Menuju Tata Kelola Kualitas Air yang Lebih Efektif

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

24 Juni 2025, 09.33

pixabay.com

Mengapa Tata Kelola Kualitas Air Butuh Pendekatan Baru?

Kualitas air adalah fondasi bagi kesehatan manusia, ekosistem, dan pembangunan ekonomi. Namun, di seluruh dunia, upaya memperbaiki kualitas air sering kali gagal mencapai target ambisius, baik di negara maju maupun berkembang. Disertasi Susanne Wuijts (2020) membedah akar masalah ini melalui lensa multidisipliner: bagaimana menyelaraskan perspektif sosial-ekonomi, hukum, dan ekologi agar tata kelola kualitas air benar-benar efektif di lapangan. Dengan fokus pada pengalaman Eropa (khususnya Belanda) dan kerangka hukum Uni Eropa, karya ini menawarkan wawasan segar yang sangat relevan bagi pembuat kebijakan, praktisi, dan akademisi.

Latar Belakang: Tekanan Multidimensi pada Kualitas Air

Air digunakan untuk minum, pertanian, industri, rekreasi, dan pelestarian alam. Setiap penggunaan menuntut standar kualitas berbeda dan sering kali saling bertentangan. Pertumbuhan penduduk, urbanisasi, pertumbuhan ekonomi, dan perubahan iklim memperberat tekanan pada sistem air. Dampaknya, dua pertiga sistem air tawar dunia kini terancam sedang hingga berat oleh aktivitas manusia—mulai dari pertanian intensif, polusi industri, hingga modifikasi morfologi sungai.

Di Eropa, kerangka hukum seperti Water Framework Directive (WFD), Groundwater Directive, dan Bathing Water Directive menjadi tulang punggung regulasi kualitas air. Namun, hingga 2015, hanya 38% badan air permukaan dan 74% air tanah yang mencapai status ekologi dan kimiawi “baik”. Artinya, mayoritas negara anggota Uni Eropa gagal memenuhi target WFD, meski sudah ada instrumen hukum dan investasi besar-besaran.

Kerangka Konseptual: Tiga Perspektif dan Interaksinya

Wuijts mengidentifikasi tiga perspektif utama dalam tata kelola kualitas air:

  1. Ekologi: Fokus pada kondisi ekosistem air agar spesies asli dapat berkembang. Ini mencakup parameter seperti nutrien, zat toksik, morfologi, dan aliran air.
    Tantangan: Respons biologis terhadap intervensi sering lambat dan tidak pasti; banyak variabel lokal yang memengaruhi hasil.
  2. Hukum: Efektivitas diukur dari tercapainya tujuan hukum—misal, standar kualitas, hak akses, dan perlindungan warga.
    Tantangan: Implementasi hukum sering berbeda antar negara, dan adaptasi terhadap kondisi lokal terbatas. Dalam kasus lintas batas, koordinasi makin rumit.
  3. Sosial-ekonomi: Menekankan legitimasi, efisiensi, dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan.
    Tantangan: Keterlibatan pemangku kepentingan sering bersifat normatif, belum tentu berdampak nyata pada perbaikan kualitas air. Ada juga “problem of fit”—tidak semua aktor mampu berpartisipasi di semua skala.

Wuijts menyoroti bahwa ketidaksinkronan antara tiga perspektif ini menjadi penyebab utama kegagalan tata kelola kualitas air. Misalnya, standar hukum yang ketat tanpa dukungan sosial atau pemahaman ekologi yang mendalam sering tidak efektif di lapangan.

Studi Kasus: Implementasi di Belanda dan Eropa

1. Sumber Air Minum

Kasus di Belanda menunjukkan bahwa standar kualitas air minum diatur ketat oleh Drinking Water Directive dan hukum nasional. Namun, pencemaran oleh pestisida dan nutrien dari pertanian tetap sulit dikendalikan. Di beberapa wilayah, target regional untuk nutrien empat kali lebih ketat dari standar nasional, namun realisasinya sangat tergantung pada kebijakan lokal dan insentif sukarela.

