1. Pendahuluan: Circular Economy Plastik dan Masalah Kesenjangan Sistemik
Bab yang ditulis oleh Nicholas Kolesch, Steve Sikra, dan Martyn Tickner berangkat dari satu pengamatan kunci: meskipun circular economy telah menjadi visi global yang hampir disepakati bersama, realisasi di lapangan masih jauh dari memadai. Plastik menjadi contoh paling jelas dari paradoks ini. Di satu sisi, plastik adalah material dengan nilai ekonomi tinggi dan potensi sirkularitas besar; di sisi lain, sebagian besar plastik justru berakhir sebagai limbah yang bocor ke lingkungan dan laut.
Penulis menempatkan persoalan plastik bukan sebagai kegagalan niat, melainkan sebagai kegagalan sistem kolektif. Tingkat daur ulang global yang rendah, kebocoran plastik ke ekosistem, dan ketergantungan berkelanjutan pada plastik perawan menunjukkan bahwa circular economy plastik belum berfungsi sebagai sistem yang utuh. Alih-alih menutup siklus material, sistem yang ada saat ini justru memperlihatkan serangkaian celah struktural—yang oleh penulis disebut sebagai circularity gaps.
Pendekatan ini penting karena menggeser fokus dari solusi tunggal ke diagnosis multi-dimensi. Circular economy plastik tidak runtuh karena satu titik lemah, melainkan karena kombinasi kegagalan di sepanjang rantai nilai: mulai dari desain produk, pengumpulan limbah, kualitas material daur ulang, hingga keselarasan antaraktor. Dengan kata lain, masalah utama bukan terletak pada kurangnya teknologi atau komitmen, tetapi pada ketidaksinambungan antarbagian sistem.
Pendahuluan bab ini juga menekankan bahwa Asia memegang peran sentral dalam krisis plastik global. Urbanisasi cepat, pertumbuhan konsumsi, dan keterbatasan infrastruktur pengelolaan limbah menjadikan kawasan ini titik kritis bagi keberhasilan atau kegagalan circular economy plastik. Dalam konteks inilah penulis mengajukan argumen bahwa menutup kesenjangan sirkularitas bukan sekadar agenda lingkungan, melainkan agenda pembangunan, investasi, dan tata kelola lintas sektor.
2. Enam Circularity Gaps: Kerangka Diagnostik untuk Ekonomi Plastik Sirkular
Kontribusi utama bab ini terletak pada perumusan enam circularity gaps yang secara sistematis menjelaskan mengapa circular economy plastik sulit diwujudkan. Kerangka ini tidak dimaksudkan sebagai daftar masalah terpisah, melainkan sebagai peta hubungan sebab-akibat dalam sistem ekonomi plastik global.
Quantity Gap menggambarkan kegagalan paling dasar: jumlah plastik bekas yang berhasil dikumpulkan jauh lebih kecil dibandingkan plastik yang diproduksi dan dikonsumsi. Tanpa sistem pengumpulan dan pemilahan yang memadai, plastik tidak pernah memasuki siklus sirkular. Dalam banyak konteks negara berkembang, gap ini berkaitan langsung dengan ketiadaan layanan dasar dan dominasi praktik pembuangan terbuka.
Quality Gap muncul ketika plastik yang dikumpulkan tidak memenuhi standar untuk digunakan kembali dalam aplikasi bernilai tinggi. Kontaminasi, pencampuran resin, dan degradasi material membuat plastik daur ulang kalah bersaing dengan plastik perawan. Penulis menekankan bahwa tanpa peningkatan kualitas, circular economy akan terjebak pada daur ulang bernilai rendah (downcycling).
Design Gap menyoroti akar masalah yang sering diabaikan: banyak produk plastik sejak awal tidak dirancang untuk sirkularitas. Fokus pada kenyamanan, diferensiasi merek, dan biaya rendah menghasilkan kemasan dan produk yang sulit didaur ulang. Dalam kerangka ini, circular economy gagal bukan di akhir siklus, tetapi sejak tahap desain.
