Modal Sosial dan Kegagalan Komunikasi: Pelajaran dari Banjir Bandang Matina 2011 untuk Ketahanan Urban di Davao City

Dipublikasikan oleh Raihan

23 Oktober 2025, 16.38

Resensi Mendalam: Membangun Ketahanan Sistemik dalam Menghadapi Kerentanan Banjir di Perkotaan

Penelitian kasus berjudul "Community Resilience to Address Urban Vulnerabilities: A Case Study of Flood-prone Communities" oleh Cayamanda & Lopez (2022) mengeksplorasi isu kritis mengenai kerentanan perkotaan terhadap bencana alam, khususnya banjir, dan peran penting yang dimainkan oleh ketahanan komunitas. Melalui studi kualitatif terhadap banjir bandang Matina 2011 di Davao City, Filipina, paper ini secara cermat menguji bagaimana komunikasi risiko dan modal sosial memengaruhi respons komunitas, kelompok, dan institusi terhadap bahaya banjir.

Davao City, yang teridentifikasi sebagai wilayah rawan banjir meskipun berada di zona yang relatif bebas topan, menyediakan konteks empiris yang kaya. Fokusnya adalah pada tiga barangay yang sangat padat penduduk dan memiliki banyak institusi/bisnis—Matina Crossing, Matina Pangi, dan Matina Aplaya—yang secara kolektif menyumbang 61,57% dari total keluarga yang terkena dampak banjir bandang 2011. Dengan menggunakan metode kualitatif yang melibatkan analisis dokumen, wawancara informan kunci, dan diskusi kelompok terfokus, serta didukung oleh Model Crunch dari Wisner et al. (2004) , penelitian ini berhasil mengidentifikasi faktor-faktor penyebab kerentanan dan dinamika sosial dalam respons bencana.

Alur Logis Temuan Penelitian

Penelitian ini memetakan perjalanan logis dari kerentanan struktural menuju respons pasca-bencana. Tahap pra-bencana menunjukkan bahwa wilayah studi adalah zona perkotaan padat yang terletak di area risiko banjir (Zona Mitigasi Banjir), di mana dua sungai utama, Sungai Pangi dan Sungai Davao, melintasi daerah yang padat penduduk. Bencana itu sendiri—banjir bandang Juni 2011 yang dipicu oleh Inter-tropical Convergence Zone (ITCZ) dan hujan lebat selama tiga jam di daerah hulu—menghasilkan banjir yang merusak, menelan total 29 korban jiwa (mayoritas perempuan dan anak-anak).

Fase pasca-bencana mengungkapkan kontradiksi utama:

  • Kekuatan Modal Sosial: Terdapat tingkat modal sosial yang kuat yang ditunjukkan oleh respons cepat dan kolektif. Berbagai lembaga pemerintah (misalnya, Phil Coast Guard, 911 Urban Search & Rescue), non-pemerintah (misalnya, Knighthawk Foundation), dan organisasi berbasis gereja dengan segera memobilisasi upaya evakuasi, pertolongan pertama, dan distribusi bantuan dalam 6 hingga 24 jam pertama. Tingkat kepercayaan yang relatif kuat terhadap lembaga pemerintah kota, khususnya Central 911, menjadi keuntungan signifikan dalam memobilisasi respons yang cepat dan efektif.
  • Kelemahan Komunikasi Risiko: Meskipun respons cepat, insiden tersebut tidak mencapai nol-korban. Laporan menunjukkan adanya kurangnya protokol manajemen komunikasi dan koordinasi yang buruk antar-lembaga respons. Kurangnya kesadaran dan tingkat persepsi risiko yang rendah di kalangan komunitas, ditambah dengan 'peleburan informasi' (information melt down), membuat komunitas rentan, dan gap enam jam sebelum respons awal tiba menjadi krusial.
  • Faktor-faktor Kontribusi Lainnya: Faktor-faktor yang memperburuk dampak bencana meliputi curah hujan yang sangat tinggi (60 mm antara pukul 10 malam dan 1 pagi), perluasan aktivitas pertanian di daerah hulu yang memengaruhi ekologi tanah, pembangunan di sepanjang bantaran sungai yang mempersempit saluran air, dan sedimentasi (pendangkalan) yang menyebabkan air Matina-Pangi berbalik saat air pasang.

Temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara modal sosial dan respons cepat — menyoroti potensi kuat untuk objek penelitian baru dalam mengkuantifikasi dimensi relasional dan struktural (seperti yang diusulkan oleh Nahapiet dan Ghoshal) dari modal sosial pasca-bencana. Namun, interaksi antara koordinasi antar-lembaga dan protokol komunikasi yang tidak memadai menunjukkan bahwa modal sosial saja tidak cukup untuk mengurangi korban jiwa, terutama di antara kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Paper ini memberikan kontribusi signifikan terhadap literatur tentang manajemen bencana perkotaan, khususnya di negara-negara berkembang, dengan melakukan dua hal:

  1. Validasi Konseptual-Empiris Modal Sosial: Secara empiris memvalidasi konsep bahwa modal sosial yang kuat—diwujudkan melalui jejaring kepercayaan, norma, dan asosiasi antar-lembaga dan komunitas—adalah penggerak utama respons cepat dan pemulihan pasca-bencana. Ini memperkuat literatur yang menganjurkan pergeseran fokus intervensi bencana dari struktur fisik/teknis ke pembangunan kohesi sosial.
  2. Identifikasi Kesenjangan Komunikasi Krisis: Meskipun memuji kekuatan modal sosial, paper ini dengan tegas mengidentifikasi manajemen komunikasi dan sinkronisasi protokol sebagai titik kegagalan kritis. Temuan ini memperluas wacana tentang peran komunikasi dalam intervensi bencana, menekankan bahwa bukan hanya kesadaran (awareness) yang penting, tetapi juga kejelasan, kredibilitas, dan adaptasi pesan krisis (consensus communication dan crisis communication)—seperti yang disorot oleh penelitian sebelumnya.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Keterbatasan utama penelitian ini adalah sifatnya sebagai studi kasus kualitatif. Meskipun kaya akan deskripsi dan dinamika sosial, temuan ini mungkin tidak dapat digeneralisasikan ke semua konteks perkotaan yang rentan banjir.

Beberapa pertanyaan terbuka yang muncul meliputi:

  1. Pengukuran Kuantitatif: Sejauh mana korelasi antara modal sosial yang tinggi dan tingkat korban yang relatif lebih rendah—meskipun tidak nol—di Matina dapat diukur dan dikuantifikasi untuk mengembangkan indeks prediktif?
  2. Model Transaksional Komunikasi: Model komunikasi spesifik apa yang harus diusulkan untuk mengatasi "masalah pada tingkat transaksi antara lembaga/institusi terkait dan tingkat komunitas lokal" yang teridentifikasi dalam penelitian ini dan penelitian terkait lainnya?
  3. Adaptasi Lintas Batas: Mengingat isu multi-dinamika dan lintas batas (misalnya, masalah ekosistem sungai yang mencakup batas-batas geografis lokal) , bagaimana mekanisme inter-pemerintahan dan ขขkoordinasi lintas batas dapat diinstitusionalisasi secara efektif untuk mengintegrasikan adaptasi berbasis ekosistem (EBA) dan komunitas (CBA)?

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

Resensi ini merekomendasikan lima jalur riset lanjutan, yang ditujukan untuk komunitas akademik, peneliti, dan penerima hibah, untuk memperluas kontribusi paper ini ke tingkat sistemik dan terukur.

