Meningkatkan Kinerja Keselamatan Industri: Pelajaran dari Analisis Total Recordable Incident Rate (TRIR)

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana

16 Oktober 2025, 10.35

Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan

Penelitian dalam dokumen TRIR Paper menekankan bahwa Total Recordable Incident Rate (TRIR) merupakan indikator utama yang digunakan secara global untuk mengukur tingkat keselamatan kerja. TRIR mencerminkan jumlah insiden kerja yang dapat dicatat (seperti cedera, penyakit akibat kerja, atau kecelakaan ringan) per 200.000 jam kerja.

Dalam konteks kebijakan, TRIR bukan sekadar angka statistik, tetapi cerminan efektivitas kebijakan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja). Negara dan perusahaan dengan nilai TRIR rendah menunjukkan bahwa mereka memiliki sistem manajemen keselamatan yang matang, budaya kerja yang disiplin, dan kemampuan deteksi dini terhadap risiko.

Bagi Indonesia, adopsi TRIR sebagai indikator nasional bisa menjadi lompatan dari laporan K3 yang selama ini bersifat deskriptif atau audit oportunistik, menuju kebijakan berbasis data (data-driven policy). Sebagai contoh, kursus Analisis Data Keselamatan dan Evaluasi Risiko di Diklatkerja mempromosikan penggunaan metrik seperti TRIR agar organisasi dapat memonitor tren insiden dan membuat intervensi yang tepat.

Selain itu, ketika TRIR diadopsi dalam regulasi nasional, Indonesia dapat memperkuat posisinya dalam forum kerjasama internasional seperti ASEAN OSHNET. Hal ini karena metrik TRIR telah dianggap kredibel oleh lembaga seperti OSHA di AS dan Health and Safety Executive (HSE) di Inggris sebagai tolok ukur standar global.

Lebih jauh, integrasi TRIR dalam kebijakan berarti memperkuat pengawasan dan evaluasi kinerja keselamatan proyek publik — kontraktor tidak hanya dinilai dari penyelesaian fisik, tetapi juga kinerja keamanan kerja.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Dampak Positif:

  • Penggunaan TRIR secara konsisten dapat mendorong perusahaan menurunkan insiden kerja hingga 25–40 % dalam periode beberapa tahun, karena manajemen akan lebih proaktif mengevaluasi akar penyebab.

  • TRIR memberikan tolok ukur kuantitatif yang memungkinkan perusahaan melakukan audit internal dan benchmarking dibanding perusahaan sejenis dalam industri.

  • Transparansi laporan TRIR bisa meningkatkan kepercayaan publik dan investor terhadap komitmen K3 perusahaan.

Hambatan:

  • Tidak semua perusahaan memiliki sistem pencatatan insiden yang akurat dan terstruktur — insiden kecil sering tidak dilaporkan.

  • Perusahaan kecil cenderung menganggap pelaporan TRIR sebagai beban administratif tambahan tanpa manfaat langsung.

  • Perbedaan definisi insiden antar sektor menyulitkan perbandingan dan standarisasi data.

  • Perusahaan mungkin “mengurangi laporan” untuk menjaga angka TRIR agar tidak tampak buruk — fenomena underreporting.

Peluang:

  • Integrasi TRIR ke dalam sistem pelaporan BPJS Ketenagakerjaan untuk memperkuat basis data nasional K3.

  • Pemanfaatan sistem pelaporan insiden digital yang lebih mudah digunakan dan transparan studi Digitalisasi Keselamatan Kerja Melalui Sistem Pelaporan Kecelakaan Online di Diklatkerja mengulas mekanisme ini.

  • Pengembangan kursus nasional terkait pengukuran kinerja keselamatan (termasuk analisis TRIR) dengan kolaborasi antara pemerintah, universitas, dan lembaga pelatihan.

  • Penggabungan TRIR dengan strategi digital dan IoT

  • Dorongan pada proyek konstruksi untuk menggunakan aplikasi monitoring dan pelaporan insiden secara real time seperti yang disebutkan di studi kasus proyek Sahid Jogja

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

  1. Tetapkan TRIR sebagai indikator resmi nasional K3
    Pemerintah harus mengakui TRIR dalam regulasi kementerian terkait sebagai standar pelaporan keselamatan yang wajib digunakan oleh industri berisiko tinggi.

  2. Audit data keselamatan berbasis TRIR pada proyek publik
    Kontraktor dari proyek nasional harus melampirkan laporan TRIR tahunan sebagai bagian dari evaluasi kinerja proyek.

  3. Kembangkan sistem pelaporan digital terpadu
    Adopsi platform daring untuk pelaporan insiden (termasuk pelaporan anonim) yang mudah diakses oleh pekerja di lapangan, sebagaimana ditekankan dalam kursus manajemen risiko dan pelaporan insiden K3 di Diklatkerja.

  4. Berikan insentif bagi perusahaan dengan TRIR rendah
    Bentuk penghargaan nasional atau pengurangan premi asuransi K3 bagi perusahaan yang konsisten menjaga TRIR di bawah rata-rata industri.

  5. Tingkatkan kompetensi petugas K3 dalam analisis data
    Pelatihan lanjutan harus menyertakan kemampuan membaca tren TRIR, menganalisis akar penyebab, dan merancang langkah pencegahan yang berbasis bukti.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

  • Implementasi TRIR tanpa audit independen dan transparansi dapat memunculkan praktik manipulasi angka, di mana perusahaan sengaja mengecilkan laporan insiden.

  • TRIR hanya menampilkan frekuensi insiden yang tercatat, tetapi tidak menunjukkan tingkat keparahan — kasus ringan bisa menghasilkan angka tinggi, sementara kecelakaan fatal tunggal mungkin tidak terlihat sebanding.

  • Jika definisi insiden tidak distandarisasi antar sektor, data tidak bisa dibandingkan secara valid.

  • Kebijakan TRIR tanpa dukungan pelatihan, sistem pelaporan, dan budaya keselamatan mungkin berhenti sebagai prosedur formal semata.

  • Jika regulasi terlalu menekan tanpa dukungan teknis, perusahaan kecil mungkin sulit memenuhi syarat dan bisa terpinggirkan.

Penutup

Penggunaan TRIR sebagai tolok ukur kinerja keselamatan membuka jalur kebijakan yang kuantitatif, akuntabel, dan transparan. Sistem pelaporan dan audit yang baik akan memungkinkan organisasi mengenali pola insiden dan mengambil tindakan proaktif.

Jika dijalankan dengan integritas, TRIR bukan sekadar angka—melainkan cermin kedewasaan sistem manajemen keselamatan nasional. Melalui kolaborasi pemerintah, industri, dan lembaga pelatihan seperti Diklatkerja, Indonesia dapat mempercepat pencapaian ekosistem kerja yang lebih aman dan produktif.

Sumber

TRIR Paper (2023) – Performance and Safety Journal