1. Pendahuluan: Circular Economy sebagai Strategi Kemandirian Desa
Dalam penelitian yang ditulis oleh Imam Mukhlis, Pragita Aci Adistya, Kamelia Kusuma Ning Sarwono Putri, Paul Kaningga, Mochamad Dandy Hadi Saputra, Anisa Valentin, dan Isnawati Hidayah, circular economy tidak diposisikan sebagai konsep makro yang abstrak, melainkan sebagai strategi pembangunan desa yang operasional dan berbasis komunitas. Fokus utama studi ini adalah Desa Jongbiru di Kabupaten Kediri, yang mengembangkan sistem pengelolaan sampah terintegrasi berbasis prinsip 3R (reduce, reuse, recycle) untuk mendorong kemandirian ekonomi dan sosial.
Pendekatan ini menarik karena membalik asumsi umum bahwa circular economy membutuhkan teknologi tinggi dan modal besar. Sebaliknya, Jongbiru menunjukkan bahwa circular economy dapat tumbuh dari pengelolaan sampah rumah tangga secara kolektif, dengan memanfaatkan sumber daya lokal, kerja sukarela, dan struktur sosial desa. Dalam konteks pembangunan pedesaan, pendekatan ini relevan karena desa sering menghadapi keterbatasan fiskal dan kapasitas institusional.
Pendahuluan penelitian ini juga menempatkan circular economy dalam kerangka pemberdayaan masyarakat. Sampah tidak lagi diperlakukan sebagai beban lingkungan semata, tetapi sebagai input ekonomi yang dapat menciptakan nilai tambah, lapangan kerja, dan ketahanan pangan. Dengan demikian, circular economy berfungsi ganda: sebagai instrumen lingkungan dan sebagai mekanisme pembangunan ekonomi lokal.
Yang penting, penulis tidak mengklaim bahwa model Jongbiru telah sempurna. Justru, studi ini sejak awal mengakui adanya keterbatasan dalam perencanaan jangka panjang dan partisipasi masyarakat yang belum merata. Sikap reflektif ini membuat analisis menjadi relevan secara kebijakan, karena menempatkan circular economy sebagai proses pembelajaran sosial, bukan solusi instan.
2. Kerangka Model Bisnis: Business Model Canvas dan Peran Modal Sosial
Inti analisis penelitian ini terletak pada pengembangan model bisnis circular economy menggunakan pendekatan Business Model Canvas (BMC) yang dimodifikasi dengan dimensi keberlanjutan. Berbeda dari BMC konvensional yang berfokus pada profitabilitas, kerangka yang digunakan menekankan integrasi antara nilai ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Dalam konteks Jongbiru, pengelolaan sampah terintegrasi menghasilkan beragam aktivitas ekonomi: pemilahan sampah, produksi kompos, budidaya maggot, serta pengembangan peternakan ikan dan unggas. Aktivitas-aktivitas ini saling terhubung dalam satu sistem sirkular, di mana limbah dari satu proses menjadi input bagi proses lain. Model ini menunjukkan bahwa circular economy di tingkat desa tidak harus linear atau sektoral, melainkan berlapis dan adaptif.
Faktor kunci yang memungkinkan model ini berjalan adalah modal sosial. Penelitian ini menegaskan bahwa keberhasilan TPS 3R Jongbiru tidak dapat dipisahkan dari kepercayaan masyarakat, partisipasi rumah tangga, serta peran lembaga desa seperti BUMDes. Modal sosial berfungsi sebagai perekat sistem—mengurangi biaya koordinasi, meningkatkan kepatuhan pemilahan sampah, dan memperkuat legitimasi kelembagaan.
Namun, analisis juga mengungkap batasan penting. Partisipasi masyarakat belum mencakup seluruh rumah tangga desa, dan keberlanjutan model masih bergantung pada aktor-aktor kunci tertentu. Tanpa strategi regenerasi partisipasi dan penguatan kapasitas jangka panjang, model bisnis berisiko stagnan. Di sinilah penelitian ini memberi kontribusi analitis: circular economy berbasis desa tidak hanya soal desain model bisnis, tetapi juga tentang bagaimana modal sosial dipelihara dan ditransformasikan menjadi institusi yang berkelanjutan.
