Menjembatani Kesenjangan di Dapur Global: Arah Baru Riset Keamanan Pangan untuk Pekerja Migran

Dipublikasikan oleh Raihan

16 Oktober 2025, 19.55

Tinjauan Kritis dan Agenda Riset Masa Depan: Keamanan Pangan di Kalangan Pekerja Migran

Keamanan pangan merupakan isu fundamental kesehatan masyarakat global, dan di jantung rantai pasok pangan modern berdiri populasi yang sering terabaikan: pekerja migran. Sebuah tinjauan komprehensif oleh Sarah Alkhaldi dkk. yang diterbitkan dalam Current Research in Nutrition and Food Science menyajikan sintesis dari 30 artikel ilmiah untuk mengevaluasi dampak program pelatihan keamanan pangan terhadap Pengetahuan, Sikap, dan Praktik (Knowledge, Attitude, and Practice - KAP) di kalangan pekerja migran. Tinjauan ini tidak hanya mengonfirmasi efektivitas intervensi yang ditargetkan tetapi juga, yang lebih penting, memetakan lanskap tantangan sistemik dan membuka jalan bagi arah penelitian masa depan yang krusial.

Analisis paper ini dimulai dari premis bahwa pekerja migran, yang merupakan tulang punggung industri pengolahan makanan dan perhotelan, menghadapi berbagai hambatan unik yang menghalangi penerapan praktik keamanan pangan yang optimal. Berdasarkan kerangka KAP, tinjauan ini secara metodis membedah bagaimana program pelatihan memengaruhi ketiga dimensi tersebut.

Perjalanan logis temuan dimulai dari pengetahuan (Knowledge). Data pra-pelatihan secara konsisten menunjukkan defisit yang mengkhawatirkan. Misalnya, sebuah studi di India menunjukkan bahwa hanya 52% penjamah makanan yang dapat mengidentifikasi suhu penyimpanan yang benar untuk makanan yang mudah rusak , sementara studi di Afrika Selatan menemukan bahwa sekitar 60% pekerja migran di pabrik pengolahan makanan tidak memiliki pelatihan formal sama sekali. Namun, intervensi menunjukkan hasil yang signifikan. Temuan kunci dari sebuah meta-analisis menunjukkan bahwa pelatihan berbasis praktik (seperti simulasi atau permainan peran) menghasilkan retensi pengetahuan 40% lebih tinggi daripada metode ceramah tradisional. Hubungan kausal yang kuat ini—antara metode pelatihan interaktif dan peningkatan retensi—menggarisbawahi potensi besar untuk inovasi pedagogis dalam penelitian keamanan pangan.

Dari pengetahuan, alur bergerak ke sikap (Attitude). Tinjauan ini menemukan bahwa sikap positif terhadap keamanan pangan berkorelasi kuat dengan kepatuhan. Sebuah studi di Malaysia, misalnya, melaporkan bahwa penjamah makanan dengan sikap positif 40% lebih mungkin untuk mempraktikkan kebersihan yang baik. Pelatihan yang efektif terbukti mampu mengubah sikap skeptis atau apatis menjadi kesadaran proaktif terhadap standar keselamatan. Perubahan ini sangat nyata ketika materi pelatihan disesuaikan secara budaya dan bahasa, yang mengarah pada peningkatan kepatuhan hingga 50% dalam beberapa studi kasus.

Akhirnya, tinjauan ini menguji praktik (Practices) sebagai hasil akhir. Data menunjukkan kesenjangan yang tajam antara pekerja terlatih dan tidak terlatih. Kepatuhan dalam praktik mencuci tangan setelah menangani makanan mentah mencapai 85% pada pekerja terlatih, dibandingkan dengan hanya 45% pada mereka yang tidak terlatih. Demikian pula, praktik penyimpanan makanan yang benar adalah 78% berbanding 50%. Namun, bahkan di antara pekerja terlatih, kepatuhan tidak pernah mencapai 100%, menunjukkan adanya faktor-faktor eksternal seperti tekanan kerja, kurangnya dukungan manajemen, dan sumber daya yang tidak memadai yang menghambat penerapan pengetahuan secara konsisten.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi utama paper ini terletak pada sintesis data kuantitatif dari berbagai studi untuk mengonfirmasi tiga poin krusial. Pertama, ia secara definitif menetapkan bahwa program pelatihan keamanan pangan yang disesuaikan—terutama yang interaktif, multibahasa, dan peka budaya—secara signifikan meningkatkan skor KAP di kalangan pekerja migran. Kedua, ia mengidentifikasi dan mengkategorikan hambatan sistemik yang persisten, seperti kerentanan ekonomi, status pekerjaan sementara, dan kurangnya dukungan institusional, yang tidak dapat diatasi hanya dengan pelatihan. Ketiga, dengan menggunakan kerangka KAP, paper ini menyediakan model analitis yang holistik untuk menilai intervensi, melampaui sekadar pengukuran retensi pengetahuan dan mencakup perubahan sikap serta perilaku yang dapat diamati.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun memberikan wawasan yang berharga, tinjauan ini memiliki beberapa keterbatasan yang justru menjadi titik awal untuk penelitian di masa depan. Keterbatasan utama adalah ketergantungan pada data sekunder dari studi yang ada, yang mungkin memiliki metodologi dan bias yang bervariasi. Banyak dari studi yang ditinjau bersifat cross-sectional, sehingga kurangnya data longitudinal menjadi celah signifikan; kita tahu pelatihan itu berhasil, tetapi kita tidak tahu berapa lama efeknya bertahan.

