Integritas dalam proses pengadaan barang dan jasa, terutama dalam proyek-proyek yang melibatkan dana publik, adalah pilar utama tata kelola pemerintahan yang baik. Namun, realitasnya, praktik persekongkolan tender atau kartel tender masih menjadi persoalan serius yang terus menggerogoti efisiensi anggaran dan keadilan persaingan usaha.
Tesis berjudul "Persekongkolan Tender pada Proyek Kerjasama Pemerintah dan Swasta dalam Perspektif Hukum Persaingan Usaha: Studi Putusan KPPU Perkara Nomor 15/KPPU-L/2007 & Perkara Nomor 23/KPPU-L/2007" oleh Maduseno Dewobroto menyajikan analisis yang mendalam dan relevan mengenai fenomena ini di Indonesia. Disusun pada Juli 2008, tesis ini membedah dua putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menjadi sorotan. Kajian tersebut menghadirkan prespektif kritis untuk memahami modus operandi persekongkolan serta upaya hukum persaingan usaha dalam menanggulanginya.
Penelitian ini tidak hanya penting dari sisi akademis, tetapi juga memiliki implikasi praktis yang besar bagi pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat luas. Dalam konteks masifnya pembangunan infrastruktur dan intensitas proyek kerja sama pemerintah-swasta (KPS/PPP) di Indonesia, pemahaman mengenai praktik persekongkolan tender memiliki peran krusial. Pemahaman tersebut menjadi kunci untuk menjamin akuntabilitas serta optimalisasi manfaat proyek bagi masyarakat. Tesis ini berhasil menyoroti kerumitan pembuktian persekongkolan serta implikasi hukumnya, menjadikannya referensi berharga dalam diskusi tentang persaingan usaha yang sehat.
Anatomia Persekongkolan Tender: Modus Operandi dan Dampaknya
Persekongkolan tender, atau dikenal juga sebagai bid rigging, adalah bentuk kartel horizontal di mana para pesaing bersepakat untuk memanipulasi proses penawaran dalam suatu tender. Tujuan utamanya sederhana: menghindari persaingan harga yang sehat dan memastikan salah satu pihak memenangkan tender dengan harga lebih tinggi atau syarat yang lebih menguntungkan. Pada akhirnya, praktik ini merugikan pemberi pekerjaan, baik pemerintah maupun entitas swasta.
Maduseno Dewobroto dalam tesisnya menunjukkan bahwa praktik persekongkolan tender bukan hanya merugikan secara finansial—misalnya melalui anggaran yang membengkak atau kualitas proyek yang menurun—tetapi juga berdampak pada aspek yang lebih mendasar, yakni kepercayaan publik terhadap proses pengadaan. Bayangkan sebuah proyek jalan tol bernilai triliunan rupiah. Jika beberapa perusahaan konstruksi bersekongkol untuk mengatur pemenang tender, harga proyek bisa melonjak 10-20% dari estimasi wajar. Apabila pola ini berlangsung di proyek-proyek berskala nasional, kerugian negara yang timbul akan sangat besar. Padahal, dana tersebut seharusnya bisa dialokasikan untuk sektor pendidikan, kesehatan, atau layanan publik lainnya.
Penelitian ini membahas sejumlah bentuk umum persekongkolan tender. Walaupun tidak dijabarkan secara eksplisit, putusan KPPU yang dianalisis memungkinkan kita melakukan inferensi terhadap modus yang terjadi. Secara garis besar, modus tersebut mencakup:
-
Penawaran Pelengkap (Complementary Bidding): Peserta tender lainnya sengaja memasukkan penawaran yang lebih tinggi atau kurang menarik agar penawaran pemenang yang telah disepakati terlihat paling kompetitif. Ini seperti pementasan teater di mana hanya satu aktor yang boleh menjadi bintang utama.
-
Rotasi Tender (Bid Rotation): Peserta tender bergiliran memenangkan tender. Minggu ini perusahaan A, bulan depan perusahaan B, dan seterusnya, memastikan setiap anggota kartel mendapatkan bagian pasar. Ini memberikan ilusi persaingan, padahal di baliknya ada perjanjian terselubung.
-
Subkontrak (Subcontracting): Pemenang tender yang telah disepakati memberikan pekerjaan subkontrak kepada perusahaan yang "kalah" dalam tender, sebagai kompensasi atas partisipasi mereka dalam persekongkolan. Ini adalah cara halus untuk berbagi keuntungan dari praktik ilegal.
-
Pengunduran Diri Peserta (Bid Suppression): Beberapa peserta tender sengaja menarik diri atau tidak mengajukan penawaran, sehingga memberi jalan bagi pihak yang telah ditentukan sebagai pemenang.
