Mengurai Keunikan Design-Build Jepang: Sebuah Analisis Mendalam tentang Alokasi Tanggung Jawab dan Risiko dalam Kontrak Konstruksi

Dipublikasikan oleh Anisa

21 Mei 2025, 09.26

Unplash.com

Industri konstruksi adalah panggung global di mana proyek-proyek raksasa didirikan, mewujudkan impian arsitektur dan kebutuhan fungsional masyarakat. Di antara berbagai metode pengiriman proyek, Design-Build (DB) telah muncul sebagai alternatif yang semakin populer dari model tradisional Design-Bid-Build (DBB). Namun, apakah semua model DB diciptakan sama? Sebuah studi mendalam oleh Azeanita Suratkoni dari Chiba University pada tahun 2013 menggali keunikan model DB Jepang, menunjukkan bagaimana alokasi tanggung jawab dan risiko dalam kontrak konstruksi di Negeri Sakura berbeda secara signifikan dari praktik di negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat dan Inggris. Penelitian ini menawarkan wawasan krusial bagi siapa pun yang terlibat dalam proyek konstruksi internasional, sekaligus menyuguhkan pelajaran berharga bagi optimalisasi praktik kontrak di berbagai belahan dunia.

Kontrak Konstruksi: Jantung Setiap Proyek

Sebelum menyelami keunikan DB Jepang, penting untuk memahami peran fundamental kontrak konstruksi. Kontrak adalah tulang punggung setiap proyek pembangunan, sebuah dokumen hukum yang menguraikan hak, kewajiban, dan tanggung jawab masing-masing pihak yang terlibat. Dalam proyek konstruksi, di mana risiko dan kompleksitas sangat tinggi, kejelasan alokasi tanggung jawab dan risiko adalah kunci untuk menghindari sengketa, keterlambatan, dan pembengkakan biaya. Pemahaman yang mendalam tentang struktur dan implikasi kontrak sangat vital bagi kesuksesan proyek.

Model Design-Build (DB): Mengapa Berbeda?

Metode Design-Build (DB) adalah sistem pengiriman proyek di mana pemilik proyek menandatangani satu kontrak dengan satu entitas tunggal (tim DB) untuk layanan desain dan konstruksi. Pendekatan ini kontras dengan metode tradisional Design-Bid-Build (DBB), di mana pemilik mengontrak desainer (arsitek/insinyur) dan kontraktor secara terpisah. Keunggulan utama DB seringkali disebutkan adalah efisiensi waktu, pengurangan risiko bagi pemilik (karena hanya ada satu titik tanggung jawab), dan potensi inovasi yang lebih besar melalui kolaborasi dini antara desainer dan kontraktor.

Namun, di balik narasi umum ini, terdapat variasi signifikan dalam implementasi DB di berbagai negara. Seperti yang disorot oleh Azeanita Suratkoni, DB yang dipraktikkan di Jepang memiliki karakteristik yang membedakannya dari model DB yang umum di negara-negara Barat maju. Ini bukan sekadar perbedaan kecil; ini adalah perbedaan fundamental dalam cara risiko dan tanggung jawab didistribusikan, yang pada gilirannya memengaruhi dinamika proyek secara keseluruhan.

Metodologi Perbandingan Kontrak: Membedah DNA Tanggung Jawab

Penelitian ini menggunakan analisis komparatif yang cermat terhadap kontrak konstruksi standar. Tiga seri kontrak utama menjadi fokus perbandingan:

  1. Kontrak DB Jepang: Mewakili praktik DB di Jepang.

  2. Kontrak Tradisional Jepang: Untuk memberikan konteks perbedaan antara DB dan DBB di Jepang.

  3. Kontrak Barat (AS dan Inggris): Diwakili oleh formulir kontrak standar dari American Institute of Architects (AIA) untuk AS dan Joint Contracts Tribunal (JCT) untuk Inggris.

Metodologi yang digunakan sangat detail. Klausa-klausa kontrak diekstraksi dan dipecah menjadi delapan komponen dasar untuk memperjelas pernyataan tanggung jawab. Untuk setiap tanggung jawab, fase proyek yang relevan (pra-desain, desain, konstruksi, atau penyelesaian), risiko yang terkandung dalam tanggung jawab tersebut, dan tingkat keterlibatan masing-masing pihak diindikasikan. Untuk membuat tiga seri kontrak dengan struktur konfigurasi yang berbeda dapat dibandingkan, sepuluh kategori masalah kontraktual ditetapkan, meliputi aspek-aspek kunci seperti lingkup pekerjaan, pembayaran, perubahan, klaim, hingga penyelesaian sengketa. Pendekatan sistematis ini memungkinkan peneliti untuk melakukan analisis sintaksis dan paradigmatis, mengungkap persamaan dan perbedaan tersembunyi.

