisitas ini adalah risiko nyata yang membutuhkan edukasi masif.

5.3 Dilema Pembuangan Biomassa (The Disposal Dilemma)

Fitoremediasi tidak menghilangkan logam berat atau polutan persisten; ia hanya memindahkannya dari air ke dalam jaringan tubuh tanaman (bioakumulasi). Tanaman Ipomoea di kolam limbah akan menyerap residu logam berat yang mungkin terkandung dalam bahan kimia industri atau air baku.24

Lalu, ke mana perginya tanaman ini setelah dipanen?

  • Dikomposkan? Racun akan kembali ke tanah pertanian.

  • Dibakar? Pembakaran biomassa yang mengandung logam berat atau klorin dapat melepaskan dioksin dan asap beracun ke udara.25

  • Dibuang ke sungai? Itu hanya memindahkan sampah.

Dokumen 1 tidak memberikan panduan tentang manajemen akhir biomassa ini. Idealnya, biomassa hasil fitoremediasi harus diperlakukan sebagai limbah B3 atau dibuang di secure landfill.27 Absennya protokol "hilir" ini membuat solusi yang ditawarkan menjadi setengah matang.

 

Perspektif Regulasi dan Ekonomi Biru

Bali memiliki salah satu regulasi lingkungan daerah yang paling progresif di Indonesia, namun penegakannya sering kali tertatih-tatih. Pergub Bali No. 16 Tahun 2016 adalah standar emas yang menetapkan baku mutu ketat. Namun, fakta bahwa limbah mentah di Jumpai memiliki BOD hampir 300 ppm menunjukkan bahwa kepatuhan (compliance) masih rendah.28

6.1 Celah Penegakan Hukum

Dinas Lingkungan Hidup (DLH) sering kali kekurangan sumber daya untuk mengawasi ribuan unit usaha kecil yang tersebar. Penindakan biasanya bersifat reaktif—menunggu ada keluhan viral atau kematian ikan massal—daripada preventif.

Teknologi biofiltrasi yang "murah dan mudah" ini seharusnya menutup celah alasan klasik pengusaha: "biaya IPAL mahal". Jika sebuah kolam tanaman sederhana seharga jutaan rupiah bisa membuat pabrik mematuhi hukum, maka tidak ada lagi alasan moral atau ekonomi untuk membuang limbah mentah. Pemerintah Daerah Klungkung dapat menjadikan instalasi biofilter Ipomoea (dengan standar keamanan ketat) sebagai syarat mutlak perizinan usaha mikro pengolahan hasil laut.

6.2 Menuju Ekonomi Biru yang Sebenarnya

Visi "Ekonomi Biru" Indonesia bukan hanya tentang mengeksploitasi laut, tetapi meregenerasinya.29 Industri rumput laut berada di garis depan visi ini. Rumput laut sendiri adalah penyerap karbon (carbon sink) yang hebat dan penyerap nutrisi berlebih di laut.10 Ironis jika proses pengolahannya di darat justru menjadi sumber polusi karbon dan kimia.

Mengintegrasikan sistem biofiltrasi ke dalam rantai pasok rumput laut akan meningkatkan nilai jual produk Indonesia di pasar global yang semakin sadar lingkungan (eco-conscious). Pembeli di Eropa atau Amerika Serikat akan lebih memilih karagenan yang diproduksi dengan jejak air (water footprint) yang bersih dan bertanggung jawab.8

 

Kesimpulan dan Rekomendasi Investigatif

Laporan riset Sandhika et al. dalam dokumen g55.pdf adalah sebuah suar harapan di tengah keruhnya air limbah industri Desa Jumpai. Ia membuktikan secara ilmiah bahwa alam, melalui mekanisme adaptasi tanaman Ipomoea crassicaulis, menyediakan mesin pembersih yang efisien, mampu menurunkan beban pencemar hingga 87% dan memenuhi standar baku mutu ketat Bali.

Namun, mengadopsi solusi ini tanpa protokol keamanan adalah kecerobohan. Biofiltrasi dengan tanaman ini adalah solusi dengan catatan kaki yang tebal.

Rekomendasi untuk Pemangku Kepentingan:

  1. Standarisasi Desain IPAL: Pemerintah harus merilis desain standar ("cetak biru") kolam biofilter Ipomoea yang aman, mencakup isolasi fisik (agar tanaman tidak lari ke alam) dan rasio luas kolam per volume limbah (berdasarkan HRT 32 jam).

  2. Protokol "Dilarang Makan": Harus ada larangan keras dan sosialisasi masif bahwa tanaman dari kolam limbah bukan pakan ternak. Tanda peringatan bahaya harus dipasang di setiap kolam.

  3. Manajemen Biomassa Terpusat: Pemerintah desa atau koperasi bisa mengelola pembuangan biomassa tanaman secara kolektif, misalnya dengan pengeringan dan insinerasi di fasilitas berizin, atau digunakan sebagai bahan bakar boiler industri (dengan filter asap) untuk menutup siklus energi.

  4. Monitoring Berkala: Efektivitas sistem ini bergantung pada kesehatan tanaman. Jika tanaman mati karena shock loading kimia, sistem gagal. Diperlukan pendampingan teknis bagi operator pabrik tentang cara melakukan aklimatisasi dan stabilisasi limbah sebelum masuk kolam.

Pada akhirnya, masa depan industri rumput laut Bali tidak hanya ditentukan oleh harga pasar di Shanghai atau New York, tetapi oleh kejernihan air di selokan Desa Jumpai. Jika kita gagal mengelola limbah hari ini, kita sedang membunuh ladang emas hijau kita sendiri untuk hari esok. Biofiltrasi adalah langkah awal yang menjanjikan, sebuah jembatan antara ekonomi dan ekologi, asalkan kita berani menyeberanginya dengan mata terbuka akan segala risikonya.

 

Sumber Artikel:

Petani Rumput Laut Nusa Penida Keluhkan Pencemaran - ANTARA News Bali, https://bali.antaranews.com/berita/52442/petani-rumput-laut-nusa-penida-keluhkan-pencemaran