Affordability Gap mengacu pada ketidakseimbangan ekonomi antara biaya pengelolaan limbah dan nilai material yang dihasilkan. Ketika biaya pengumpulan, pemilahan, dan daur ulang lebih tinggi daripada nilai pasar plastik daur ulang, sistem sirkular menjadi tidak berkelanjutan secara finansial tanpa dukungan tambahan.
Data Gap mencerminkan lemahnya basis informasi. Tanpa data yang konsisten tentang aliran plastik, lokasi kebocoran, dan kinerja intervensi, pengambilan keputusan menjadi spekulatif. Penulis menegaskan bahwa circular economy memerlukan data sebagai infrastruktur strategis, bukan sekadar pelengkap.
Terakhir, Alignment Gap menyoroti perbedaan kepentingan, prioritas, dan persepsi antaraktor—pemerintah, sektor swasta, investor, dan masyarakat. Tanpa keselarasan tujuan dan pembagian peran yang jelas, upaya sirkular terfragmentasi dan kehilangan skala dampak.
Section ini menunjukkan bahwa circular economy plastik tidak dapat dibangun melalui satu intervensi unggulan. Menutup satu gap tanpa memperhatikan gap lain justru menciptakan bottleneck baru. Dengan demikian, kerangka enam circularity gaps berfungsi sebagai alat analisis sekaligus panduan strategis untuk memahami kompleksitas transisi menuju ekonomi plastik yang benar-benar sirkular.
3. Menutup Quantity dan Quality Gap: Dari Infrastruktur Dasar ke Nilai Material
Dalam bab ini, penulis menegaskan bahwa dua kesenjangan paling mendasar—Quantity Gap dan Quality Gap—harus ditangani secara bersamaan. Upaya meningkatkan tingkat pengumpulan tanpa memperbaiki kualitas material hanya akan memperbesar volume plastik bernilai rendah. Sebaliknya, fokus pada kualitas tanpa memperluas pengumpulan akan membatasi skala dampak. Oleh karena itu, strategi yang efektif harus memadukan investasi infrastruktur dengan perbaikan desain sistem.
Untuk menutup Quantity Gap, prioritas utama adalah memperluas dan menstabilkan sistem pengumpulan. Di banyak konteks perkotaan Asia, layanan pengumpulan formal belum menjangkau seluruh wilayah, sehingga kebocoran plastik ke lingkungan terjadi sebelum material memiliki peluang untuk masuk ke rantai daur ulang. Penulis menekankan bahwa solusi tidak selalu harus berteknologi tinggi; penguatan layanan dasar, skema insentif pengembalian, dan integrasi sektor informal dapat meningkatkan volume material yang terkumpul secara signifikan.
Namun, peningkatan kuantitas harus diiringi dengan intervensi yang menargetkan Quality Gap. Kualitas plastik daur ulang sangat dipengaruhi oleh pemilahan di sumber, konsistensi resin, dan pengendalian kontaminasi. Tanpa standar pemilahan yang jelas dan edukasi pengguna, material yang terkumpul akan sulit diproses menjadi input bernilai tinggi. Penulis menyoroti pentingnya standarisasi fraksi plastik dan penyederhanaan aliran material sebagai prasyarat untuk meningkatkan kualitas.
Pendekatan yang diusulkan menekankan nilai ekonomi sebagai pengungkit. Ketika kualitas material meningkat, nilai pasar plastik daur ulang ikut naik, sehingga menciptakan insentif bagi seluruh rantai nilai—dari pengumpul hingga produsen. Dalam kerangka ini, penutupan Quality Gap tidak hanya berdampak teknis, tetapi juga memperkuat kelayakan finansial sistem sirkular secara keseluruhan.
Section ini memperjelas bahwa Quantity dan Quality Gap membentuk hubungan umpan balik. Sistem pengumpulan yang andal meningkatkan pasokan, sementara kualitas yang lebih baik meningkatkan permintaan. Tanpa memutus lingkaran lemah ini, circular economy plastik akan terus terjebak pada daur ulang bernilai rendah dan skala terbatas.