2. Ekosistem Air Tawar

Restorasi sungai dan danau di Eropa banyak dilakukan melalui rekayasa morfologi (misal, pembuatan tebing ramah lingkungan). Meski ada perbaikan, dampak ekologisnya tidak selalu langsung terlihat. Di Belanda, misalnya, meski investasi besar pada rekayasa sungai, hanya sebagian kecil badan air yang mencapai status ekologi “baik”.

3. Air Rekreasi Perkotaan

Studi di Amsterdam dan Rotterdam menunjukkan bahwa upaya membuka lokasi mandi air tawar di kota menghadapi tantangan ganda: polusi mikrobiologis dan kimia, serta keamanan fisik. Wawancara dengan 19 pemangku kepentingan menunjukkan bahwa keberhasilan sangat bergantung pada koordinasi antarinstansi, keterlibatan masyarakat, dan kejelasan pembagian tanggung jawab.

Angka-Angka Kunci dan Temuan Empiris

  • Di Eropa, hanya 38% badan air permukaan dan 74% air tanah yang mencapai status “baik” pada 2015.
  • Di Belanda, target nutrien di beberapa wilayah empat kali lebih ketat dari standar nasional, namun pencapaian target sangat bervariasi.
  • Dalam studi literatur, dari 122 artikel, hanya 8 yang secara sistemik mengkaji interaksi ketiga perspektif (ekologi, hukum, sosial-ekonomi) secara bersamaan.
  • Wawancara mendalam di Belanda mengungkapkan bahwa keberhasilan tata kelola sangat dipengaruhi oleh “connectivity”—yakni sejauh mana aktor, isu, dan sektor terhubung lintas skala dan institusi.

Analisis Kritis: Apa yang Menghambat Efektivitas?

1. Data dan Monitoring

Kurangnya data yang dapat dibandingkan antarwilayah menjadi kendala besar. Monitoring sering tidak memadai untuk mengidentifikasi sumber polusi secara spesifik, sehingga intervensi cenderung generik dan tidak tepat sasaran.

2. Ambiguitas Peran dan Tanggung Jawab

Banyak kasus menunjukkan tumpang tindih atau kekosongan tanggung jawab antarinstansi. Misalnya, dalam pengelolaan air rekreasi, siapa yang bertanggung jawab atas keamanan dan kualitas air sering tidak jelas, terutama ketika melibatkan pemerintah lokal, otoritas air regional, dan swasta.

3. Keterbatasan Hukum dan Politik

Implementasi WFD sangat dipengaruhi oleh politik nasional. Di Belanda, misalnya, ada keputusan politik untuk tidak membebani sektor pertanian dengan biaya tambahan untuk memenuhi WFD, meski secara hukum seharusnya ada prinsip “polluter pays”.

4. Partisipasi Stakeholder: Antara Legitimasi dan Efektivitas

Partisipasi masyarakat dan stakeholder sering dianggap “baik secara normatif”, namun tidak selalu efektif. Banyak proses partisipatif berakhir pada kompromi yang menurunkan ambisi ekologi demi kepentingan ekonomi atau politik.

Pelajaran dari Studi Kasus dan Literatur

  • Konektivitas dan Koordinasi: Keberhasilan tata kelola sangat ditentukan oleh kemampuan menghubungkan aktor, isu, dan sektor di berbagai skala. Contoh: keberhasilan restorasi sungai di Jerman dan Inggris terjadi ketika pemerintah, LSM, dan masyarakat lokal terlibat sejak awal.
  • Fleksibilitas Hukum: Kerangka hukum harus cukup adaptif untuk mengakomodasi kondisi lokal tanpa mengorbankan standar minimum.
  • Pentingnya Data dan Pengetahuan Lokal: Intervensi berbasis data dan pengetahuan lokal lebih efektif daripada pendekatan top-down.
  • Peran Insentif Ekonomi: Insentif ekonomi (misal, subsidi atau pajak) efektif jika dirancang dengan memperhatikan konteks sosial dan ekologi.

