1. Pendahuluan: Circular Economy di Asia sebagai Masalah Skala dan Integrasi Regional
Dalam satu dekade terakhir, circular economy semakin dipromosikan sebagai kerangka kebijakan utama untuk menjawab lonjakan konsumsi sumber daya di Asia. Data menunjukkan bahwa meskipun konsumsi material per kapita di Asia dan Pasifik masih lebih rendah dibandingkan Amerika Utara dan Uni Eropa, kawasan ini menyumbang sekitar setengah dari total jejak material global akibat besarnya populasi dan percepatan industrialisasi. Fakta ini menempatkan Asia bukan hanya sebagai “pengikut” agenda circular economy global, melainkan sebagai arena penentu keberhasilan atau kegagalannya.
Bab karya Michikazu Kojima dalam laporan ADBI menempatkan circular economy Asia pada sudut pandang yang berbeda dari banyak literatur normatif. Alih-alih menanyakan bagaimana circular economy seharusnya dirancang secara ideal, bab ini memulai dengan pertanyaan struktural: dapatkah circular economy berfungsi secara efektif dalam kawasan yang sangat terintegrasi secara ekonomi tetapi terfragmentasi secara kebijakan? Pertanyaan ini penting karena sebagian besar rantai pasok industri di Asia Timur dan Asia Tenggara telah melampaui batas negara, sementara kebijakan circular economy masih didesain dan diterapkan secara nasional.
Pendekatan nasional tersebut menghasilkan paradoks. Banyak negara telah mengadopsi instrumen circular economy—seperti extended producer responsibility (EPR), eco-labeling, dan kewajiban daur ulang—namun konsumsi material absolut tetap meningkat dengan cepat. Dari 1970 hingga 2017, konsumsi material langsung di Asia Timur dan Asia Tenggara tumbuh dua kali lebih cepat dibandingkan Eropa dan Amerika Utara. Hal ini menunjukkan bahwa adopsi kebijakan circular economy tidak otomatis menghasilkan penurunan tekanan sumber daya ketika kebijakan tersebut tidak disesuaikan dengan realitas integrasi regional dan perdagangan lintas batas
Pendahuluan ini menegaskan tesis utama artikel: di Asia, circular economy bukan sekadar persoalan teknologi atau desain produk, melainkan persoalan tata kelola regional. Ketika bahan baku, produk, limbah, dan material daur ulang bergerak lintas negara, kebijakan yang terfragmentasi justru menciptakan inefisiensi, kebocoran lingkungan, dan konflik regulasi. Dengan demikian, transisi dari ekonomi linear ke ekonomi sirkular di Asia tidak dapat diselesaikan pada level nasional semata.
2. Difusi Kebijakan Circular Economy: Fragmentasi Nasional dalam Sistem Ekonomi Terintegrasi
Analisis Kojima menunjukkan bahwa Asia Timur dan Asia Tenggara sebenarnya termasuk kawasan paling aktif dalam mengadopsi kebijakan circular economy sejak awal 1990-an. Jepang, Republik Korea, dan kemudian Tiongkok menjadi pelopor melalui regulasi daur ulang, EPR, dan standar desain produk. Negara-negara Asia Tenggara menyusul secara bertahap sejak awal 2000-an, terutama melalui kebijakan pengelolaan sampah dan tanggung jawab produsen.
Namun, meskipun terlihat progresif, difusi kebijakan ini bersifat asimetris dan tidak terkoordinasi. Setiap negara mengembangkan rezim regulasi sendiri, dengan prioritas, standar teknis, dan mekanisme penegakan yang berbeda. Dalam konteks ekonomi yang semakin terintegrasi, fragmentasi ini menciptakan beberapa masalah struktural.
Pertama, banyak negara kecil dan sangat bergantung pada perdagangan—seperti Singapura, Viet Nam, atau Kamboja—memiliki tingkat ketergantungan perdagangan di atas 100% dari PDB. Artinya, sebagian besar produk yang dikonsumsi atau diproduksi di negara tersebut melibatkan rantai pasok lintas negara. Dalam kondisi ini, menciptakan circular economy “di dalam negeri” menjadi hampir mustahil karena skala industri daur ulang tidak mencukupi dan aliran material tidak sepenuhnya berada dalam kontrol nasional.
