Prolog: Di Balik Data yang Menakutkan, Ada Kisah Kerugian Miliar Pound
Industri konstruksi adalah salah satu pilar terpenting dalam perekonomian Inggris, menyumbang sekitar 13% dari PDB global dan menyediakan hingga 10% lapangan kerja di Inggris dengan 2,93 juta pekerjaan. Pada tahun 2019 saja, sektor ini menghasilkan pendapatan kotor sebesar £117 miliar. Di balik angka-angka yang mengesankan ini, tersembunyi sebuah kerapuhan yang menggerogoti dari dalam: ketidakmampuan untuk mengelola klaim proyek secara efektif. Meskipun manajemen klaim telah meningkat secara substansial, industri ini masih menjadi salah satu yang paling rentan, bertanggung jawab atas 11% dari semua sengketa pada tahun 2019. Tesis ini secara implisit menyoroti kontradiksi yang mengejutkan antara skala ekonomi dan kerapuhan manajerial yang dialami sektor ini. Pertumbuhan ekonomi yang pesat dalam sektor ini tampaknya tidak sejalan dengan kematangan manajerial, menciptakan sebuah kondisi di mana kemajuan material justru memperparah risiko internal.
Permasalahan ini bukan sekadar detail administratif kecil. Laporan dari dewan kepemimpinan konstruksi Inggris (CLC) pada tahun 2021 menunjukkan adanya eskalasi jumlah notifikasi klaim di semua tingkatan rantai pasokan, mulai dari perusahaan kecil, menengah, hingga besar. Catatan mencengangkan lainnya adalah bahwa klaim ini sering kali membengkak hingga 25% dari nilai kontrak aktual. Untuk proyek senilai £100 juta, ini berarti klaim bisa melonjak hingga £25 juta. Ini bukan sekadar penyesuaian biaya kecil, melainkan ancaman signifikan terhadap profitabilitas dan kelangsungan proyek. Fenomena ini menunjukkan bahwa klaim, yang seharusnya menjadi bagian dari proses bisnis, telah menjadi penyakit kronis yang mengancam stabilitas finansial.
Tesis ini tidak hanya mengaitkan klaim dengan kerugian finansial, tetapi juga dengan kegagalan bisnis yang fatal. Bukti empiris menunjukkan bahwa 77–95% kegagalan finansial kontraktor disebabkan oleh banyaknya klaim yang tidak terkelola. Kasus kebangkrutan Carillion, perusahaan konstruksi terbesar kedua di Inggris, yang dilikuidasi dengan utang £900 juta dan defisit pensiun £600 juta, menjadi contoh nyata. Tesis ini berargumen bahwa kegagalan tersebut sebagian besar disebabkan oleh tidak adanya kerangka kerja manajemen klaim yang efektif. Perusahaan kecil dan menengah (UKM) bahkan lebih rentan, di mana keterlambatan pembayaran hingga lebih dari 60 hari menjadi masalah yang mendesak. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa manajemen klaim yang buruk bukan sekadar "biaya tak terduga," tetapi sebuah "penyakit kronis" yang jika dibiarkan tanpa pengawasan, dapat membunuh perusahaan. Tesis ini bertujuan untuk memahami dan mengatasi kesenjangan yang ada ini dengan mengembangkan kerangka kerja yang dapat memberikan manfaat nyata bagi perusahaan konstruksi, termasuk klaim yang dapat disubstansiasi, pengurangan biaya dan durasi, penghindaran biaya klaim yang tidak terduga, peningkatan hasil, dan efektivitas biaya yang lebih baik.1
Mengapa Masalah Ini Menjadi Kanker Kronis? Membongkar Akar Sengketa
Studi ini menemukan bahwa akar dari masalah klaim yang tidak efektif dan sengketa yang terus-menerus bukanlah semata-mata bersifat teknis atau finansial, melainkan juga terkait erat dengan faktor manusia dan psikologis. Konsep keadilan yang dirasakan (perceived fairness) menjadi salah satu temuan sentral. Berdasarkan wawancara dengan para pakar, proses manajemen klaim secara keseluruhan dirasakan adil sampai taraf tertentu, tetapi jauh dari sangat jujur, luar biasa, atau megah.1 Ketidakpuasan ini menggarisbawahi adanya keraguan fundamental yang mengikis kepercayaan antar pihak yang terlibat dalam proyek. Proses yang dianggap tidak adil memicu respons reaktif dari kontraktor, yang kemudian memvalidasi pandangan skeptis mereka terhadap proses manajemen klaim yang ada.
