1. Pendahuluan: Ekonomi Sirkular Desa sebagai Agenda Kemandirian, Bukan Sekadar Pengelolaan Sampah
Dalam diskursus pembangunan desa, pengelolaan sampah sering ditempatkan sebagai isu lingkungan pinggiran—penting, tetapi jarang dianggap strategis. Padahal, di banyak desa, sampah mencerminkan persoalan yang jauh lebih mendasar: keterbatasan kapasitas ekonomi lokal, lemahnya kelembagaan usaha desa, dan ketergantungan pada sistem eksternal yang tidak selalu responsif terhadap kebutuhan setempat.
Ekonomi sirkular menawarkan cara pandang yang berbeda. Alih-alih memposisikan sampah sebagai beban, pendekatan ini melihatnya sebagai sumber daya ekonomi yang dapat dikelola, diputar ulang, dan dimonetisasi di tingkat lokal. Namun tantangan utama muncul ketika konsep ekonomi sirkular yang berkembang di perkotaan atau negara maju diterapkan begitu saja di desa, tanpa penyesuaian terhadap struktur sosial, skala ekonomi, dan relasi kelembagaan yang khas.
Desa memiliki karakter unik. Skala aktivitas relatif kecil, hubungan sosial lebih rapat, dan batas antara ekonomi formal dan informal sering kabur. Kondisi ini membuat pendekatan berbasis teknologi mahal atau model bisnis kompleks sulit berkelanjutan. Sebaliknya, desa justru memiliki aset yang sering diabaikan dalam perencanaan ekonomi sirkular: modal sosial, jejaring kepercayaan, dan kelembagaan lokal seperti BUMDes dan TPS 3R.
Artikel ini membahas temuan dari paper “Model Bisnis Ekonomi Sirkular Berbasis Desa melalui Pengelolaan Sampah TPS 3R”, yang menawarkan pendekatan ekonomi sirkular sebagai strategi kemandirian desa. Fokus utamanya bukan pada kecanggihan teknologi, melainkan pada bagaimana model bisnis, aktor lokal, dan modal sosial dirangkai menjadi sistem yang mampu bertahan secara ekonomi.
Dengan menempatkan TPS 3R sebagai simpul operasional dan BUMDes sebagai penggerak kelembagaan, pembahasan ini menggeser ekonomi sirkular dari sekadar agenda lingkungan menjadi instrumen pembangunan ekonomi desa. Pertanyaannya bukan lagi apakah desa mampu menerapkan ekonomi sirkular, melainkan bagaimana desain sistemnya agar sesuai dengan realitas lokal dan tujuan kemandirian jangka panjang.
2. TPS 3R sebagai Fondasi Operasional: Dari Layanan Lingkungan ke Unit Ekonomi Desa
Dalam banyak kebijakan, TPS 3R diposisikan sebagai infrastruktur layanan lingkungan: tempat pengumpulan, pemilahan, dan pengolahan sampah skala komunitas. Peran ini penting, tetapi sering berhenti pada logika pelayanan. Akibatnya, keberlanjutan TPS 3R sangat bergantung pada subsidi atau dukungan eksternal, tanpa fondasi ekonomi yang kuat.
Pendekatan ekonomi sirkular berbasis desa menuntut reposisi TPS 3R sebagai unit ekonomi lokal, bukan sekadar fasilitas teknis. Sampah yang dikelola tidak hanya diukur dari volume yang berkurang, tetapi dari nilai ekonomi yang berhasil diciptakan dan dipertahankan di desa. Pemilahan menjadi langkah awal untuk membuka akses ke pasar material, sementara pengolahan sederhana—seperti kompos atau daur ulang bernilai tambah rendah—menjadi pintu masuk bagi aktivitas usaha.
Namun tantangan utama terletak pada skala dan konsistensi. Volume sampah desa sering tidak besar, fluktuatif, dan bergantung pada partisipasi warga. Tanpa dukungan kelembagaan, TPS 3R mudah terjebak pada aktivitas operasional yang padat kerja tetapi minim margin. Di sinilah ekonomi sirkular menuntut integrasi yang lebih luas, bukan hanya optimalisasi teknis.
TPS 3R yang berfungsi sebagai fondasi operasional perlu terhubung dengan aktor ekonomi desa lain. BUMDes, koperasi, atau kelompok usaha menjadi penghubung antara aktivitas pengelolaan sampah dan pasar. Tanpa hubungan ini, nilai ekonomi cenderung bocor ke luar desa melalui pedagang perantara, sementara TPS 3R tetap berada di posisi paling rentan dalam rantai nilai.