4. Peran Desain dan Penyelarasan Aktor: Menutup Design dan Alignment Gap
Setelah membahas aspek hulu dan tengah sistem, bab ini menggeser fokus ke akar masalah yang lebih struktural: Design Gap dan Alignment Gap. Penulis menegaskan bahwa tanpa perubahan pada tahap desain dan penyelarasan antaraktor, intervensi di hilir hanya akan menghasilkan perbaikan marginal.
Design Gap mencerminkan fakta bahwa sebagian besar produk plastik tidak dirancang dengan mempertimbangkan akhir siklus hidupnya. Kompleksitas material, aditif, dan kemasan multi-lapis menciptakan hambatan besar bagi daur ulang. Penulis berargumen bahwa desain untuk sirkularitas harus menjadi norma, bukan pengecualian. Ini mencakup pengurangan variasi resin, penggunaan aditif yang kompatibel dengan daur ulang, dan transparansi informasi material.
Namun, perubahan desain tidak dapat dipaksakan pada produsen secara terisolasi. Di sinilah Alignment Gap menjadi krusial. Circular economy plastik melibatkan aktor dengan kepentingan yang berbeda—produsen mengejar efisiensi dan diferensiasi merek, pemerintah mengejar pengurangan polusi, investor mengejar kepastian pengembalian, dan masyarakat mengejar kenyamanan. Tanpa mekanisme penyelarasan, setiap aktor akan mengoptimalkan kepentingannya sendiri, sering kali dengan mengorbankan tujuan kolektif.
Penulis menekankan pentingnya kerangka kolaboratif yang jelas: pembagian peran, insentif yang konsisten, dan target bersama yang terukur. Skema seperti tanggung jawab produsen yang diperluas, komitmen sukarela industri, dan platform kolaborasi lintas sektor dipandang sebagai alat untuk menyelaraskan kepentingan tersebut. Namun, efektivitasnya bergantung pada konsistensi kebijakan dan penegakan yang kredibel.
Section ini menunjukkan bahwa Design dan Alignment Gap bersifat saling memperkuat. Tanpa desain yang sirkular, penyelarasan aktor kehilangan objek konkret. Tanpa penyelarasan, inovasi desain sulit diadopsi secara luas. Dengan demikian, menutup kedua gap ini menuntut pendekatan sistemik yang melampaui solusi teknis semata dan masuk ke ranah tata kelola serta koordinasi kolektif.
5. Affordability dan Data Gap: Ketika Circular Economy Tidak Masuk Akal Secara Ekonomi
Setelah membahas persoalan fisik dan koordinasi, bab yang ditulis Nicholas Kolesch, Steve Sikra, dan Martyn Tickner menyoroti dua kesenjangan yang sering menjadi deal breaker dalam praktik: Affordability Gap dan Data Gap. Keduanya menentukan apakah circular economy plastik dapat bertahan sebagai sistem ekonomi, bukan sekadar proyek lingkungan.
Affordability Gap muncul ketika biaya pengumpulan, pemilahan, dan daur ulang plastik lebih tinggi daripada nilai ekonomi material yang dihasilkan. Dalam kondisi pasar saat ini, plastik perawan masih sering lebih murah, lebih konsisten kualitasnya, dan lebih mudah diperoleh dibandingkan plastik daur ulang. Ketimpangan ini membuat circular economy bergantung pada subsidi, dukungan kebijakan, atau komitmen sukarela yang rapuh.
Penulis menekankan bahwa masalah ini bukan semata kegagalan pasar, melainkan refleksi dari struktur harga yang tidak memasukkan biaya lingkungan. Selama dampak eksternal plastik—polusi laut, kesehatan, degradasi ekosistem—tidak tercermin dalam harga, ekonomi linear akan terus memiliki keunggulan kompetitif. Dalam konteks ini, circular economy tidak kalah secara konsep, tetapi kalah dalam kalkulasi ekonomi jangka pendek.