Tesis ini menyoroti adanya skeptisisme yang signifikan dari beberapa praktisi terhadap klaim bahwa investasi dalam manajemen klaim adalah hal yang sangat krusial.1 Beban ekonomi dan kurangnya kepercayaan terhadap manfaat finansial yang bisa diperoleh dari proses manajemen klaim justru mendorong kontraktor untuk mencari jalur litigasi, yang seringkali memakan waktu dan biaya besar.1 Penelitian ini menyimpulkan bahwa hubungan antara manajemen klaim yang efektif dan pengembangan strategi bersifat sangat lemah (tidak meningkat atau menurun secara linier).1 Temuan ini adalah sebuah ironi yang menarik. Ini menunjukkan bahwa memiliki strategi yang terdokumentasi tidaklah cukup; implementasi dan kesuksesan yang terukur tetap menjadi masalah yang problematis bagi kerangka kerja manajemen klaim yang ada. Intinya, keberhasilan tidak hanya terletak pada keberadaan strategi di atas kertas, tetapi pada adopsi dan penerapannya yang menuntut perubahan budaya.
Kekacauan dalam manajemen informasi juga menjadi faktor penyebab utama. Tesis ini mengungkapkan bahwa manajer proyek menghabiskan sekitar 70% waktu mereka untuk menangani informasi (membuat, mengelola, mendistribusikan, mengumpulkan, dan meneliti). Lebih lanjut, sekitar 65% pengerjaan ulang kontraktor dikaitkan dengan bahan yang tidak memadai, tidak cocok, atau kontradiktif.1 Kekacauan ini diperparah ketika dokumentasi proyek disimpan dalam basis data yang tidak terstruktur, dan masalah semakin memburuk jika persiapan klaim baru dilakukan setelah proyek selesai. Tesis ini menjelaskan bagaimana peristiwa klaim dapat menghilang atau menjadi kabur ketika staf kunci yang memiliki semua data klaim pergi, membuat tim baru kesulitan untuk memahami apa yang terjadi selama siklus proyek. Ini adalah efek domino di mana buruknya manajemen informasi di tahap awal (pre-stage claim) menciptakan masalah yang lebih besar, memperpanjang waktu penyelesaian klaim, dan akhirnya meningkatkan biaya serta risiko sengketa.1
Anatomi Sebuah Klaim: Membongkar Biaya Langsung dan Biaya Tak Terlihat
Analisis tesis ini secara kritis membedah hubungan antara klaim, sengketa, durasi, dan biaya proyek. Secara kualitatif, ditemukan bahwa sebagian besar sengketa muncul karena klaim.1 Ini menegaskan bahwa klaim adalah penyebab langsung dari sengketa, dan penyelesaian yang gagal adalah pemicu utama litigasi yang mahal. Untuk menjelaskan dampak finansial ini, penelitian ini membedah biaya klaim langsung dan biaya klaim tidak langsung. Biaya langsung adalah pengeluaran yang dapat diidentifikasi secara jelas terkait dengan pekerjaan tambahan, seperti tenaga kerja, material, dan peralatan.1 Sementara itu, biaya tidak langsung lebih sulit dilacak, mencakup biaya personel, biaya administrasi, overhead kantor pusat, biaya fotokopi, biaya legal untuk pengacara, arbitrator, dan adjudicator, serta kerugian reputasi dan profit.1
Tesis ini menemukan bahwa rata-rata durasi klaim di industri konstruksi Inggris adalah 14,58 bulan dan biaya rata-ratanya sekitar 22,8 juta dolar AS. Angka ini sejalan dengan laporan Global Construction Disputes Report tahun 2019 dari Arcadis yang mencatat durasi rata-rata 12,8 bulan dan biaya rata-rata 17,8 juta dolar AS di Inggris.1 Perbedaan kecil dalam angka-angka ini tidak mengurangi fakta bahwa sengketa klaim adalah masalah yang sangat signifikan, baik dalam hal waktu maupun uang.