Pendekatan ini menegaskan bahwa keberhasilan TPS 3R tidak ditentukan oleh jumlah mesin atau luas lahan, melainkan oleh desain model bisnis dan relasi kelembagaan. Ketika TPS 3R ditempatkan dalam kerangka ekonomi sirkular desa, ia bertransformasi dari beban operasional menjadi aset pembangunan lokal.
3. BUMDes dan Desain Model Bisnis: Menjaga Nilai Tambah Tetap di Desa
Jika TPS 3R berperan sebagai fondasi operasional, maka BUMDes menjadi pengungkit kelembagaan dalam ekonomi sirkular desa. Tanpa entitas yang mampu mengelola usaha secara berkelanjutan, aktivitas pengelolaan sampah mudah berhenti pada tahap layanan sosial. BUMDes menawarkan kerangka formal untuk mengonsolidasikan aktivitas ekonomi, mengelola risiko, dan menahan nilai tambah agar tidak bocor keluar desa.
Peran BUMDes bukan sekadar sebagai pemilik aset, tetapi sebagai perancang model bisnis. Ini mencakup penentuan produk yang realistis, skema harga, kemitraan pasar, dan pembagian manfaat. Dalam konteks desa, model bisnis yang terlalu kompleks justru meningkatkan risiko kegagalan. Pendekatan bertahap—dimulai dari produk berisiko rendah dengan pasar lokal—lebih sesuai dibandingkan mengejar diversifikasi agresif sejak awal.
Integrasi TPS 3R ke dalam portofolio usaha BUMDes juga membantu menyelesaikan persoalan klasik keberlanjutan. Ketika pendapatan TPS 3R berfluktuasi, BUMDes dapat melakukan subsidi silang dari unit usaha lain. Sebaliknya, TPS 3R dapat menyediakan manfaat non-finansial bagi desa, seperti pengurangan biaya lingkungan dan peningkatan kualitas layanan publik, yang memperkuat legitimasi BUMDes di mata warga.
Namun keberhasilan desain ini sangat bergantung pada tata kelola internal BUMDes. Transparansi keuangan, pembagian peran yang jelas, dan akuntabilitas menjadi prasyarat. Tanpa itu, ekonomi sirkular berisiko dipersepsikan sebagai proyek elite desa, bukan usaha kolektif. Di titik ini, model bisnis bukan hanya soal perhitungan laba, tetapi juga kepercayaan sosial.
4. Modal Sosial sebagai Infrastruktur Tak Terlihat Ekonomi Sirkular Desa
Salah satu pembeda utama antara ekonomi sirkular desa dan pendekatan perkotaan adalah peran modal sosial. Di desa, relasi sosial yang rapat sering kali menjadi faktor penentu keberhasilan atau kegagalan sistem. Partisipasi warga dalam pemilahan sampah, kesediaan membayar iuran, dan dukungan terhadap BUMDes tidak bisa dipaksakan semata melalui aturan formal.
Modal sosial bekerja sebagai infrastruktur tak terlihat yang menurunkan biaya transaksi. Kepercayaan antarwarga memudahkan koordinasi, mengurangi kebutuhan pengawasan, dan mempercepat adopsi praktik baru. Dalam konteks ekonomi sirkular, modal sosial memungkinkan TPS 3R beroperasi dengan tingkat kepatuhan yang relatif tinggi meski sumber daya terbatas.
Namun modal sosial juga bersifat rapuh. Konflik internal, persepsi ketidakadilan, atau pengelolaan yang tidak transparan dapat merusaknya dengan cepat. Ketika kepercayaan menurun, sistem ekonomi sirkular ikut melemah, karena partisipasi warga merupakan input utama. Oleh karena itu, penguatan modal sosial harus dipandang sebagai bagian dari desain sistem, bukan efek samping yang diasumsikan hadir dengan sendirinya.
Pendekatan yang terlalu teknokratis—misalnya hanya berfokus pada target volume atau pendapatan—sering mengabaikan dimensi ini. Padahal, di desa, keberlanjutan justru ditentukan oleh keseimbangan antara logika ekonomi dan logika sosial. Ekonomi sirkular yang berhasil adalah yang mampu menyelaraskan insentif ekonomi dengan norma dan nilai lokal.