  1. Studi Kuantitatif Korelasi Modal Sosial-Resiliensi (Variabel Struktural):
    • Basis Temuan: Penelitian ini menyimpulkan bahwa modal sosial yang kuat exhibited oleh komunitas, institusi, dan kelompok berkontribusi pada respons darurat yang cepat.
    • Riset Baru: Diperlukan studi kuantitatif yang mengadopsi model regresi untuk menguji hubungan antara dimensi struktural modal sosial (misalnya, kepadatan jaringan organisasi, frekuensi interaksi inter-lembaga) dan hasil resiliensi (misalnya, kecepatan pemulihan infrastruktur, pengurangan biaya bencana). Variabel independen harus mencakup network ties dan configurations antar-lembaga, sementara variabel dependennya adalah waktu pemulihan rata-rata pasca-bencana.
    • Justifikasi Ilmiah: Penggunaan kerangka Nahapiet dan Ghoshal dalam konteks bencana memungkinkan pengembangan metrik yang dapat diskalakan untuk memandu investasi hibah riset dalam pembangunan kapasitas sosial.
  2. Desain dan Pengujian Model Komunikasi Risiko Transaksional Komunitas-Sentris:
    • Basis Temuan: Kurangnya protokol manajemen komunikasi dan koordinasi antar-lembaga mengakibatkan 'peleburan informasi' dan memicu kerentanan.
    • Riset Baru: Mengembangkan dan menguji model komunikasi risiko dua arah (transaksional) baru, yang bergerak melampaui penyebaran informasi satu arah. Model ini harus fokus pada variabel seperti kejelasan pesan (terkait dengan latar belakang sosio-kultural dan bahasa lokal), kredibilitas sumber, dan umpan balik komunitas secara real-time. Metodologi harus mencakup studi intervensi dengan grup kontrol di daerah Matina yang berbeda.
    • Justifikasi Ilmiah: Hal ini sejalan dengan perlunya "melokalisasi" pendekatan pada kampanye dan komunikasi bencana dan memodifikasi kebijakan komunikasi, seperti yang disarankan oleh temuan (Zhang et al., 2007; Terry & Fellows, 2008) yang dibahas dalam paper.
  3. Analisis Kerentanan Diferensial dan Dampak Gender-Spesifik:
    • Basis Temuan: Kelompok yang paling rentan (perempuan dan anak-anak) adalah mayoritas korban jiwa (29 kasus).
    • Riset Baru: Melakukan analisis kerentanan mendalam yang secara eksplisit memasukkan perspektif gender dan usia (anak-anak, lansia) sebagai variabel kunci dalam Modifikasi Model Crunch (Vu Minh & Smyth, 2012). Riset ini harus menguji bagaimana faktor-faktor non-struktural (misalnya, peran pengasuhan, hambatan mobilitas) dan struktural (misalnya, akses ke informasi, pendapatan) berinteraksi untuk meningkatkan kerentanan di antara sub-populasi ini.
    • Justifikasi Ilmiah: Rekomendasi ini mendukung Prioritas Aksi Kerangka Kerja Hyogo (2005–2015) untuk mengintegrasikan keragaman budaya, usia, kelompok rentan, dan perspektif gender ke dalam semua kebijakan dan perencanaan risiko bencana.
  4. Desain Kerangka Kerja Adaptasi Lintas Batas Berbasis Ekosistem dan Komunitas (EBA/CBA):
    • Basis Temuan: Kerentanan Matina tidak hanya terbatas pada batas-batas kotanya, melibatkan isu multi-dinamika dan lintas batas seperti perubahan penggunaan lahan di hulu dan drainase sungai yang bermuara ke Davao Gulf.
    • Riset Baru: Merancang kerangka kerja operasional untuk Adaptasi Lintas Batas yang menggabungkan EBA dan CBA. Riset ini harus mengidentifikasi dan memodelkan variabel ekologis (misalnya, kualitas penutup lahan di hulu, laju sedimentasi) dan variabel sosial (misalnya, keterlibatan komunitas dalam kegiatan restorasi) dan mengukur dampak gabungan variabel ini terhadap mitigasi banjir di Matina.
    • Justifikasi Ilmiah: Pendekatan terpadu ini sangat penting untuk mengurangi kerentanan karena mencerminkan prioritas dan kapasitas komunitas (CBA) sambil mempertimbangkan ekosistem (EBA), yang telah diidentifikasi sebagai jalur yang menjanjikan.
  5. Audit dan Pemodelan Kinerja Inter-Organisasi Pasca-Bencana:
    • Basis Temuan: Ada pengamatan akan "koordinasi yang buruk di seluruh sistem respons antar-lembaga".
    • Riset Baru: Melakukan audit kinerja antar-organisasi (misalnya, LGU, NGOs, Militer) yang terlibat dalam respons Matina 2011 menggunakan metrik (Comfort & Kapucu, 2006) seperti kecepatan pertukaran informasi, rasio duplikasi upaya, dan peningkatan kapasitas kolaboratif. Pemodelan harus mengidentifikasi "titik terkuat" (misalnya, 911) dan "titik lemah" untuk mengembangkan strategi kolaboratif yang lebih efisien.
    • Justifikasi Ilmiah: Peningkatan koordinasi dan hubungan antar-organisasi diperlukan untuk mempertahankan modal sosial yang kuat dan mengatasi kegagalan yang diamati, seperti yang disorot oleh paper ini.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi Lembaga Pemerintah Daerah (LGU) di Davao City, Universitas di Mindanao (seperti UP Mindanao), dan organisasi Non-Pemerintah (NGO) lokal/internasional untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil di lapangan.

Sesuai dengan rekomendasi paper untuk kerja sama lintas batas dan inter-pemerintahan, kolaborasi penelitian ini akan memperkuat sinergi antara ilmu sosial, ilmu lingkungan, dan perencanaan kota untuk menciptakan model ketahanan yang benar-benar holistik.

Baca paper aslinya di sini