Mengurangi Bias dan Menata Ulang Proses Perekrutan: Fondasi Tim yang Lebih Adil dan Lebih Efektif

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat

25 November 2025, 21.51

Perekrutan yang efektif tidak hanya bergantung pada bagaimana perusahaan menilai kompetensi kandidat, tetapi juga pada kemampuan manajer dan organisasi mengenali serta mengendalikan bias yang memengaruhi keputusan mereka. Meskipun banyak perusahaan telah membuat aturan, kebijakan DEI, atau standar rekrutmen yang lebih inklusif, kenyataannya bias personal tetap dapat menyusup dalam setiap langkah proses rekrutmen.

Bab ini menekankan bahwa membangun proses perekrutan yang adil tidak cukup dengan niat baik. Diperlukan perubahan perilaku, refleksi diri, dan struktur proses yang mencegah keputusan impulsif. Di sisi lain, perekrutan yang kuat tidak dimulai dari memposting lowongan; ia dimulai jauh sebelumnya—dari pemahaman strategi, kebutuhan tim, dan dinamika manusia yang mempengaruhi kolaborasi. Dua perspektif inti ini memberi fondasi yang lebih kokoh untuk membangun tim masa depan.

Bias adalah Hal Normal—Tetapi Tidak Boleh Dibiarkan Mengendalikan Keputusan

Salah satu tantangan terbesar dalam rekrutmen adalah kecenderungan manusiawi untuk menyukai orang yang mirip dengan dirinya. Inilah yang disebut affinity bias. Bias ini membuat manajer merasa “klik” dengan kandidat yang memiliki latar belakang, pendidikan, atau pengalaman serupa, sementara kandidat lain yang sama kompetennya justru diabaikan.

Konsep penting yang ditekankan adalah bahwa tidak ada orang yang “bebas bias.” Bahkan pimpinan DEI, anggota kelompok minoritas, atau pemimpin yang berpengalaman sekalipun tetap memiliki bias yang memengaruhi penilaian mereka. Kesadaran inilah yang menjadi titik awal untuk memperbaiki proses.

Untuk memerangi bias, beberapa langkah praktis direkomendasikan:

  • membuat daftar bacaan dan sumber belajar tentang pengalaman kelompok terpinggirkan;

  • memulai setiap rapat evaluasi kandidat dengan pertanyaan reflektif: “Di mana bias bisa muncul hari ini?”;

  • menulis penilaian kandidat sebelum berdiskusi agar tidak terpengaruh opini kolega;

  • menggunakan teknik “flip it to test it”—menguji apakah penilaian kita tetap sama jika kandidat memiliki identitas berbeda.

Pendekatan ini membantu menciptakan ruang evaluasi yang lebih sadar, lebih transparan, dan lebih bertanggung jawab.

 

Mendorong Keputusan yang Lebih Objektif Melalui “Behavioral Nudges”

Selain perubahan perilaku individual, organisasi juga dapat mengatur lingkungan pengambilan keputusan agar lebih objektif. Sejumlah teknik penataan ulang proses (behavioral nudges) dapat membantu:

  • Membuat kualifikasi kandidat yang dirangking, bukan sekadar daftar panjang persyaratan. Ini membuat pewawancara fokus pada kompetensi yang benar-benar penting, bukan kesan umum.

  • Menggunakan strategi “think of the opposite”, memaksa pewawancara memikirkan alasan mengapa kandidat unggulan mungkin bukan pilihan terbaik. Ini mengurangi kecenderungan terlalu cepat menjatuhkan pilihan pada kandidat pertama.

  • Mengoptimalkan lingkungan fisik dan waktu wawancara, seperti menjadwalkan penilaian pada jam ketika pewawancara berada dalam kondisi mental terbaik.

Nudges kecil ini membantu menurunkan bias tanpa menambah beban berat bagi pewawancara.

 

Sebelum Menulis Lowongan, Pahami Dulu Strategi dan Dinamika Tim

Bab berikutnya menekankan bahwa salah satu kesalahan rekrutmen paling umum adalah melompat langsung pada pembuatan job posting. Padahal langkah tersebut seharusnya berada di akhir, bukan awal.

Lima langkah strategis sebelum membuat deskripsi pekerjaan meliputi:

1. Menyelaraskan tujuan tim dengan arah organisasi

Perubahan strategi perusahaan sering kali mengubah kebutuhan keterampilan. Tim yang sedang menuju transformasi digital, misalnya, memerlukan talenta dengan kemampuan analitik dan penguasaan platform digital—meski tuntutan tersebut belum langsung terlihat dalam pekerjaan awal.

2. Melakukan talent planning yang komprehensif

Inventarisasi keterampilan, analisis kinerja, hingga umpan balik lintas fungsi membantu mengungkap celah kompetensi yang tidak terlihat. Tanpa tahap ini, perusahaan berisiko mereplikasi peran lama yang sebenarnya sudah tidak relevan.

3. Mengevaluasi struktur tim

Kadang yang dibutuhkan bukan menambah orang, tetapi mengubah struktur agar distribusi kerja lebih efektif. Dengan evaluasi ini, organisasi dapat menghindari penambahan peran yang justru menciptakan tumpang tindih.

4. Mengidentifikasi dinamika budaya dan pola kolaborasi tim

Sebagus apa pun keterampilan kandidat, ia tidak akan efektif jika gaya kerjanya bertolak belakang dengan pola kerja tim. Analisis budaya membantu menentukan karakter yang akan melengkapi, bukan mengganggu.

5. Memahami aspirasi anggota tim yang sudah ada

Sering kali, masalah retensi muncul karena rekrutmen baru justru menutup jalan karier anggota tim yang lebih senior. Memahami aspirasi ini mencegah konflik dan meningkatkan rasa memiliki dalam tim.

Pendekatan ini memungkinkan organisasi tidak hanya “mengisi kekosongan,” tetapi benar-benar memperkuat struktur tim untuk jangka panjang.

 

Penutup: Membangun Tim Hebat Dimulai dari Kesadaran dan Struktur

Dua bab ini menawarkan satu pesan utama: rekrutmen adalah praktik strategis yang membutuhkan kesadaran pribadi dan kerangka kerja terstruktur. Tanpa memahami bias pribadi, proses paling rapi pun dapat menghasilkan keputusan yang tidak adil. Sebaliknya, tanpa proses strategis sebelum membuat lowongan, organisasi dapat kehilangan peluang untuk membangun tim yang lebih kuat dan siap menghadapi masa depan.

Ketika manajer mampu menggabungkan kedua dimensi ini—refleksi pribadi dan persiapan strategis—rekrutmen berubah dari sekadar aktivitas administratif menjadi investasi jangka panjang yang memperkuat fondasi organisasi.

 

Daftar Pustaka

HBR Guide to Better Recruiting and Hiring – Chapters 6–7.