Dampak dari persekongkolan ini sangat multi-dimensi. Dari sisi ekonomi, terjadi inefisiensi alokasi sumber daya, harga barang/jasa menjadi tidak kompetitif, dan inovasi terhambat karena perusahaan tidak perlu bersaing secara sehat. Dari sisi hukum, praktik ini melanggar prinsip persaingan usaha yang adil dan dapat menimbulkan sanksi pidana maupun perdata. Dan yang paling penting, dari sisi sosial, persekongkolan tender mengikis kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintah dan mekanisme pasar, menciptakan persepsi korupsi yang meluas.
KPPU sebagai Benteng Penjaga Persaingan: Studi Putusan Kasus
Fokus utama tesis ini pada dua putusan KPPU, yaitu Perkara Nomor 15/KPPU-L/2007 dan Perkara Nomor 23/KPPU-L/2007, adalah jantung analisisnya. Sayangnya, detail spesifik mengenai pihak-pihak yang terlibat, jenis proyek, atau besaran kerugian dari kedua perkara ini tidak disertakan dalam cuplikan tesis yang diberikan. Namun, penekanan pada putusan KPPU menunjukkan bahwa tesis ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas lembaga independen dalam menegakkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Kehadiran KPPU merupakan anugerah bagi iklim persaingan usaha di Indonesia. Sebelum KPPU berdiri, praktik monopoli dan persaingan tidak sehat sulit untuk ditindak. KPPU memiliki kewenangan yang luas, mulai dari penyelidikan, pemeriksaan, hingga menjatuhkan sanksi berupa denda, pembatalan perjanjian, atau penghentian kegiatan tertentu. Tesis ini secara tidak langsung menggambarkan betapa krusialnya peran KPPU dalam menjaga integritas proses tender, terutama dalam proyek-proyek KPS yang seringkali melibatkan anggaran besar dan risiko tinggi.
Pembuktian persekongkolan tender adalah tantangan besar. Seringkali, tidak ada bukti langsung berupa perjanjian tertulis. Oleh karena itu, KPPU harus membangun argumentasi melalui bukti tidak langsung, misalnya harga penawaran yang mencurigakan, dokumen yang salah ketik atau identik antar peserta, pola penawaran yang tidak wajar, atau komunikasi antar peserta yang tidak wajar. Penerapan per se rule dalam hukum persaingan usaha, yang mengkualifikasikan tindakan tertentu sebagai pelanggaran tanpa perlu membuktikan adanya niat, menjadi relevan dalam konteks pembuktian persekongkolan tender. Jika ada bukti bahwa peserta tender bertemu dan melakukan koordinasi, maka persekongkolan bisa langsung diasumsikan. Namun, di lapangan, pembuktian ini sangatlah rumit dan membutuhkan kejelian serta sumber daya investigasi yang kuat.
Proyek Kerja Sama Pemerintah dan Swasta (KPS/PPP): Medan Pertarungan Baru
Tesis ini secara spesifik menempatkan persekongkolan tender dalam konteks proyek KPS. Proyek KPS, yang semakin populer di Indonesia sebagai alternatif pembiayaan pembangunan infrastruktur, melibatkan dana publik yang besar dan seringkali kompleks. Ini menjadikan proyek KPS sangat rentan terhadap praktik persekongkolan.
Mengapa proyek KPS lebih rentan?
-
Ukuran Proyek Besar: Proyek KPS seringkali berskala besar dan bernilai tinggi (misalnya, pembangunan bandara, pelabuhan, jalan tol, atau pembangkit listrik). Nilai proyek yang besar menarik perhatian pelaku kartel karena potensi keuntungan yang juga besar.
-
Sedikit Peserta Pasar: Dalam banyak proyek KPS, terutama yang membutuhkan keahlian atau teknologi spesifik, jumlah perusahaan yang mampu berpartisipasi dalam tender mungkin terbatas. Jumlah peserta yang sedikit memudahkan koordinasi dan persekongkolan.
-
Informasi Asimetris: Pihak swasta mungkin memiliki informasi lebih banyak mengenai biaya dan teknologi dibandingkan pemerintah, yang bisa dimanfaatkan untuk memanipulasi penawaran.
-
Koneksi dan Pengaruh: Seringkali, perusahaan besar yang terlibat dalam KPS memiliki koneksi politik atau birokrasi, yang dapat disalahgunakan untuk mempengaruhi proses tender.