Kedua, perbedaan kebijakan nasional menciptakan distorsi perdagangan limbah dan material daur ulang. Ketika satu negara memperketat impor limbah untuk alasan lingkungan, arus limbah sering kali berpindah ke negara tetangga dengan regulasi yang lebih longgar. Fenomena ini terlihat jelas setelah pembatasan impor limbah oleh Tiongkok pada 2017, yang menyebabkan lonjakan impor limbah plastik dan kertas ke negara-negara Asia Tenggara. Alih-alih memperbaiki circularity regional, kebijakan nasional yang tidak terkoordinasi justru memindahkan beban lingkungan antarnegara.
Ketiga, standar teknis dan kualitas produk daur ulang yang berbeda antarnegara meningkatkan biaya bagi industri. Produsen dan pendaur ulang harus menyesuaikan produk dengan berbagai standar nasional, yang pada akhirnya mengurangi insentif ekonomi untuk menggunakan material daur ulang. Dalam sistem yang terfragmentasi, circular economy kehilangan daya saing terhadap penggunaan bahan baku primer yang lebih murah dan lebih seragam secara standar.
Section ini memperkuat argumen bahwa kegagalan circular economy di Asia bukan disebabkan oleh ketiadaan kebijakan, melainkan oleh ketiadaan koordinasi regional. Circular economy yang dirancang sebagai proyek nasional tidak kompatibel dengan struktur ekonomi Asia yang lintas batas. Tanpa harmonisasi kebijakan, standar, dan mekanisme perdagangan material daur ulang, circular economy berisiko menjadi serangkaian inisiatif parsial yang tidak pernah mencapai dampak sistemik.
3. Mengapa Circular Economy Membutuhkan Kerangka Regional, Bukan Sekadar Nasional
Dari paparan fragmentasi kebijakan nasional, Kojima kemudian mengajukan argumen kunci: circular economy di Asia hanya dapat berfungsi efektif jika dirancang dalam kerangka regional. Argumen ini berangkat dari realitas bahwa siklus hidup produk—mulai dari ekstraksi bahan baku, manufaktur, konsumsi, hingga pengelolaan limbah—jarang sekali berhenti pada batas negara. Dalam sistem seperti ini, kebijakan nasional yang berdiri sendiri cenderung gagal mengendalikan aliran material secara utuh.
Pertama, skala ekonomi menjadi faktor penentu. Banyak negara Asia, khususnya di Asia Tenggara, tidak memiliki pasar domestik yang cukup besar untuk mendukung industri daur ulang yang efisien dan berdaya saing. Circular economy pada tingkat nasional sering kali terjebak pada biaya tinggi, kualitas material daur ulang yang rendah, dan ketergantungan berkelanjutan pada bahan baku primer. Dalam konteks regional, agregasi permintaan dan pasokan material daur ulang membuka peluang skala ekonomi yang lebih realistis.
Kedua, pendekatan regional memungkinkan penyelarasan standar teknis dan regulasi. Tanpa standar bersama mengenai kualitas material daur ulang, keamanan produk, dan persyaratan lingkungan, perdagangan material sirkular akan terus menghadapi hambatan. Kojima menekankan bahwa harmonisasi standar bukan sekadar isu teknis, melainkan prasyarat agar material daur ulang dapat bersaing secara ekonomi dengan bahan baku primer dalam pasar regional.
Ketiga, kerangka regional diperlukan untuk mengatasi masalah perpindahan beban lingkungan (environmental leakage). Ketika negara-negara menerapkan kebijakan circular economy secara asimetris, limbah dan proses berisiko tinggi cenderung berpindah ke yurisdiksi dengan regulasi lebih lemah. Pendekatan regional memungkinkan pembagian tanggung jawab yang lebih adil serta mekanisme pengawasan bersama, sehingga circular economy tidak berubah menjadi bentuk baru ekspor masalah lingkungan.