Untuk memberikan gambaran yang lebih hidup tentang dampak ini, bayangkan sebuah proyek konstruksi seperti pengisian daya baterai pada ponsel pintar. Sebuah proyek yang berjalan mulus akan mengisi daya dari 20% hingga 70% dengan cepat dan efisien. Namun, klaim yang tidak terkelola dengan baik akan seperti mencabut dan mencolokkan kembali kabel pengisi daya setiap beberapa detik. Baterai mungkin terisi, tetapi prosesnya sangat lambat dan tidak efisien, membuang banyak energi (biaya) dan waktu.
Analisis 15 studi kasus yang dilakukan tesis ini secara konsisten menunjukkan bahwa sengketa paling sering muncul dari kegagalan proses di tingkat dasar. Klaim variasi (variation claims) menjadi salah satu pemicu utama. Tesis ini menyoroti kasus seperti Atkins Ltd v Secretary of State for Transport, di mana sengketa terkait klaim variasi menelan biaya £1,3 juta.1 Klaim keterlambatan (delay) dan disrupsi (disruption) juga merupakan sumber sengketa yang sangat umum.1 Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa masalah klaim bukanlah akibat dari nasib buruk, melainkan hasil langsung dari administrasi kontrak yang buruk, kurangnya pemahaman terhadap klausul kontrak, dan kegagalan untuk memberikan pemberitahuan yang tepat sesuai persyaratan kontrak.1
Sebuah Cetak Biru untuk Perubahan: Kerangka Kerja Manajemen Klaim yang Efektif
Untuk mengatasi "lubang" dalam literatur dan praktik, tesis ini mengajukan kerangka kerja manajemen klaim investigatif yang komprehensif. Kerangka kerja ini dirancang untuk dapat diterima oleh semua pemangku kepentingan industri. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini sangat kuat, menggabungkan data kuantitatif dari 76 responden kuesioner dengan data kualitatif dari 16 pakar dan 15 studi kasus untuk membangun landasan yang kredibel dan dapat diverifikasi.1
Kerangka kerja yang diusulkan terdiri dari empat tahap utama yang saling terhubung:
- Tahap Pra-konstruksi (Perencanaan): Tahap ini menekankan pentingnya perencanaan yang matang sebelum proyek dimulai. Tesis merekomendasikan pemilihan strategi pengadaan yang tepat, seperti Cost-led Procurement (CLP), untuk memastikan transparansi dan kolaborasi sejak awal. Strategi ini membantu mencegah masalah dengan menetapkan aturan dan ekspektasi yang jelas, mengurangi risiko sengketa di kemudian hari.1
- Tahap Administrasi Kontrak: Tahap kedua berfokus pada penyempurnaan proses administrasi selama masa konstruksi. Tesis menyoroti bahwa kebijakan pemerintah dan administrasi klaim yang buruk adalah penyebab utama klaim. Oleh karena itu, kerangka kerja ini menekankan pentingnya dokumentasi yang cermat, pemahaman yang mendalam tentang klausul kontrak, dan komunikasi yang seimbang antara semua pihak. Proses ini mencakup identifikasi, notifikasi, dokumentasi, presentasi, substansiasi, negosiasi, hingga penutupan klaim.1
- Tahap Proses Manajemen Klaim: Tahap ini adalah inti dari kerangka kerja. Ia menguraikan langkah-langkah praktis untuk mengelola klaim, dengan penekanan khusus pada substansiasi klaim yang kuat. Tesis menemukan bahwa klaim yang tidak didukung dengan bukti yang memadai adalah akar utama sengketa. Dokumen klaim yang efektif harus detail, memiliki ringkasan eksekutif, narasi faktual, dasar kontraktual dan hukum yang jelas, data biaya yang akurat, serta bukti-bukti yang meyakinkan.1
- Tahap Mitigasi dan Penyelesaian: Tahap terakhir ini menyediakan mekanisme untuk mencegah klaim agar tidak berubah menjadi sengketa. Hal ini termasuk menghindari ketidakberesan prosedural, amendemen kontrak yang tidak semestinya, bias yang nyata, dan perilaku manusia yang tidak beretika. Tesis ini menemukan bahwa klaim dapat diselesaikan dengan lebih cepat dan efisien jika kerangka kerja yang jelas ini dipatuhi.1
Kerangka kerja ECMF ini bukan hanya daftar periksa, tetapi alat untuk mendorong perubahan budaya dari konfrontasional ke kooperatif, seperti yang diamanatkan oleh laporan strategi pemerintah Inggris. Tesis ini berpendapat bahwa dengan mengadopsi kerangka kerja ini, perusahaan akan memandang manajemen klaim sebagai investasi, bukan sebagai biaya, yang pada akhirnya akan menghasilkan proyek yang lebih efisien, hemat biaya, dan tepat waktu.
