Menggali Pentingnya Penelitian Bahan Baku Obat Alternatif di Indonesia

Dipublikasikan oleh Jovita Aurelia Sugihardja

17 April 2024, 07.54

Sumber: kompas.com

Pandemi COVID-19 seharusnya menjadi sebuah kewaspadaan bagi kita, terutama dalam hal obat-obatan dan alat kesehatan. Kebutuhan obat-obatan terus meningkat di masa pandemi saat ini. Sayangnya, hal tersebut tidak diimbangi dengan produksi obat dan alat kesehatan dalam negeri yang masih rendah dan rendah. Ada banyak permasalahan yang muncul terkait ketersediaan obat-obatan dan pengobatan rumahan. Distribusi, proses produksi serta ketersediaan bahan baku farmasi.

Dikutip Tempo.co edisi Kamis 23 September 2021, Direktur Utama PT Bio Farma (Persero) Honesti Basyir mengatakan industri farmasi Indonesia sedang tidak sehat. Menurut dia, permasalahan utamanya adalah lebih dari sembilan puluh persen bahan baku pembuatan obat masih diimpor dari luar negeri. Padahal, keanekaragaman hayati Indonesia merupakan yang terbesar di dunia, imbuhnya. Pencapaian kemandirian kesehatan memerlukan perbaikan di banyak bidang, terutama di industri farmasi dan alat kesehatan. Idenya adalah dengan dibentuknya holding farmasi yang mencakup seluruh institusi pemerintah dan swasta di Indonesia, maka akan terhindar dari permasalahan yang berkaitan dengan industri farmasi dan alat kesehatan.

Salah satu tujuan utama didirikannya perusahaan farmasi ini adalah agar para insinyur dan peneliti dapat berproduksi dari atas hingga bawah tanpa Indonesia bergantung pada bahan baku impor. Mengurangi impor bahan baku medis atau BBO tidak dapat dicapai dalam semalam. Meski kebutuhan obat dalam negeri sudah mencapai 90% dari permintaan, namun bahan baku farmasi masih bergantung pada impor yang mencapai 90-95%. Keluhan bermunculan mengenai ketersediaan pasokan medis selama pandemi COVID-19, dimana banyak perusahaan farmasi mengeluhkan keterlambatan produksi bahkan penundaan produksi karena kurangnya BBO.

Karena setiap negara yang mengimpor bahan baku obat-obatan menetapkan kebutuhan bahan bakunya masing-masing untuk menjamin pengendalian penyakit menular di negara tersebut. Kondisi ini menunjukkan sulitnya membicarakan pendirian perusahaan farmasi.

BBO penting karena Indonesia kalah bersaing. Harga bahan baku impor jauh lebih rendah dibandingkan investasi sendiri, kata Honesti Basyir dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI. Kini saatnya menciptakan persaingan agar Indonesia tidak bergantung pada obat-obatan impor. Kajian Raharni et al (2018) dari Balitbang Kementerian Kesehatan Indonesia dengan judul Kemandirian dan Ketersediaan Obat di Era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN): Kebijakan, Biaya dan Produksi Obat menyebutkan bahwa Indonesia tidak ada. begitulah aturannya. obat Masalah utama dalam mencapai kemerdekaan adalah ketergantungan Indonesia pada obat-obatan impor. Selain itu, Raharni dkk (2018) menunjukkan bahwa permasalahan swasembada terkait dengan kurangnya tenaga ahli yang mampu memproduksi bahan medis, masih terbatasnya infrastruktur teknologi medis, dan belum adanya sistem politik untuk memimpin industri farmasi pekerja.

Pemanfaatan sumber daya alam sebagai bahan obat Jika berbicara tentang keanekaragaman hayati Indonesia, khasiat obat masih ada dalam bidang pengobatan. Dalam hal standardisasi, kontinuitas merupakan perhatian bersama bagi berbagai organisasi dan produsen. Bahan alam seperti singkong, sagu dan jagung dapat dimanfaatkan sebagai pati obat dan nantinya digunakan sebagai bahan baku obat.

Namun, tidak ada satu pun produsen pati obat. Saat ini, kebutuhan pati obat masih bergantung pada impor dari berbagai negara. Pengolahan bahan baku obat yang berasal dari keanekaragaman hayati Indonesia, khususnya singkong, merupakan salah satu cara untuk mencapai kemandirian kesehatan di sektor farmasi. Biji singkong atau ubi jalar dapat dipilih sebagai bahan baku obat-obatan yang kemudian diubah menjadi pati singkong, karena tanaman singkong sangat mudah beradaptasi dengan lingkungan.