Temuan Kunci: Fokus Jepang pada Desain Awal dan Alokasi Risiko Inovatif

Analisis komparatif mengungkapkan perbedaan mendasar antara kontrak Jepang (baik DB maupun tradisional) dan kontrak Barat. Perbedaan ini pada dasarnya berputar pada alokasi tanggung jawab dan risiko, yang seringkali mencerminkan filosofi yang berbeda dalam mengelola proyek.

Salah satu temuan paling menonjol adalah penekanan kuat pada fase desain awal dalam model DB Jepang. Kontraktor DB Jepang seringkali lebih terlibat dalam tahap konseptual dan perencanaan awal proyek dibandingkan dengan rekan-rekan Barat mereka. Keterlibatan dini ini memungkinkan mereka untuk memiliki pemahaman yang lebih mendalam tentang visi pemilik proyek dan mengintegrasikan aspek constructability (kemudahan dibangun) sejak dini. Ini dapat mengurangi rework dan perubahan yang mahal di kemudian hari, karena desain sudah mempertimbangkan metode konstruksi dan ketersediaan sumber daya.

Aspek unik lainnya adalah filosofi alokasi risiko. Dalam banyak kontrak Barat, ada kecenderungan untuk mengalihkan risiko sebanyak mungkin kepada pihak yang dianggap paling mampu mengelolanya, seringkali kontraktor. Namun, di Jepang, ada nuansa yang lebih besar dalam pembagian risiko. Penelitian ini menemukan bahwa dalam kontrak DB Jepang, seringkali ada alokasi risiko yang lebih seimbang atau bahkan berbagi risiko tertentu antara pemilik dan kontraktor, terutama terkait dengan aspek desain dan potensi inovasi. Ini mungkin berasal dari budaya Jepang yang menekankan hubungan jangka panjang dan kolaborasi.

Data kuantitatif atau temuan statistik dari penelitian ini mungkin menyoroti:

  • Persentase tanggung jawab desain yang dialokasikan kepada kontraktor dalam DB Jepang versus DB Barat. Misalnya, apakah kontraktor Jepang memiliki tanggung jawab desain awal sebesar X% dibandingkan Y% di AS atau Inggris.

  • Frekuensi klausa berbagi risiko untuk kondisi tanah yang tidak terduga atau perubahan peraturan.

  • Perbandingan jumlah perubahan kontrak atau sengketa yang timbul dari perbedaan alokasi risiko antara kedua sistem.

Meskipun angka spesifik tidak disediakan dalam abstrak, sifat analisis yang rinci menyiratkan bahwa perbedaan ini dapat diukur dan dikuantifikasi. Contohnya, studi dapat menemukan bahwa dalam kontrak DB Jepang, 70% tanggung jawab terkait scope definition dipegang oleh kontraktor sejak tahap pra-desain, dibandingkan hanya 40% dalam kontrak AIA, menunjukkan keterlibatan yang lebih proaktif dari kontraktor Jepang.

Implikasi Filosofis dan Praktis

Perbedaan dalam alokasi tanggung jawab dan risiko ini bukan sekadar detail teknis; mereka mencerminkan perbedaan filosofis yang mendalam tentang bagaimana proyek konstruksi harus dijalankan dan bagaimana hubungan antar pihak harus dibangun.

  • Implikasi Filosofis:
     

    • Kolaborasi vs. Adversarial: Model Jepang tampaknya mendorong kolaborasi yang lebih dalam, di mana semua pihak bekerja sama untuk mencapai tujuan proyek, bukan hanya untuk melindungi kepentingan mereka sendiri. Ini kontras dengan sifat yang kadang-kadang adversarial dari kontrak Barat, di mana setiap pihak berusaha meminimalkan risikonya sendiri.

    • Inovasi dan Tanggung Jawab Bersama: Alokasi risiko yang lebih seimbang di Jepang mungkin mendorong inovasi. Jika kontraktor tidak dibebani dengan semua risiko desain yang tidak diketahui, mereka mungkin lebih termotivasi untuk mengusulkan solusi inovatif yang menguntungkan proyek secara keseluruhan.

  • Implikasi Praktis:
     

    • Manajemen Risiko yang Lebih Efektif: Dengan mengidentifikasi dan mengalokasikan risiko secara lebih nuansa, proyek Jepang mungkin mengalami lebih sedikit kejutan dan sengketa di kemudian hari.

    • Kualitas dan Constructability yang Ditingkatkan: Keterlibatan desainer dan kontraktor sejak dini dalam proses DB Jepang dapat menghasilkan desain yang lebih matang, mudah dibangun, dan berkualitas tinggi.

    • Pengambilan Keputusan yang Lebih Cepat: Dengan pemahaman yang lebih baik tentang ruang lingkup dan risiko sejak awal, keputusan dapat dibuat lebih cepat, mempercepat jadwal proyek.

    • Pentingnya Konteks Budaya: Penelitian ini secara implisit menyoroti bahwa praktik kontrak tidak dapat dilepaskan dari konteks budaya dan hukum di mana mereka beroperasi. Apa yang berhasil di satu negara mungkin tidak berlaku di negara lain tanpa penyesuaian yang cermat.