Section ini menunjukkan bahwa Business Model Canvas dapat menjadi alat yang efektif untuk memetakan circular economy di tingkat mikro, asalkan dipahami sebagai kerangka dinamis, bukan cetak biru statis. Integrasi antara struktur bisnis dan modal sosial menjadi pembeda utama antara proyek lingkungan jangka pendek dan sistem circular economy yang benar-benar berkelanjutan.
3. Dampak Sosial–Ekonomi dan Lingkungan: Dari Pengelolaan Sampah ke Pemberdayaan Desa
Penelitian oleh Imam Mukhlis dan rekan-rekan menunjukkan bahwa dampak utama model circular economy di Jongbiru tidak berhenti pada perbaikan pengelolaan sampah, tetapi meluas ke transformasi sosial–ekonomi desa. Pengolahan sampah organik menjadi kompos dan pakan maggot menciptakan aliran nilai baru yang sebelumnya tidak ada, sekaligus mengurangi ketergantungan pada input eksternal seperti pupuk kimia dan pakan ternak komersial.
Dari sisi ekonomi rumah tangga, sistem ini memberikan pendapatan tambahan bagi kelompok pengelola dan pelaku usaha turunan. Nilai tambah tidak selalu besar dalam nominal, tetapi signifikan dalam konteks desa karena bersifat stabil dan berbasis aktivitas lokal. Lebih penting lagi, circular economy di Jongbiru berfungsi sebagai mekanisme distribusi manfaat, di mana keuntungan tidak terpusat pada satu aktor, melainkan menyebar melalui jaringan aktivitas yang saling terkait.
Dampak sosialnya terlihat pada perubahan perilaku dan peningkatan kesadaran lingkungan. Praktik pemilahan sampah di sumber mendorong partisipasi aktif warga dalam sistem kolektif. Dalam perspektif pembangunan, perubahan ini penting karena menciptakan kapabilitas sosial—kemampuan masyarakat untuk mengelola sumber daya secara bersama dan berkelanjutan. Circular economy di sini bekerja sebagai sarana pembelajaran sosial, bukan sekadar intervensi teknis.
Dari sisi lingkungan, pengurangan volume sampah yang dibuang ke TPA menjadi indikator paling nyata. Namun, penulis menekankan bahwa manfaat lingkungan yang lebih substantif terletak pada penutupan siklus material di tingkat lokal. Limbah organik yang sebelumnya menjadi sumber emisi dan pencemaran kini diproses kembali ke dalam sistem produksi desa. Hal ini memperkuat argumen bahwa circular economy berbasis desa dapat memberikan kontribusi nyata terhadap agenda keberlanjutan, meskipun dalam skala mikro.
4. Keterbatasan Model dan Implikasi Kebijakan: Dari Studi Kasus ke Replikasi
Meskipun menunjukkan hasil yang positif, penelitian ini secara jujur mengakui sejumlah keterbatasan struktural. Salah satu tantangan utama adalah keberlanjutan partisipasi masyarakat. Sistem circular economy Jongbiru masih sangat bergantung pada aktor-aktor kunci yang memiliki komitmen tinggi. Ketergantungan ini menimbulkan risiko jika terjadi pergantian kepemimpinan atau penurunan motivasi kolektif.
Selain itu, skala ekonomi menjadi isu krusial. Model bisnis yang berjalan efektif di satu desa belum tentu dapat langsung direplikasi di desa lain dengan kondisi sosial dan kelembagaan berbeda. Penulis menekankan bahwa circular economy berbasis desa bersifat sangat kontekstual, sehingga replikasi memerlukan adaptasi, bukan penyeragaman. Tanpa pemahaman konteks lokal, upaya duplikasi berisiko menghasilkan proyek simbolik yang tidak berkelanjutan.
Dari perspektif kebijakan, studi ini menyiratkan perlunya peran negara sebagai fasilitator, bukan pengendali. Dukungan kebijakan sebaiknya difokuskan pada penyediaan pendampingan teknis, akses pembiayaan mikro, dan penguatan kelembagaan desa. Kebijakan yang terlalu top-down berisiko merusak modal sosial yang menjadi fondasi utama sistem circular economy di Jongbiru.
Implikasi penting lainnya adalah kebutuhan integrasi lintas sektor. Circular economy berbasis desa tidak hanya menyentuh isu lingkungan, tetapi juga pertanian, ketahanan pangan, dan ekonomi lokal. Oleh karena itu, kebijakan desa, kabupaten, dan sektor terkait perlu diselaraskan agar manfaat sirkular dapat diperluas dan dipertahankan.