Section ini menegaskan bahwa circular economy di Asia tidak kekurangan komitmen kebijakan, tetapi kekurangan arsitektur tata kelola yang sesuai dengan struktur ekonomi kawasan. Tanpa kerangka regional, circular economy akan terus beroperasi di bawah kapasitas potensialnya, terhambat oleh fragmentasi, skala yang tidak memadai, dan kompetisi regulasi antarnegara
.
4. Implikasi Kebijakan: Arah Strategis Circular Economy Regional di Asia
Berdasarkan analisis tersebut, Kojima menguraikan sejumlah implikasi kebijakan yang bersifat strategis. Yang paling mendasar adalah pergeseran dari paradigma “setiap negara membangun circular economy sendiri” menuju pembagian peran regional. Tidak semua negara perlu mengembangkan seluruh rantai circular economy secara lengkap. Sebaliknya, spesialisasi regional—misalnya pusat daur ulang material tertentu atau pusat desain produk—dapat meningkatkan efisiensi dan mengurangi redundansi.
Implikasi kedua adalah perlunya kerangka kerja bersama untuk perdagangan material sirkular. Ini mencakup definisi bersama tentang limbah dan produk daur ulang, mekanisme perizinan lintas batas yang transparan, serta sistem pelacakan material. Tanpa kerangka ini, perdagangan material sirkular akan terus berada di wilayah abu-abu antara komoditas dan limbah, menciptakan ketidakpastian hukum dan risiko lingkungan.
Implikasi ketiga menyangkut peran organisasi regional, khususnya ASEAN dan mekanisme kerja sama Asia Timur. Kojima menilai bahwa lembaga-lembaga ini memiliki posisi strategis untuk memfasilitasi dialog kebijakan, penyelarasan standar, dan pertukaran praktik terbaik. Namun, peran tersebut tidak akan efektif jika circular economy hanya diperlakukan sebagai isu lingkungan. Ia perlu diposisikan sebagai isu industri, perdagangan, dan pembangunan ekonomi regional.
Terakhir, artikel ini menekankan pentingnya pendekatan bertahap dan pragmatis. Circular economy regional tidak berarti harmonisasi penuh dalam waktu singkat. Yang dibutuhkan adalah prioritisasi sektor dan material dengan dampak terbesar—misalnya plastik, logam, dan elektronik—di mana manfaat koordinasi regional paling jelas. Pendekatan ini memungkinkan pembelajaran kebijakan tanpa menunggu konsensus total di seluruh kawasan.
Section ini memperjelas bahwa masa depan circular economy di Asia sangat ditentukan oleh kemampuannya beradaptasi dengan realitas integrasi regional. Tanpa perubahan paradigma tata kelola, circular economy akan tetap menjadi kumpulan kebijakan nasional yang terfragmentasi. Dengan kerangka regional yang tepat, ia berpotensi menjadi instrumen strategis untuk menekan tekanan sumber daya sekaligus memperkuat kerja sama ekonomi kawasan.
5. Tantangan Implementasi: Politik, Kapasitas Institusional, dan Ketimpangan Kawasan
Meskipun pendekatan circular economy regional menawarkan solusi yang lebih selaras dengan struktur ekonomi Asia, implementasinya menghadapi tantangan yang tidak kecil. Tantangan pertama bersifat politik dan kedaulatan. Banyak negara masih memandang kebijakan lingkungan dan industri sebagai ranah domestik yang sensitif, sehingga harmonisasi regional sering dipersepsikan sebagai pembatasan ruang kebijakan nasional. Dalam konteks ini, circular economy regional membutuhkan tingkat kepercayaan antarnegara yang belum sepenuhnya terbentuk.
