Memahami IWRM Lewat Lensa Jaringan Kebijakan
Integrated Water Resources Management (IWRM) telah lama diusung sebagai pendekatan ideal dalam pengelolaan air global. Namun, dalam praktiknya, implementasi IWRM di negara-negara berkembang kerap tertatih, termasuk di Bangladesh. Dalam disertasinya, Ubaydur Rahaman Siddiki (2022) mengusulkan pendekatan inovatif dengan memanfaatkan Policy Network Analysis (PNA) sebagai alat bedah untuk menilai bagaimana kebijakan dan proyek air dibentuk, diterapkan, dan—sering kali—gagal. Artikel ini meresensi dan memperluas tesis Siddiki dalam bahasa yang komunikatif, memperkaya dengan studi kasus dan tren global, serta menawarkan opini kritis yang membumi.
IWRM: Konsep Global, Tantangan Lokal
IWRM, menurut definisi Global Water Partnership (2000), adalah proses yang mempromosikan pengelolaan dan pengembangan air, tanah, dan sumber daya lainnya secara terkoordinasi untuk memaksimalkan kesejahteraan ekonomi dan sosial tanpa mengorbankan keberlanjutan ekosistem vital. Di atas kertas, IWRM menjanjikan harmoni. Namun dalam praktiknya, khususnya di Bangladesh:
- Fragmentasi institusional dan duplikasi tugas masih menjadi momok.
- Tantangan geografis seperti delta sungai dan banjir tahunan mempersulit koordinasi.
- Polusi air dan kontaminasi arsenik menjadi masalah kesehatan kronis.
Policy Network Analysis: Membongkar Simpul Masalah
Siddiki mengangkat PNA sebagai alat diagnosis kebijakan yang melihat:
- Aktor dan perannya: Siapa yang terlibat, siapa yang dikecualikan?
- Aturan main: Apakah peraturan jelas atau tumpang tindih?
- Relasi kekuasaan: Siapa yang dominan dalam pengambilan keputusan?
Temuan Utama:
- Pembuatan Kebijakan Air (Water Act 2013) dilakukan tanpa inklusi aktor lokal kunci.
- Implementasi WMIP (Water Management Improvement Project) tidak berjalan mulus karena ketidaksesuaian antara kebijakan dan realitas lapangan.
- Kesenjangan antara jaringan kebijakan dan jaringan implementasi menjadi penyebab utama IWRM gagal optimal.
Studi Kasus: Proyek WMIP sebagai Cermin Kerapuhan Sistem
WMIP adalah proyek besar yang didanai ADB dan Bank Dunia, ditujukan untuk mereformasi kelembagaan air di Bangladesh. Namun:
- Banyak aktor lokal tidak dilibatkan secara bermakna.
- Ketidaksesuaian mandat antar lembaga (misalnya BWDB vs WARPO) memicu konflik.
- Ketergantungan pada sumber daya luar negeri (teknis maupun finansial) memperlemah keberlanjutan.
Kritik tambahan: WMIP mencerminkan bias top-down yang masih kental dalam proyek air, yang seringkali mengabaikan indigenous knowledge atau praktik lokal.
Menghubungkan dengan Praktik Global: Apa yang Bisa Dipelajari?
Indonesia
Kasus Indonesia dalam menangani penurunan muka tanah di Jakarta juga mencerminkan pentingnya kolaborasi antarlembaga dan partisipasi warga. Tanpa data spasial terbuka dan mekanisme feedback dari masyarakat, kebijakan larangan sumur bor tidak efektif.
Iran (Danau Urmia)
Restorasi danau Urmia melibatkan model hidrologi partisipatif dan monitoring satelit. Bangladesh bisa belajar dari bagaimana integrasi sains dan partisipasi masyarakat dapat menjadi dasar kebijakan.
Menuju Solusi: Rekomendasi Kunci
- Redesain Jaringan Kebijakan: Libatkan aktor marginal dalam perancangan, bukan hanya implementasi.
- Perbaikan Tata Aturan: Sinkronisasi antar perundangan, jelasnya mandat, dan pengurangan overlap.
- Manajemen Jaringan (Network Management Approach): Koordinasi aktif antar aktor melalui insentif, mediasi konflik, dan pelatihan kapasitas.
- Desentralisasi Bertanggung Jawab: Wewenang daerah harus diikuti dengan anggaran dan kapasitas teknis.
- Audit Partisipatif Tahunan: Evaluasi bersama antara masyarakat, NGO, dan lembaga pemerintah.
Dampak Praktis dan Industri
- Perusahaan konsultan air bisa memanfaatkan PNA untuk merancang proyek yang lebih adaptif.
- Startup teknologi lingkungan dapat menciptakan dashboard interaktif berbasis PNA untuk monitoring kebijakan.
- Pemerintah bisa menjadikan pendekatan Siddiki sebagai model nasional pengukuran efektivitas kebijakan air.
Kritik Akademik dan Potensi Lanjutan
Meskipun komprehensif, penelitian ini masih fokus pada dua kasus (Water Act dan WMIP). Akan lebih kuat bila diperluas ke wilayah lain seperti Chittagong atau permukiman pesisir. Selain itu, pendekatan PNA bisa digabungkan dengan metode kuantitatif seperti Social Network Analysis (SNA) untuk menghasilkan peta interaksi yang lebih konkret.
Kesimpulan: IWRM Tak Cukup Hanya "Terintegrasi" di Atas Kertas
Siddiki berhasil membedah kenapa IWRM seringkali gagal bukan karena niat, melainkan karena desain kebijakan yang eksklusif, jaringan aktor yang timpang, serta implementasi yang tidak konsisten. Melalui PNA, ia menunjukkan bahwa solusi ada di balik interaksi manusia, bukan hanya dalam dokumen strategis.
Bottom line: Reformasi kebijakan air harus mulai dari "jaringan," bukan hanya "peraturan."
Sumber: Siddiki, U. R. (2022). Understanding Integrated Water Resources Management using Policy Network Analysis: Implications for Bangladesh. University of Canberra.