Jalan ke Depan: Kritik Realistis dan Dampak Nyata yang Menjanjikan
Tesis ini tidak mengklaim kerangka kerja yang diusulkan sebagai solusi instan. Ada kritik dan tantangan realistis yang diakui. Beberapa praktisi tetap skeptis bahwa menunjukkan hasil yang terukur sangatlah bermasalah karena hubungan antara strategi dan efektivitas seringkali sangat lemah.1 Tesis juga mengakui bahwa kerangka kerja ini hanya akan berhasil jika diikuti oleh semua pihak, dan masalah sering muncul karena kurangnya pemahaman tentang mekanisme kontraktual.
Meskipun demikian, validasi kerangka kerja melalui proses pengecekan formal dengan anggota (formal process of member checking) oleh para pakar memberikan kredibilitas yang kuat bahwa kerangka kerja ini tidak hanya valid secara akademis, tetapi juga relevan dan praktis di dunia nyata. Ini adalah langkah metodologis yang penting yang memastikan bahwa kerangka kerja ini memiliki potensi untuk diterapkan.
Jika diterapkan secara luas, kerangka kerja ini memiliki potensi besar untuk membantu pemerintah Inggris mencapai tujuannya dalam strategi konstruksi 2025, yaitu mengurangi biaya aset hingga 33% dan mempercepat waktu konstruksi hingga 50%.1 Dengan mengurangi litigasi dan mengalihkan sumber daya yang terbuang untuk sengketa ke arah inovasi dan efisiensi, kerangka kerja ini dapat menghasilkan dampak nyata. Ini adalah evolusi daripada revolusi. Dengan menyediakan metode yang jelas untuk mengidentifikasi, mendokumentasikan, dan menyelesaikan klaim secara adil, kerangka kerja ini dapat menciptakan proses kolaboratif yang lebih baik, yang pada gilirannya akan menghasilkan proyek yang lebih efisien, hemat biaya, dan tepat waktu. Ini merupakan pernyataan dampak yang kuat dan terukur yang menjanjikan masa depan yang lebih stabil dan menguntungkan bagi industri konstruksi di Inggris.1
Mengubah Paradigma: Dari Sengketa Menjadi Kolaborasi
Tesis ini memberikan cetak biru yang sangat dibutuhkan untuk perubahan paradigma. Klaim manajemen yang efektif bukanlah sebuah beban, melainkan sebuah investasi penting yang dapat mengubah industri konstruksi dari sektor yang rentan dan konfrontatif menjadi sektor yang efisien dan kolaboratif. Dengan mengatasi masalah mendasar seperti krisis kepercayaan, kurangnya dokumentasi, dan hubungan yang lemah antara strategi dan implementasi, kerangka kerja ini menawarkan jalan yang jelas untuk mengurangi sengketa, menghemat miliaran pound, dan akhirnya membangun industri yang lebih kuat dan tangguh.
Sumber Artikel:
Nosheen, A. (2022). Development of an effective claim management framework for the UK construction industry (Doctoral dissertation, Coventry University).