Tantangan kedua berkaitan dengan kapasitas institusional yang timpang. Negara-negara maju di Asia Timur memiliki sumber daya administratif, sistem pengawasan, dan kapasitas teknologi yang jauh lebih kuat dibandingkan sebagian negara Asia Tenggara. Ketimpangan ini menciptakan risiko bahwa harmonisasi kebijakan justru membebani negara dengan kapasitas lebih rendah, atau sebaliknya mendorong race to the bottom jika standar disesuaikan ke tingkat terendah.
Tantangan ketiga adalah ketimpangan manfaat ekonomi. Tanpa desain kebijakan yang cermat, circular economy regional berpotensi mengonsentrasikan nilai tambah pada negara tertentu—misalnya negara dengan teknologi daur ulang canggih—sementara negara lain hanya menjadi pemasok limbah atau bahan baku sekunder. Risiko ini menuntut mekanisme pembagian manfaat dan dukungan teknis yang eksplisit agar circular economy tidak memperlebar kesenjangan pembangunan kawasan.
Section ini menegaskan bahwa transisi ke circular economy regional bukan hanya persoalan desain teknis, tetapi proses politik dan institusional yang kompleks. Keberhasilan bergantung pada kemampuan kawasan untuk mengelola ketegangan antara integrasi ekonomi dan kedaulatan nasional, serta antara efisiensi dan keadilan pembangunan.
6. Kesimpulan: Circular Economy sebagai Proyek Tata Kelola Regional
Artikel ini menunjukkan bahwa circular economy di Asia menghadapi batas struktural yang tidak dapat diselesaikan melalui kebijakan nasional yang terfragmentasi. Dalam kawasan dengan rantai pasok lintas batas dan ketergantungan perdagangan yang tinggi, circular economy hanya akan efektif jika diperlakukan sebagai proyek tata kelola regional, bukan sekadar kumpulan inisiatif domestik.
Analisis terhadap difusi kebijakan, fragmentasi regulasi, dan dinamika perdagangan material menunjukkan bahwa tantangan utama circular economy di Asia bukan ketiadaan instrumen, melainkan ketiadaan koordinasi. Tanpa kerangka regional yang menyelaraskan standar, membagi peran, dan mengelola aliran material lintas negara, circular economy berisiko menjadi slogan keberlanjutan yang tidak pernah mencapai dampak sistemik.
Pada saat yang sama, artikel ini menolak pandangan bahwa circular economy regional adalah solusi instan. Ia menuntut proses bertahap, penguatan institusi, dan komitmen politik jangka panjang. Keberhasilannya sangat bergantung pada kemampuan organisasi regional—seperti ASEAN dan forum Asia Timur—untuk menjembatani kepentingan nasional dan kepentingan kolektif kawasan.
Dengan menempatkan circular economy sebagai proyek tata kelola regional, Asia memiliki peluang untuk tidak hanya mengurangi tekanan sumber daya, tetapi juga memperkuat integrasi ekonomi yang lebih berkelanjutan. Namun, peluang ini hanya dapat direalisasikan jika circular economy dipahami secara realistis: sebagai alat yang membutuhkan koordinasi lintas batas, bukan sebagai solusi teknis yang dapat bekerja sendiri di dalam batas negara.
Daftar Pustaka
Kojima, M. (2022). Transitioning from a linear to a circular economy in developing Asia. Dalam Transitioning to a Circular Economy in Developing Asia. Tokyo: Asian Development Bank Institute.
Asian Development Bank Institute. (2022). Transitioning to a circular economy in developing Asia. Tokyo: ADBI.
Geng, Y., Sarkis, J., & Ulgiati, S. (2016). Sustainability, well-being, and the circular economy in China and worldwide. Science, 352(6283), 209–210.
McDowall, W., Geng, Y., Huang, B., et al. (2017). Circular economy policies in China and Europe. Journal of Industrial Ecology, 21(3), 651–661.
Schandl, H., Fischer-Kowalski, M., West, J., et al. (2016). Global material flows and resource productivity. Journal of Industrial Ecology, 20(4), 827–838.
Wiedmann, T. O., Schandl, H., Lenzen, M., et al. (2015). The material footprint of nations. Proceedings of the National Academy of Sciences, 112(20), 6271–6276.