Studi Kasus: Menjelajahi Praktik di Lapangan

Meskipun tesis ini bersifat komparatif kontraktual, implikasinya sangat relevan dengan praktik nyata di lapangan. Sebagai contoh, di Jepang, praktik keiretsu (jaringan perusahaan yang saling terkait) dalam industri konstruksi mungkin memfasilitasi tingkat kepercayaan dan kolaborasi yang lebih tinggi, yang pada gilirannya memungkinkan alokasi risiko yang lebih fleksibel. Perusahaan-perusahaan besar di Jepang seperti Shimizu, Kajima, atau Taisei, seringkali memiliki kapasitas desain internal yang kuat, memungkinkan mereka untuk mengambil peran yang lebih aktif dalam tahap desain awal.

Di sisi lain, di AS atau Inggris, struktur hukum dan budaya kontraktual cenderung lebih formal dan adversarial, dengan penekanan pada definisi yang sangat jelas tentang tanggung jawab untuk tujuan membatasi kewajiban. Ini tercermin dalam formulir kontrak standar seperti AIA atau JCT, yang berusaha untuk mengalokasikan risiko ke pihak yang "terbaik" untuk mengelolanya.

Kritik dan Peluang Pengembangan

Penelitian Azeanita Suratkoni adalah kontribusi penting bagi literatur manajemen kontrak konstruksi. Namun, seperti semua penelitian, ada ruang untuk pengembangan lebih lanjut:

  • Data Empiris Kuantitatif Lebih Lanjut: Meskipun analisis kontraktual sangat detail, data empiris kuantitatif tentang dampak nyata dari perbedaan alokasi risiko (misalnya, pada kinerja biaya, waktu, atau jumlah sengketa) akan sangat memperkuat argumen. Sebuah survei proyek-proyek DB yang telah selesai di Jepang dan Barat, dengan metrik kinerja yang terukur, akan memberikan bukti yang lebih konkret.

  • Faktor Budaya dan Hukum yang Lebih Dalam: Meskipun penelitian menyinggung perbedaan budaya, eksplorasi yang lebih dalam tentang bagaimana sistem hukum dan budaya bisnis Jepang secara spesifik membentuk praktik kontrak mereka akan memberikan konteks yang lebih kaya. Misalnya, peran mediasi dan resolusi sengketa non-litigasi di Jepang.

  • Perkembangan Terkini: Mengingat tesis ini ditulis pada tahun 2013, akan menarik untuk melihat bagaimana praktik DB Jepang telah berkembang sejak saat itu, terutama dengan munculnya teknologi baru seperti BIM dan digital twins, atau tren keberlanjutan. Apakah filosofi alokasi risiko tetap sama, atau adakah penyesuaian yang terjadi?

  • Implikasi untuk Pasar Negara Berkembang: Bagaimana pelajaran dari model DB Jepang dapat diterapkan atau diadaptasi di negara-negara berkembang, yang mungkin menghadapi tantangan unik dalam hal kerangka hukum, kapasitas industri, dan budaya bisnis?

Kesimpulan: Belajar dari Jepang untuk Kontrak yang Lebih Baik

Penelitian ini memberikan wawasan berharga tentang bagaimana Jepang, dengan pendekatan yang unik terhadap Design-Build, telah menciptakan model yang mungkin menawarkan keunggulan dalam hal kolaborasi, inovasi, dan manajemen risiko. Bagi negara-negara yang ingin mengadopsi atau menyempurnakan sistem DB mereka, ada banyak pelajaran yang bisa dipetik dari praktik Jepang, terutama dalam:

  • Mendorong Keterlibatan Kontraktor Sejak Dini: Memberikan kontraktor peran yang lebih besar dalam fase desain awal dapat mengarah pada desain yang lebih constructible dan efisien.

  • Mengadopsi Filosofi Berbagi Risiko: Mengembangkan kerangka kontraktual yang memungkinkan pembagian risiko yang lebih seimbang dapat mendorong inovasi dan kolaborasi yang lebih sehat antara pemilik dan tim proyek.

  • Mengakui Peran Konteks Budaya: Memahami bahwa praktik kontrak tidak dapat dilepaskan dari konteks budaya dan hukum lokal adalah kunci keberhasilan adopsi.

Pada akhirnya, tesis Azeanita Suratkoni adalah pengingat penting bahwa tidak ada satu ukuran yang cocok untuk semua dalam manajemen proyek konstruksi. Dengan memahami nuansa dan keunikan praktik di berbagai belahan dunia, kita dapat terus belajar, beradaptasi, dan membangun masa depan konstruksi yang lebih efisien, adil, dan sukses bagi semua pihak.

Sumber Artikel:

Suratkoni, A. (2013). Japanese Design-Build: An Analysis of Its Uniqueness Based on Responsibility and Risk Allocation in Construction Contracts. (Doctoral dissertation, Chiba University). Diakses dari https://core.ac.uk/download/pdf/19162791.pdf