1. Pendahuluan: Mengapa Pengelolaan Sampah Perkotaan Tidak Bisa Lagi Bersifat Parsial
Masalah sampah di kawasan perkotaan padat bukan sekadar persoalan volume, melainkan persoalan desain sistem. Selama pengelolaan sampah dipahami sebagai rangkaian aktivitas terpisah—pengumpulan, pengangkutan, pembuangan—maka kegagalan hanya akan bergeser dari satu titik ke titik lain. Tempat pembuangan akhir penuh, anggaran membengkak, dan konflik sosial berulang tanpa solusi jangka panjang.
Dalam konteks negara berkembang, persoalan ini semakin kompleks karena keterbatasan fiskal dan kapasitas institusional. Pendekatan teknologi tinggi yang berhasil di negara maju sering tidak kompatibel dengan realitas sosial dan ekonomi lokal. Akibatnya, kebijakan pengelolaan sampah cenderung bersifat tambal sulam: fokus pada hilir, mengabaikan sumber, dan meminggirkan aktor nonformal yang justru memainkan peran kunci.
Paper ini berangkat dari kritik tersebut. Alih-alih memandang sampah semata sebagai beban lingkungan, studi ini menempatkannya sebagai sumber daya ekonomi yang dapat dikelola melalui pendekatan ekonomi sirkular. Namun yang membedakan, ekonomi sirkular di sini tidak dipahami secara abstrak, melainkan dioperasionalkan melalui integrasi nyata antara pemerintah, masyarakat, dan sektor informal.
Dengan mengambil konteks kota besar di Indonesia, paper ini menantang asumsi bahwa sistem terintegrasi selalu lebih mahal dan kompleks. Justru sebaliknya, integrasi sosial–ekonomi–ekologis ditunjukkan sebagai jalan untuk meningkatkan kinerja pengelolaan sampah sekaligus menekan biaya publik dan mengurangi eksploitasi sumber daya alam primer.
2. Dari Sistem Linear ke Sistem Terintegrasi: Logika Ekonomi Sirkular dalam Pengelolaan Sampah Perkotaan
Salah satu kontribusi konseptual penting paper ini adalah pergeseran logika dari sistem linear menuju sistem sirkular yang benar-benar operasional. Dalam sistem linear, sampah dipandang sebagai residu tak bernilai yang harus “dilenyapkan”. Dalam sistem terintegrasi, sampah diperlakukan sebagai aliran material dengan nilai ekonomi yang dapat dipertahankan selama mungkin di dalam sistem.
Pendekatan ini menuntut perubahan mendasar pada titik awal: sumber sampah. Pemilahan di sumber menjadi prasyarat, bukan pelengkap. Tanpa pemilahan, efisiensi daur ulang menurun, biaya meningkat, dan kualitas material sekunder merosot. Paper ini menunjukkan bahwa intervensi di hulu—melalui edukasi, insentif, dan kelembagaan—memberikan dampak sistemik yang jauh lebih besar dibandingkan sekadar menambah kapasitas pengangkutan atau TPA.
Integrasi juga berarti mengakui keberadaan sektor informal sebagai bagian dari sistem, bukan anomali. Dalam banyak kota, sektor informal telah membentuk rantai nilai daur ulang yang fungsional, meski tanpa dukungan kebijakan. Dengan memasukkan mereka ke dalam desain sistem, terjadi dua efek simultan: peningkatan kinerja pengelolaan sampah dan peningkatan pendapatan kelompok rentan.
Yang menarik, pendekatan ini juga menantang logika anggaran publik. Secara intuitif, sistem yang lebih kompleks diasumsikan lebih mahal. Namun simulasi dalam paper ini menunjukkan sebaliknya: ketika pengurangan sampah di sumber dan daur ulang meningkat, kebutuhan anggaran untuk pengangkutan dan pengelolaan akhir justru menurun. Dengan kata lain, ekonomi sirkular tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga rasional secara fiskal.
Pada titik ini, sistem terintegrasi tidak lagi dapat dipahami sebagai proyek lingkungan semata. Ia menjadi instrumen kebijakan pembangunan perkotaan yang menyentuh isu efisiensi anggaran, ketenagakerjaan informal, dan keberlanjutan sumber daya secara simultan.
3. Mengapa Model Sistem Dinamis Dibutuhkan dalam Kebijakan Pengelolaan Sampah
Kebijakan pengelolaan sampah sering gagal bukan karena tujuan yang salah, melainkan karena ketidakmampuan memprediksi dampak sistemik. Intervensi pada satu titik—misalnya penambahan armada angkut atau pembangunan fasilitas baru—kerap memicu konsekuensi tak terduga di titik lain, seperti pembengkakan biaya operasional atau penurunan partisipasi masyarakat. Di sinilah pendekatan sistem dinamis menjadi relevan.