Pada saat tesis ini ditulis (2008), tren proyek KPS di Indonesia mungkin belum semasif sekarang. Namun, relevansi tesis ini semakin meningkat seiring dengan digencarkannya pembangunan infrastruktur melalui skema KPS. Data dari Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa komitmen investasi melalui skema KPS terus bertumbuh, bahkan mencapai angka puluhan triliun rupiah per tahun untuk proyek-proyek infrastruktur saja. Angka ini menegaskan urgensi untuk menjaga integritas proses tender dalam setiap proyek KPS. Jika 10% dari nilai proyek ini bocor akibat persekongkolan, kerugian yang ditimbulkan akan sangat besar dan memperlambat laju pembangunan nasional.
Nilai Tambah dan Opini: Melampaui Analisis Kasus
Tesis Maduseno Dewobroto ini patut diapresiasi karena keberaniannya mengangkat isu krusial seperti persekongkolan tender. Namun, untuk memberikan nilai tambah yang lebih dalam dan relevan dengan konteks kekinian, ada beberapa aspek yang bisa dipertimbangkan sebagai kritik dan proyeksi ke depan:
-
Dampak Implementasi Kebijakan Pasca-Tesis: Sejak 2008, regulasi terkait pengadaan barang/jasa pemerintah telah mengalami beberapa kali perubahan (misalnya, Perpres No. 54 Tahun 2010, Perpres No. 16 Tahun 2018). Bagaimana perubahan regulasi ini memengaruhi praktik persekongkolan tender? Apakah KPPU semakin efektif atau justru menghadapi tantangan baru? Analisis komparatif dengan regulasi terkini akan sangat relevan.
-
Peran Teknologi dalam Pencegahan dan Pembuktian: Di era digital ini, praktik e-procurement atau pengadaan secara elektronik sudah jamak dilakukan. Bagaimana teknologi ini membantu atau justru masih rentan terhadap persekongkolan? Misalnya, sistem e-procurement dapat secara otomatis mendeteksi pola penawaran yang tidak wajar atau mengidentifikasi dokumen yang identik. Namun, di sisi lain, pelaku persekongkolan mungkin juga menggunakan teknologi untuk menyamarkan jejak mereka.
-
Keterlibatan Sektor Swasta dalam Pencegahan: Perusahaan-perusahaan yang sering mengikuti tender KPS seharusnya memiliki compliance program yang kuat untuk mencegah karyawan mereka terlibat dalam praktik persekongkolan. Bagaimana peran asosiasi industri atau kamar dagang dalam mempromosikan praktik tender yang bersih? Opini tentang bagaimana peran proaktif dari sektor swasta dapat menjadi pelengkap kerja KPPU akan sangat bermanfaat.
-
Tantangan Global dan Cross-Border Cartel: Dalam proyek-proyek KPS yang melibatkan investasi asing, potensi cross-border cartel atau persekongkolan lintas negara bisa saja terjadi. Bagaimana KPPU berkolaborasi dengan otoritas persaingan usaha di negara lain untuk menindak praktik semacam ini? Ini adalah dimensi yang semakin relevan di era globalisasi.
-
Peran Whistleblower dan Perlindungan Saksi: Seringkali, informasi tentang persekongkolan berasal dari orang dalam. Bagaimana perlindungan bagi whistleblower dan saksi di Indonesia dapat diperkuat untuk mendorong lebih banyak pengungkapan kasus? Ini adalah aspek praktis yang sangat penting dalam upaya pemberantasan persekongkolan.
Tesis ini juga membuka ruang diskusi tentang pentingnya pendidikan dan kesadaran hukum bagi semua pihak yang terlibat dalam proses pengadaan. Pemerintah harus terus meningkatkan kapasitas sumber daya manusianya untuk mendeteksi indikasi persekongkolan. Pelaku usaha perlu memahami konsekuensi hukum dari praktik ilegal ini dan memilih untuk bersaing secara sehat.
Secara keseluruhan, Maduseno Dewobroto telah memberikan kontribusi penting dalam literatur hukum persaingan usaha di Indonesia dengan tesis ini. Meskipun diterbitkan pada tahun 2008, relevansi isu persekongkolan tender pada proyek KPS tidak pernah pudar, bahkan mungkin semakin menguat. Tesis ini menegaskan bahwa tanpa pengawasan yang ketat serta penegakan hukum yang konsisten, integritas pengadaan barang dan jasa—khususnya dalam kerja sama antara pemerintah dan swasta—akan terus berada dalam posisi rentan, dengan masyarakat sebagai pihak yang menanggung dampak paling besar.
Sumber Artikel:
Tesis ini berjudul "Persekongkolan Tender pada Proyek Kerjasama Pemerintah dan Swasta dalam Perspektif Hukum Persaingan Usaha: Studi Putusan KPPU Perkara Nomor 15/KPPU-L/2007 & Perkara Nomor 23/KPPU-L/2007" oleh Maduseno Dewobroto. Tesis ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum (M.H.) di Program Studi Hukum Ekonomi, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, pada Juli 2008.