Menurut detik.com edisi Minggu 21 September 2021, produksi singkong akan mencapai 19 juta ton (2018), menjadikan Indonesia sebagai produsen singkong terbesar keempat di dunia. Hal ini menunjukkan bahwa produksi singkong juga dapat menunjang produksi pati singkong untuk industri farmasi. Berdasarkan Global Cassava Starch Market 2018, industri tepung alami Indonesia terus tumbuh untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang terus meningkat hingga mencapai 2,5-3,7 juta ton per tahun. Sumber daya industri tepung dalam negeri masih bergantung pada satu produk pokok yaitu singkong (tapioka), namun persaingan masih sedikit karena model pengelolaan sumber daya tepung masih tradisional.

Jumlah pati alam yang dihasilkan biasanya tidak mencukupi kebutuhan dalam negeri, sehingga pada tahun 2016-2018 akan diimpor lebih dari 1.000.000 ton tapioka. Jumlah tapioka yang dijual di pasar dunia sekitar 6 hingga 8 juta ton atau setara dengan 6 hingga 7% dari jumlah pati alami yang dijual. Pati memegang peranan penting dalam industri pengolahan pangan. Pati dasar seperti tepung tapioka. Pati alami seperti tapioka, sorgum, sagu dan pati lainnya banyak menghadapi permasalahan ketika digunakan sebagai bahan baku industri makanan dan non makanan. Apabila dimasak, pati terbentuk dalam waktu yang lama (membutuhkan banyak tenaga) dan pastanya mengeras serta tidak transparan.

Selain itu, sangat lengket dan tidak tahan terhadap perlakuan asam. Di sisi lain, industri membutuhkan pati dan bahan yang sesuai untuk keperluan tertentu, dan pati yang tidak dimodifikasi atau alami adalah jenis pati yang diproduksi di pabrik pengolahan..

Pengawetan pati merupakan modifikasi fisik pati yang paling sederhana, dimana pati mengeras sempurna dengan cara memasaknya dalam air kemudian mengeringkan pasta pati menggunakan pengering semprot atau pengering ledakan. Karena telah melalui proses gelatinisasi, pati kering tidak lagi tampak seperti butiran pati. Pati agar-agar bersifat instan dan larut dalam air dingin. Proses modifikasi pati lainnya adalah penggunaan ekstruder. Teknologi ini menggabungkan pengangkutan, pencampuran, kenaikan suhu, pemotongan dan proses lain yang terjadi di ekstruder, sehingga menghasilkan modifikasi termokimia pati.

Kini setelah program inovatif penggunaan tepung singkong sebagai obat telah dilaksanakan, program inovatif ini harus terus mengurangi pangsa obat-obatan di banyak negara. Ketersediaan, kuantitas dan harga yang kompetitif bahan obat berkelanjutan dari pati singkong akan menjadi salah satu bahan baku terkait bioindustri senilai Rp 26 triliun per tahun.

Inisiatif pemanfaatan singkong sebagai bahan baku obat-obatan juga mendukung pemerataan pembangunan dengan mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah berpenghasilan rendah. Selain itu perolehan ilmu pengetahuan dan teknologi pembuatan obat dari pati singkong juga akan berdampak, karena teknologi pengolahan obat dari pati singkong belum tersedia dan dapat dikembangkan secara internasional.

Oleh karena itu, hal ini menjadi peluang bagi Indonesia untuk mengurangi impor bahan baku medis dari berbagai negara. Secara keseluruhan, industri farmasi Indonesia masih mengimpor 95% bahan baku produk farmasi (BBO). Sekitar 851 jenis dan bahan tambahan BBO aktif dan bahan aktif farmasi/API. Dengan jumlah bahan sebanyak 441, mayoritas industri farmasi Indonesia bergerak di bidang farmasi manufaktur atau industri manufaktur. Industri farmasi masih bergantung pada impor BBO, termasuk API dan bahan baku/penolong terutama dari Tiongkok, India, Jepang, dan Eropa. Inovasi produksi obat dengan menggunakan tepung singkong (salah satunya di Pusat Teknologi Bati - Lampung) diharapkan dapat membuat industri farmasi dalam negeri tidak perlu lagi mengimpor obat dari luar negeri.

Jika didukung dengan beberapa aspek seperti sumber daya manusia yang baik, kebijakan medis dan metode produksi, maka akan dimungkinkan untuk mengurangi terulangnya penundaan dan mengurangi lamanya proses medis dengan mengurangi kegiatan Penelitian dan Pengembangan BBO. Kegiatan akan fokus pada upaya mendorong dan mengakui keistimewaan industri farmasi dalam produksi bahan baku farmasi.

Sumber: www.kompas.com