Rekomendasi Kebijakan dan Praktik

  1. Perkuat Monitoring dan Data Sharing:
    Investasi pada sistem monitoring yang terintegrasi dan berbagi data lintas sektor sangat penting untuk diagnosis masalah dan evaluasi kebijakan.
  2. Tingkatkan Konektivitas Antaraktor dan Sektor:
    Bangun mekanisme koordinasi antara pemerintah pusat, daerah, otoritas air, masyarakat, dan swasta. Konektivitas ini harus lintas skala dan fungsi.
  3. Desain Kebijakan Fleksibel dan Kontekstual:
    Standar hukum harus adaptif terhadap kondisi lokal, tetapi tetap menjaga prinsip dasar seperti “polluter pays” dan perlindungan ekosistem.
  4. Dorong Partisipasi Bermakna:
    Keterlibatan stakeholder harus diarahkan untuk menghasilkan solusi inovatif, bukan sekadar formalitas. Proses deliberatif yang inklusif dapat meningkatkan legitimasi dan efektivitas.
  5. Integrasikan Perspektif Multidisipliner dalam Setiap Tahap:
    Setiap intervensi harus mempertimbangkan aspek ekologi, hukum, dan sosial-ekonomi secara seimbang.

Kritik dan Nilai Tambah

Disertasi Wuijts menonjol dalam mengidentifikasi bahwa tidak ada “one size fits all” dalam tata kelola kualitas air. Pendekatan multidisipliner dan analisis interaksi antar-perspektif menjadi kekuatan utama karya ini. Namun, tantangan utama tetap pada implementasi di lapangan: bagaimana mengubah temuan akademik menjadi kebijakan konkret di tengah keterbatasan politik, ekonomi, dan kapasitas institusi.

Dibandingkan dengan literatur lain, Wuijts lebih menekankan pentingnya fase realisasi (bukan hanya perencanaan), serta perlunya evaluasi berkelanjutan dan adaptasi kebijakan. Ini sejalan dengan tren global yang menuntut tata kelola air yang lebih responsif, adaptif, dan kolaboratif.

Relevansi Global dan Tren Industri

  • SDG 6 dan Agenda Hijau Eropa: Temuan Wuijts sangat relevan untuk pencapaian SDG 6 (air bersih dan sanitasi) dan Green Deal Eropa yang menargetkan restorasi ekosistem air.
  • Smart Water Management: Industri air kini bergerak ke arah digitalisasi, monitoring real-time, dan solusi berbasis data, sejalan dengan rekomendasi peningkatan monitoring dan data sharing.
  • Kolaborasi Publik-Swasta: Keterlibatan sektor swasta dalam pengelolaan air semakin penting, terutama untuk investasi infrastruktur dan inovasi teknologi.

Menuju Tata Kelola Kualitas Air yang Efektif dan Berkelanjutan

Disertasi ini menegaskan bahwa efektivitas tata kelola kualitas air hanya bisa dicapai jika perspektif ekologi, hukum, dan sosial-ekonomi diselaraskan secara sistemik. Konektivitas antaraktor, fleksibilitas hukum, monitoring berbasis data, dan partisipasi bermakna adalah kunci keberhasilan. Tanpa perbaikan mendasar pada aspek-aspek ini, target ambisius seperti WFD dan SDG 6 akan sulit tercapai. Studi Wuijts menjadi referensi penting bagi siapa pun yang ingin memahami dan memperbaiki tata kelola kualitas air di era kompleksitas dan ketidakpastian.

Sumber Artikel Asli

Susanne Wuijts, 2020. Towards more effective water quality governance: Improving the alignment of social-economic, legal and ecological perspectives to achieve water quality ambitions in practice. Proefschrift Universiteit Utrecht.