Sementara itu, Data Gap memperparah masalah affordability. Tanpa data yang andal mengenai volume plastik, aliran material, tingkat kebocoran, dan kinerja intervensi, pengambilan keputusan menjadi berbasis asumsi. Penulis menekankan bahwa banyak kebijakan plastik dirancang dalam kondisi ketidakpastian tinggi, sehingga sulit menilai efektivitas atau menyesuaikan strategi secara adaptif.
Data, dalam kerangka ini, diposisikan sebagai infrastruktur strategis. Tanpa sistem data yang terintegrasi, circular economy kehilangan kemampuan untuk belajar, beradaptasi, dan menarik investasi. Investor dan pelaku usaha membutuhkan visibilitas risiko dan peluang, sementara pemerintah membutuhkan dasar empiris untuk merancang instrumen kebijakan yang tepat sasaran.
Section ini menegaskan bahwa circular economy plastik tidak akan berkelanjutan jika terus bergantung pada niat baik. Ia harus dibuat masuk akal secara ekonomi dan informasional, dengan struktur biaya dan data yang mendukung pengambilan keputusan rasional.
6. Kesimpulan: Dari Menutup Gap ke Membangun Sistem Sirkular yang Koheren
Artikel ini menunjukkan bahwa kegagalan circular economy plastik bukan disebabkan oleh kurangnya visi global, melainkan oleh serangkaian kesenjangan sistemik yang saling terkait. Melalui kerangka enam circularity gaps—quantity, quality, design, affordability, data, dan alignment—penulis menawarkan cara pandang yang lebih realistis dan operasional terhadap tantangan transisi sirkular.
Pelajaran utama yang dapat ditarik adalah bahwa circular economy plastik tidak dapat dibangun melalui satu solusi unggulan. Menutup satu gap tanpa memperhatikan gap lain hanya akan memindahkan bottleneck ke bagian sistem yang berbeda. Dengan demikian, circular economy menuntut pendekatan terintegrasi yang menyelaraskan desain produk, infrastruktur, insentif ekonomi, data, dan koordinasi aktor.
Bab ini juga menggeser narasi circular economy dari retorika ideal menuju agenda implementasi kolektif. Circular economy plastik bukan hanya persoalan teknologi atau perilaku konsumen, tetapi persoalan tata kelola dan struktur pasar. Keberhasilannya sangat bergantung pada kemampuan aktor publik dan swasta untuk menyepakati tujuan bersama dan membagi peran secara jelas.
Pada akhirnya, menutup circularity gaps berarti menerima bahwa circular economy adalah proses transisi yang kompleks, penuh kompromi, dan membutuhkan konsistensi kebijakan jangka panjang. Keberhasilan tidak diukur dari kesempurnaan sistem, melainkan dari kemampuannya mengurangi kebocoran, meningkatkan nilai material, dan secara bertahap menggeser ekonomi dari logika linear menuju logika sirkular yang koheren.
Daftar Pustaka
Kolesch, N., Sikra, S., & Tickner, M. (2022). Closing the “circularity gaps”: Practical strategies to address key challenges undermining the collective goal of a global circular economy of plastics. Dalam Transitioning to a Circular Economy in Developing Asia. Tokyo: Asian Development Bank Institute.
Geyer, R., Jambeck, J. R., & Law, K. L. (2017). Production, use, and fate of all plastics ever made. Science Advances, 3(7), e1700782.
Ellen MacArthur Foundation. (2016). The new plastics economy: Rethinking the future of plastics. Cowes: EMF.
Hopewell, J., Dvorak, R., & Kosior, E. (2009). Plastics recycling: Challenges and opportunities. Philosophical Transactions of the Royal Society B, 364(1526), 2115–2126.
Worm, B., Lotze, H. K., Jubinville, I., Wilcox, C., & Jambeck, J. (2017). Plastic as a persistent marine pollutant. Annual Review of Environment and Resources, 42, 1–26.