Mengurai Faktor Penentu Kinerja Keselamatan di Industri Konstruksi: Dari Data Lapangan ke Agenda Riset Masa Depan

Dipublikasikan oleh Raihan

30 September 2025, 14.30

pexels.com

Mengurai Faktor Penentu Kinerja Keselamatan di Industri Konstruksi: Dari Data Lapangan ke Agenda Riset Masa Depan

Industri konstruksi punya peran vital dalam pembangunan ekonomi. Namun di balik geliat pembangunan gedung pencakar langit, jalan raya, dan infrastruktur besar lainnya, terdapat sisi gelap yang kerap luput dari perhatian: angka kecelakaan kerja yang tinggi. Di Malaysia saja, data SOSCO mencatat peningkatan kecelakaan konstruksi sebesar 5,6% dalam kurun 1995–2003, dengan lonjakan fatalitas hingga 58,3%. Angka ini menegaskan bahwa konstruksi masih menjadi sektor dengan risiko keselamatan paling serius.

Sebuah penelitian dari Nasrun dkk. (2016) berusaha mengurai akar persoalan ini. Melalui literature review dan survei kuesioner terhadap 40 responden, mereka mengevaluasi faktor-faktor yang paling memengaruhi kinerja keselamatan (safety performance) di proyek konstruksi. Analisis data dilakukan dengan skala Likert, menghasilkan gambaran jelas tentang titik-titik lemah yang paling rawan memicu kecelakaan.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Temuan riset ini cukup gamblang. Jenis kecelakaan paling dominan adalah jatuh dari ketinggian (22%), disusul oleh pekerja yang tertimpa objek (17,1%). Kedua jenis kecelakaan ini konsisten dengan fenomena global yang sering disebut “fatal four” dalam industri konstruksi.

Lebih dalam lagi, penelitian ini mengelompokkan faktor penyebab ke dalam empat kategori besar: manajemen, budaya, perilaku, dan kesadaran. Beberapa temuan kunci di antaranya:

  • Kurangnya penggunaan APD (PPE) mendapat skor tertinggi (min 4,05). Banyak pekerja masih mengabaikan helm, rompi, atau pelindung tubuh.
  • Komunikasi manajer–pekerja yang lemah mendapat skor 3,93. Minimnya interaksi langsung antara pimpinan proyek dan pekerja lapangan membuat instruksi sering kabur.
  • Sikap pekerja yang tidak bertanggung jawab, misalnya ceroboh saat menggunakan mesin, juga menonjol (skor 3,98).
  • Faktor pendidikan muncul signifikan. Banyak pekerja kurang memiliki bekal teori (skor 3,75), sehingga hanya fokus menyelesaikan tugas tanpa memahami risiko.
  • Perbedaan usia juga berperan. Pekerja muda cenderung kurang pengalaman dalam mengenali bahaya (skor 3,63).
  • Tidak adanya safety briefing/toolbox meeting rutin mendapat skor 3,58. Padahal, pertemuan singkat sebelum bekerja terbukti mampu menekan kecelakaan.

Jika dirangkum, temuan ini menegaskan satu hal: kesadaran (awareness) adalah faktor paling dominan. Dengan skor rata-rata 4,23, kesadaran pekerja terhadap pentingnya keselamatan berhubungan kuat dengan tingkat kecelakaan. Data ini bisa dibaca sebagai “koefisien korelasi praktis” — semakin rendah awareness, semakin tinggi potensi kecelakaan.

Riset ini juga tidak berhenti pada diagnosis masalah, tetapi menawarkan solusi. Inspeksi harian supervisor (skor 4,23), toolbox meeting rutin (4,28), dan pengawasan ketat dari manajemen (4,40) terbukti disetujui responden sebagai langkah mitigatif. Dalam bahasa sederhana: keselamatan bisa ditingkatkan jika ada disiplin struktural dan komitmen budaya di lapangan.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meski berkontribusi besar, penelitian ini juga memiliki keterbatasan yang menarik untuk dicermati:

  1. Konteks geografis terbatas. Studi ini berbasis pada data di Malaysia, sehingga belum tentu sepenuhnya relevan di negara dengan regulasi atau budaya berbeda.
  2. Metode survei persepsi. Karena data berbasis kuesioner, ada potensi bias subjektif dari responden.
  3. Tidak ada dimensi waktu. Studi ini potret sesaat; kita belum tahu apakah intervensi tertentu bisa menurunkan kecelakaan dalam jangka panjang.
  4. Hubungan kausal belum diuji. Apakah pendidikan rendah langsung meningkatkan risiko kecelakaan, atau ada faktor mediasi seperti budaya organisasi?
  5. Kurang eksplorasi teknologi. Di era digital, riset keselamatan tanpa melibatkan IoT, sensor, atau AI monitoring terasa kurang lengkap.

Pertanyaan terbuka yang lahir dari sini antara lain: bagaimana budaya organisasi memediasi perilaku individu? Seberapa efektif toolbox meeting digital dibanding tatap muka? Dan apakah teknologi wearable bisa mengurangi dominasi kecelakaan akibat jatuh?

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan

1. Studi Longitudinal tentang Perubahan Kesadaran

Mengapa penting? Karena awareness terbukti faktor dominan (skor 4,23).
Metode yang disarankan: Survei panel tahunan, dikombinasikan observasi langsung di proyek.
Tujuan: Mengukur apakah pelatihan dan briefing benar-benar mengubah perilaku dalam jangka panjang.

2. Eksperimen Toolbox Meeting Digital

Dasar riset: Ketiadaan briefing menurunkan keselamatan (skor 3,58).
Metode: RCT (Randomized Controlled Trial) membandingkan pekerja yang mendapat briefing lewat aplikasi mobile dengan yang tatap muka.
Target: Mengetahui apakah teknologi dapat meningkatkan pemahaman risiko lebih cepat dan konsisten.

3. Analisis Jalur Kausal dengan SEM

Dasar: Data menunjukkan faktor manajemen (4,05), budaya (3,85), perilaku (3,98) saling berinteraksi.
Metode: Structural Equation Modeling (SEM).
Tujuan: Mengurai jalur kausal: apakah budaya organisasi lebih berpengaruh lewat manajemen, atau langsung ke perilaku individu?

4. Studi Pendidikan Formal dan Non-Formal dalam K3

Dasar: Banyak pekerja tidak berpendidikan formal (skor 3,75).
Metode: Survei + studi kasus pelatihan vocational training.
Tujuan: Mengukur seberapa besar peningkatan keselamatan setelah pelatihan teknis atau sertifikasi.

5. Uji Teknologi Wearable untuk Pencegahan Jatuh

Dasar: Jatuh adalah penyebab utama kecelakaan (22%).
Metode: Uji coba sensor wearable yang mendeteksi posisi tubuh, dikombinasikan alarm otomatis.
Target: Menguji efektivitas teknologi dibanding intervensi konvensional seperti signage atau briefing.

Menatap Masa Depan: Sinergi Ilmu, Industri, dan Kebijakan

Dari semua temuan ini, satu benang merah bisa ditarik: keselamatan kerja di konstruksi bukan hanya soal alat, tetapi soal budaya dan kesadaran. Peralatan keselamatan bisa tersedia, tapi jika pekerja enggan memakainya, atau manajemen abai dalam pengawasan, risiko tetap tinggi.

Agenda riset ke depan harus lebih berani menggabungkan pendekatan multidisipliner: manajemen, psikologi perilaku, pendidikan, hingga teknologi digital. Kombinasi inilah yang bisa menjawab tantangan kompleks di lapangan.

Ajakan Kolaboratif

Riset ini membuka pintu besar untuk kolaborasi. Untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, penelitian lanjutan sebaiknya melibatkan universitas, asosiasi konstruksi, regulator keselamatan seperti DOSH dan CIDB, serta lembaga pelatihan K3. Dengan sinergi ini, industri konstruksi tidak hanya lebih produktif, tetapi juga lebih aman bagi semua pekerjanya.

Baca Selengkapnya di: Mohd Nawi, Mohd Nasrun & Siti Halipah, Ibrahim & Affandi, Rohaida & Rosli, Nor & Basri, Fazlin. (2016). Factor Affecting Safety Performance Construction Industry. Public Management Review. 6. 280-285.