5. Tantangan Implementasi: Skala Usaha, Akses Pasar, dan Risiko Ketergantungan
Meskipun menawarkan potensi kemandirian, ekonomi sirkular berbasis desa menghadapi tantangan struktural yang tidak ringan. Tantangan pertama adalah skala usaha. Volume sampah desa relatif kecil dan tersebar, sehingga sulit mencapai efisiensi ekonomi jika berdiri sendiri. Tanpa strategi penggabungan skala—baik antar dusun maupun antar desa—TPS 3R berisiko terjebak pada biaya operasional yang tidak sebanding dengan pendapatan.
Tantangan kedua berkaitan dengan akses pasar. Produk hasil pengolahan sampah desa, seperti material daur ulang atau kompos, sangat bergantung pada pasar eksternal dengan harga yang fluktuatif. Ketika harga turun, margin usaha menipis dan motivasi pelaku melemah. Dalam kondisi ini, ekonomi sirkular desa membutuhkan diversifikasi pasar dan fleksibilitas model bisnis, bukan ketergantungan pada satu komoditas atau satu pembeli.
Risiko lain yang sering muncul adalah ketergantungan pada dukungan eksternal. Banyak TPS 3R dan BUMDes tumbuh melalui program bantuan, hibah, atau pendampingan proyek. Dukungan ini penting sebagai pemicu awal, tetapi dapat menjadi jebakan jika tidak diiringi strategi kemandirian. Ketika pendampingan berakhir, sistem yang belum matang sering kali kehilangan arah dan berhenti beroperasi.
Selain itu, terdapat tantangan kapasitas manajerial. Mengelola ekonomi sirkular menuntut kombinasi keterampilan teknis, bisnis, dan sosial yang tidak selalu tersedia di desa. Tanpa penguatan kapasitas yang berkelanjutan, beban sering bertumpu pada segelintir individu kunci. Ketergantungan pada figur ini meningkatkan risiko keberlanjutan jangka panjang.
Menghadapi tantangan-tantangan tersebut, ekonomi sirkular desa tidak dapat diperlakukan sebagai proyek satu kali. Ia membutuhkan pendekatan bertahap, pembelajaran berkelanjutan, dan kebijakan pendukung yang memberi ruang adaptasi, bukan sekadar target output.
6. Kesimpulan Analitis: Ekonomi Sirkular Desa sebagai Strategi Kemandirian Lokal
Pembahasan ini menegaskan bahwa ekonomi sirkular di tingkat desa bukan sekadar pendekatan pengelolaan sampah, melainkan strategi pembangunan ekonomi lokal. Dengan desain yang tepat, TPS 3R dapat bertransformasi dari fasilitas layanan menjadi simpul produksi, BUMDes berperan sebagai penggerak nilai tambah, dan modal sosial menjadi fondasi keberlanjutan sistem.
Namun keberhasilan ekonomi sirkular desa tidak bersifat otomatis. Ia sangat bergantung pada kesesuaian desain dengan realitas lokal: skala usaha yang terbatas, relasi sosial yang rapat, serta kapasitas kelembagaan yang berkembang bertahap. Pendekatan yang terlalu meniru model perkotaan atau industri besar berisiko gagal karena mengabaikan konteks ini.
Artikel ini juga menunjukkan bahwa kemandirian desa tidak berarti isolasi. Justru sebaliknya, ekonomi sirkular desa membutuhkan keterhubungan yang cerdas dengan pasar, jejaring antar desa, dan kebijakan supradesa. Kemandirian di sini dimaknai sebagai kemampuan mengelola sumber daya lokal secara strategis, bukan menutup diri dari sistem yang lebih luas.
Pada akhirnya, ekonomi sirkular berbasis desa dapat menjadi laboratorium penting bagi pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Ia menguji kemampuan kebijakan untuk bekerja dengan modal sosial, bukan melawannya; memanfaatkan skala kecil sebagai kekuatan, bukan keterbatasan; serta menempatkan masyarakat desa sebagai pelaku utama, bukan objek pembangunan. Dalam kerangka inilah ekonomi sirkular desa layak dipandang sebagai jalan realistis menuju kemandirian lokal.
Daftar Pustaka
Mukhlis, I., Adistya, P. A., Putri, K. K. N. S., Kaningga, P., Saputra, M. D. H., Valentin, A., & Hidayah, I. (2024). Circular economy business model in integrated waste management to encourage self-reliance in Jongbiru Village. The 6th International Research Conference on Economics and Business, KnE Social Sciences, 46–56.