Section ini menegaskan bahwa kekuatan utama model Jongbiru bukan pada skalabilitas cepat, melainkan pada kedalaman transformasi lokal. Circular economy di tingkat desa menawarkan pelajaran penting: keberlanjutan jangka panjang lebih mungkin tercapai melalui penguatan komunitas dan institusi lokal dibandingkan melalui intervensi teknologi besar yang terlepas dari konteks sosial.
5. Rekomendasi Kebijakan: Memperkuat Circular Economy Berbasis Desa
Berdasarkan temuan Imam Mukhlis dan rekan-rekan, rekomendasi kebijakan utama adalah perlunya pendekatan yang memberdayakan, bukan menyeragamkan. Circular economy berbasis desa tidak cocok dikelola melalui skema kebijakan tunggal yang top-down. Sebaliknya, kebijakan perlu memberi ruang fleksibilitas agar desa dapat mengembangkan model sirkular sesuai dengan modal sosial, sumber daya, dan kebutuhan lokalnya.
Rekomendasi pertama adalah penguatan kelembagaan desa. Peran BUMDes, kelompok pengelola TPS 3R, dan organisasi masyarakat perlu dilembagakan secara lebih formal agar sistem tidak bergantung pada individu tertentu. Legalitas, pembagian peran yang jelas, serta mekanisme insentif internal akan membantu menjaga keberlanjutan jangka panjang.
Rekomendasi kedua menyangkut dukungan pembiayaan mikro dan pendampingan teknis. Circular economy di tingkat desa sering menghadapi kendala modal kerja dan akses pasar. Program pendampingan yang menggabungkan pelatihan teknis, manajemen usaha, dan pemasaran akan lebih efektif dibandingkan bantuan fisik semata. Kebijakan sebaiknya mendorong kemitraan dengan perguruan tinggi, LSM, dan sektor swasta lokal.
Rekomendasi ketiga adalah integrasi kebijakan lintas sektor. Model Jongbiru menunjukkan bahwa circular economy desa beririsan langsung dengan pertanian, ketahanan pangan, dan kesehatan lingkungan. Oleh karena itu, kebijakan lingkungan desa perlu disinergikan dengan program pertanian berkelanjutan dan ekonomi lokal, bukan diperlakukan sebagai agenda terpisah.
Section ini menegaskan bahwa peran kebijakan terbaik bukan mengendalikan circular economy desa, melainkan menciptakan kondisi yang memungkinkan model lokal tumbuh, beradaptasi, dan direplikasi secara kontekstual.
6. Kesimpulan: Circular Economy Desa sebagai Fondasi Transisi Berkeadilan
Artikel ini menunjukkan bahwa circular economy tidak harus dimulai dari industri besar atau teknologi canggih. Melalui studi kasus Desa Jongbiru, Imam Mukhlis dan rekan-rekan memperlihatkan bahwa circular economy dapat berakar pada praktik sehari-hari masyarakat desa, dengan memanfaatkan sampah sebagai sumber daya dan modal sosial sebagai penggerak utama.
Nilai utama dari model Jongbiru bukan terletak pada skalanya, melainkan pada kedalaman transformasi lokal. Circular economy di sini berfungsi sebagai sarana pemberdayaan, pembelajaran kolektif, dan penguatan kemandirian desa. Pendekatan ini menawarkan alternatif penting terhadap model pembangunan yang sering mengabaikan kapasitas dan pengetahuan lokal.
Namun, artikel ini juga menegaskan bahwa circular economy berbasis desa bukan solusi instan. Keberhasilannya sangat bergantung pada kontinuitas partisipasi, dukungan kelembagaan, dan kebijakan yang sensitif terhadap konteks. Tanpa elemen-elemen tersebut, circular economy berisiko tereduksi menjadi proyek jangka pendek yang kehilangan momentum.
Sebagai penutup, pengalaman Jongbiru memberikan pelajaran strategis bagi agenda circular economy yang lebih luas: transisi yang berkelanjutan dan berkeadilan lebih mungkin tercapai ketika perubahan dimulai dari komunitas, bukan hanya dari pasar atau negara. Dalam konteks ini, desa bukan sekadar objek kebijakan, melainkan aktor penting dalam membangun ekonomi sirkular yang tangguh dan inklusif.