Paper ini menggunakan model sistem dinamis untuk membaca pengelolaan sampah sebagai sistem saling-terkait, bukan rangkaian aktivitas terpisah. Pendekatan ini memungkinkan analisis hubungan sebab-akibat yang berulang (feedback loops) antara variabel sosial, ekonomi, ekologi, dan kelembagaan. Dengan kata lain, kebijakan tidak dinilai dari dampak sesaat, tetapi dari perilaku sistem dalam jangka panjang.
Keunggulan utama pendekatan ini terletak pada kemampuannya menguji skenario kebijakan tanpa harus “bereksperimen” langsung di lapangan. Dalam konteks kota besar, kesalahan kebijakan pengelolaan sampah berbiaya tinggi dan sulit dikoreksi. Simulasi memberikan ruang aman untuk mengevaluasi konsekuensi berbagai pilihan, mulai dari perubahan anggaran hingga peningkatan peran sektor informal.
Yang penting, model ini tidak mengisolasi dimensi teknis dari dimensi sosial. Perubahan perilaku masyarakat, akses sektor informal terhadap sumber sampah, dan kebijakan anggaran pemerintah diperlakukan sebagai variabel kunci yang saling memengaruhi. Hal ini menegaskan bahwa pengelolaan sampah bukan sekadar persoalan teknologi, tetapi persoalan tata kelola dan insentif.
Pendekatan sistem dinamis juga menghindarkan kebijakan dari jebakan optimisme jangka pendek. Banyak program terlihat berhasil di tahun-tahun awal, namun gagal mempertahankan kinerja ketika skala membesar atau anggaran menurun. Dengan membaca pola jangka panjang, model ini membantu mengidentifikasi kebijakan yang tidak hanya efektif, tetapi juga tahan uji waktu.
4. Temuan Utama Simulasi: Kinerja Sistem, Efisiensi Anggaran, dan Dampak Sosial
Hasil simulasi dalam paper ini menunjukkan temuan yang penting secara kebijakan. Pertama, peningkatan pengurangan sampah di sumber terbukti memiliki efek pengungkit paling kuat terhadap kinerja sistem secara keseluruhan. Ketika pemilahan dan pengelolaan di tingkat rumah tangga dan komunitas meningkat, tekanan pada sistem pengangkutan dan pengolahan akhir menurun secara signifikan.
Kedua, integrasi sektor informal menghasilkan dampak ganda. Di satu sisi, jumlah material yang berhasil didaur ulang meningkat, memperkuat logika ekonomi sirkular. Di sisi lain, pendapatan sektor informal ikut naik, mengurangi kerentanan sosial yang selama ini melekat pada pekerjaan pengelolaan sampah. Temuan ini penting karena menunjukkan bahwa kebijakan lingkungan tidak harus berhadapan dengan kebijakan sosial—keduanya bisa saling memperkuat.
Ketiga, dari sisi fiskal, simulasi memperlihatkan bahwa skenario dengan tingkat pengurangan dan daur ulang lebih tinggi justru membutuhkan anggaran publik yang lebih rendah dalam jangka menengah hingga panjang. Penghematan terutama berasal dari berkurangnya kebutuhan pengangkutan jarak jauh dan pengelolaan di tempat pembuangan akhir. Ini membalik asumsi umum bahwa sistem terintegrasi selalu lebih mahal.
Namun paper ini juga secara implisit menunjukkan adanya batasan. Perbedaan kinerja antar skenario tidak selalu linier. Pada titik tertentu, peningkatan anggaran atau intervensi tambahan menghasilkan manfaat marjinal yang menurun. Artinya, kebijakan tidak cukup hanya “ditambah”, tetapi harus dirancang dengan presisi dan pemahaman sistemik.
Secara keseluruhan, temuan simulasi menegaskan bahwa pengelolaan sampah berbasis ekonomi sirkular paling efektif ketika diperlakukan sebagai investasi sistemik, bukan biaya rutin. Keberhasilan tidak ditentukan oleh satu aktor atau satu teknologi, melainkan oleh keselarasan peran pemerintah, masyarakat, dan sektor informal dalam satu kerangka yang konsisten.