Selain itu, terdapat bias geografis yang jelas dalam literatur, dengan sebagian besar penelitian dilakukan di negara-negara berpenghasilan tinggi. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang generalisasi temuan di negara-negara berpenghasilan rendah di mana kondisi kerja dan kerangka peraturan mungkin sangat berbeda. Terakhir, banyak studi dilakukan dalam lingkungan yang terkendali, yang mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan tekanan dan kompleksitas tempat kerja di dunia nyata.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan justifikasi ilmiah)

Berdasarkan temuan dan keterbatasan yang diuraikan, lima jalur penelitian prioritas berikut direkomendasikan untuk komunitas akademik dan lembaga pendanaan.

  1. Studi Longitudinal tentang Keberlanjutan Perilaku:
    • Justifikasi Ilmiah: Paper ini menunjukkan peningkatan KAP pasca-pelatihan, tetapi menyoroti kurangnya studi longitudinal. Ada kebutuhan mendesak untuk memahami apakah peningkatan pengetahuan dan praktik ini berkelanjutan dari waktu ke waktu atau mengalami "pembusukan pengetahuan" (knowledge decay) karena tekanan lingkungan kerja.
    • Metodologi: Merancang studi kohort prospektif yang mengikuti sekelompok pekerja migran selama 2-3 tahun setelah mereka menyelesaikan program pelatihan. Penilaian KAP akan dilakukan secara berkala (misalnya, setiap 6 bulan) untuk memetakan kurva retensi dan mengidentifikasi titik kritis di mana intervensi penguatan mungkin diperlukan.
  2. Uji Coba Terkontrol Acak (RCT) pada Intervensi Berbasis Teknologi:
    • Justifikasi Ilmiah: Tinjauan ini mencatat keberhasilan awal dari penggunaan alat bantu visual dan aplikasi seluler, yang terbukti meningkatkan kepatuhan sebesar 30% dalam sebuah studi percontohan. Namun, bukti ini sebagian besar masih bersifat awal.
    • Metodologi: Melakukan RCT multi-lengan yang membandingkan efektivitas: (a) pelatihan tatap muka tradisional, (b) modul pelatihan berbasis aplikasi seluler yang digamifikasi dan multibahasa, dan (c) pendekatan campuran. Variabel hasil utama akan mencakup skor KAP, tingkat keterlibatan, dan efektivitas biaya. Riset ini akan memberikan bukti kuat tentang skalabilitas dan efisiensi solusi digital.
  3. Analisis Pengaruh Budaya Organisasi dan Dukungan Manajemen:
    • Justifikasi Ilmiah: Paper ini secara eksplisit menyatakan bahwa dukungan manajemen dapat meningkatkan kepatuhan hingga 30% dan lingkungan kerja adalah faktor kunci. Namun, sebagian besar penelitian berfokus pada individu pekerja, bukan pada organisasi itu sendiri.
    • Metodologi: Mengadopsi pendekatan studi kasus komparatif dengan metode campuran (mixed-methods). Penelitian ini akan menggabungkan survei "iklim keamanan pangan" di tingkat organisasi dengan observasi etnografis dan audit praktik di lapangan. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi variabel organisasi mana (misalnya, gaya kepemimpinan, struktur insentif, kebijakan komunikasi) yang paling kuat berkorelasi dengan praktik keamanan pangan yang berkelanjutan.
  4. Studi Komparatif Lintas Budaya dan Ekonomi:
    • Justifikasi Ilmiah: Terdapat bias geografis dalam literatur yang ada. Faktor-faktor sosio-ekonomi secara signifikan memengaruhi kapasitas pekerja untuk terlibat dalam pelatihan. Oleh karena itu, solusi yang efektif di satu wilayah mungkin tidak berlaku di wilayah lain.
    • Metodologi: Melakukan studi komparatif di beberapa negara dengan konteks sosio-ekonomi yang berbeda (misalnya, membandingkan pekerja migran di industri pertanian di Asia Tenggara dengan pekerja di industri perhotelan di Eropa). Penelitian ini akan mengeksplorasi bagaimana faktor-faktor seperti penegakan peraturan, norma budaya lokal, dan stabilitas ekonomi memoderasi efektivitas program pelatihan.
  5. Evaluasi Model "Latih Pelatih" (Train-the-Trainer) yang Dipimpin oleh Sesama Pekerja:
    • Justifikasi Ilmiah: Pengaruh rekan kerja (peer influence) diidentifikasi sebagai strategi yang menjanjikan untuk menumbuhkan sikap positif. Memberdayakan pekerja berpengalaman untuk menjadi mentor dapat menciptakan model yang lebih berkelanjutan dan terintegrasi secara budaya.
    • Metodologi: Merancang dan mengimplementasikan program percontohan "Latih Pelatih" di mana pekerja migran senior dilatih untuk menjadi duta keamanan pangan. Efektivitas program akan diukur tidak hanya pada KAP para peserta pelatihan tetapi juga pada efek riak (ripple effect) pada rekan-rekan mereka yang tidak terlatih secara formal, menggunakan analisis jaringan sosial untuk memetakan penyebaran informasi dan praktik.

Sebagai penutup, tinjauan oleh Alkhaldi dkk. adalah fondasi yang kokoh. Namun, untuk menciptakan perubahan yang langgeng, penelitian di masa depan harus bergerak melampaui pembuktian konsep menuju pemahaman mekanisme implementasi yang berkelanjutan. Penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi antara institusi akademik, badan kesehatan masyarakat (seperti WHO atau otoritas keamanan pangan nasional), organisasi non-pemerintah yang berfokus pada hak-hak pekerja migran, dan pelaku industri itu sendiri. Hanya melalui pendekatan multi-pemangku kepentingan seperti ini kita dapat memastikan bahwa temuan penelitian diterjemahkan menjadi kebijakan dan praktik yang melindungi kesehatan pekerja dan konsumen di seluruh dunia.

Baca paper aslinya di sini