5. Implikasi Kebijakan: Dari Desain Anggaran hingga Pengakuan Sektor Informal
Salah satu nilai tambah utama paper ini terletak pada implikasi kebijakannya yang konkret. Temuan simulasi menunjukkan bahwa pengelolaan sampah terintegrasi bukan hanya persoalan teknis operasional, melainkan soal desain insentif dan prioritas anggaran publik. Ketika kebijakan terlalu berfokus pada hilir—pengangkutan dan pembuangan—anggaran cenderung membengkak tanpa perbaikan signifikan pada kinerja sistem.
Sebaliknya, intervensi di hulu melalui edukasi, pemilahan di sumber, dan pengelolaan berbasis komunitas menunjukkan rasio manfaat–biaya yang jauh lebih tinggi. Setiap peningkatan investasi pada pengurangan sampah di sumber menghasilkan penghematan berlapis: berkurangnya volume angkut, menurunnya kebutuhan fasilitas akhir, serta meningkatnya nilai material yang dapat dimanfaatkan kembali. Dengan kata lain, anggaran tidak dihabiskan, tetapi diputar kembali sebagai pengungkit efisiensi sistem.
Implikasi penting lainnya adalah posisi sektor informal. Paper ini secara tegas memperlihatkan bahwa sektor informal bukan sekadar “aktor pendukung”, melainkan komponen struktural dalam rantai nilai pengelolaan sampah. Kebijakan yang mengabaikan mereka berisiko menciptakan inefisiensi baru dan konflik sosial. Sebaliknya, kebijakan yang memberikan akses, kepastian peran, dan pengakuan kelembagaan mampu meningkatkan kinerja sistem sekaligus kesejahteraan pelaku.
Namun integrasi ini tidak boleh bersifat simbolik. Pengakuan tanpa akses nyata terhadap sumber sampah, fasilitas, atau pasar hanya akan memperkuat ketimpangan lama. Oleh karena itu, kebijakan ideal perlu bergerak pada tiga level sekaligus: pengaturan akses material, dukungan kelembagaan, dan perlindungan ekonomi dasar. Tanpa kombinasi ini, ekonomi sirkular berisiko menjadi jargon kebijakan tanpa dampak sosial nyata.
Pada titik ini, pengelolaan sampah berubah menjadi arena kebijakan lintas sektor: lingkungan, sosial, ekonomi, dan fiskal. Paper ini secara implisit mendorong pemerintah daerah untuk keluar dari logika sektoral dan mulai membangun tata kelola kolaboratif yang berbasis data dan simulasi kebijakan.
6. Kesimpulan Analitis: Ekonomi Sirkular sebagai Strategi Pembangunan Perkotaan
Secara keseluruhan, paper ini menegaskan bahwa ekonomi sirkular dalam pengelolaan sampah perkotaan bukan sekadar pendekatan lingkungan, melainkan strategi pembangunan perkotaan. Dengan desain sistem yang tepat, pengelolaan sampah dapat meningkatkan efisiensi anggaran, memperkuat ketahanan sumber daya, dan sekaligus menciptakan dampak sosial positif.
Pendekatan sistem dinamis memperlihatkan bahwa kebijakan yang terlihat mahal di awal justru dapat menghasilkan penghematan jangka panjang. Temuan ini penting bagi kota-kota di negara berkembang yang sering terjebak dalam dilema antara keterbatasan anggaran dan tekanan lingkungan. Paper ini menunjukkan bahwa dilema tersebut dapat diurai melalui desain sistem, bukan sekadar penambahan sumber daya.
Lebih jauh, integrasi sektor informal menjadi ujian etis sekaligus praktis bagi ekonomi sirkular. Keberhasilan sistem tidak hanya diukur dari persentase pengurangan sampah atau efisiensi biaya, tetapi juga dari sejauh mana manfaat transisi didistribusikan secara adil. Ekonomi sirkular yang mengabaikan dimensi sosial berisiko kehilangan legitimasi dan keberlanjutan politik.
Akhirnya, paper ini mengingatkan bahwa pengelolaan sampah tidak bisa dilepaskan dari konteks kota sebagai sistem sosial–ekonomi yang hidup. Kebijakan terbaik bukan yang paling canggih secara teknologi, melainkan yang paling mampu beradaptasi dengan realitas lokal, mengelola konflik kepentingan, dan membangun kolaborasi jangka panjang. Dalam kerangka inilah, ekonomi sirkular tampil bukan sebagai solusi instan, tetapi sebagai proses transformasi struktural.
Daftar Pustaka
Satori, M., Kato, T., Gunawan, B., & Oemar, H. (2021). Circular economic model of integrated waste management: A case of existing waste management in populated urban area. Journal of Engineering Science and Technology, 16(3), 2049–2066.