Mengelola Risiko dalam Proyek Konstruksi Kecil: Menembus Batas Teori ke Praktik Lapangan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

03 Juni 2025, 09.36

pixabay.com

Industri konstruksi sering kali dikaitkan dengan proyek-proyek raksasa bernilai miliaran dolar, namun fakta menarik terungkap dalam penelitian Kajsa Simu sebagian besar proyek konstruksi di Swedia justru termasuk dalam kategori proyek kecil. Data dari 2003 menunjukkan bahwa 83% dari semua proyek konstruksi di Swedia bernilai di bawah 15 juta SEK (sekitar €1,65 juta). Ini bukan hanya angka statistik setiap kegagalan kecil dalam proyek-proyek kecil ini, jika dikumulasi, dapat menghasilkan kerugian besar secara nasional.

Namun ironisnya, sebagian besar sistem manajemen risiko yang diterapkan di industri dirancang untuk proyek-proyek besar. Paper ini hadir untuk menjawab ketimpangan tersebut dan membuka tabir bagaimana risiko sebenarnya dikelola (atau tidak dikelola) di proyek-proyek kecil.

Tujuan dan Metodologi Penelitian

Studi ini bertujuan mengeksplorasi:

  • Alat dan metode manajemen risiko dalam proyek konstruksi kecil.
  • Bagaimana metode tersebut diaplikasikan di lapangan.
  • Perbandingan antara kerangka teoretis manajemen risiko dengan praktik aktual di perusahaan konstruksi.
  • Hambatan dan pendorong penerapan manajemen risiko.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Simu melakukan studi kualitatif mendalam melalui 28 wawancara yang mencakup 10 proyek dari 7 perusahaan konstruksi di berbagai wilayah Swedia. Wawancara melibatkan tiga peran utama dalam proyek: site manager, project manager kontraktor, dan project manager klien. Pendekatan triangulasi juga dilakukan melalui studi dokumen dan literatur.

Temuan Utama: Kesenjangan Antara Teori dan Praktik

1. Minimnya Sistematisasi Manajemen Risiko

Meski sebagian besar perusahaan mengklaim menerapkan sistem manajemen risiko, kenyataannya di lapangan sistem tersebut jarang digunakan secara sistematis. Mayoritas proyek mengandalkan pengalaman pribadi dan intuisi daripada prosedur formal.

2. Rendahnya Pendidikan dan Pelatihan Terkait Risiko

Sebagian besar individu kunci di proyek mengaku tidak pernah menerima pelatihan formal terkait manajemen risiko. Hal ini menyebabkan pendekatan terhadap risiko cenderung reaktif ketimbang proaktif.

3. Dominasi Alat Sederhana: Checklist

Dari seluruh alat manajemen risiko yang tersedia, checklist menjadi yang paling umum digunakan. Namun, checklist ini digunakan lebih sebagai formalitas administratif ketimbang sebagai alat strategis untuk identifikasi dan mitigasi risiko.

4. Sistem Manajemen = Hambatan, Bukan Solusi

Ironisnya, sistem manajemen proyek (misalnya ISO 9000 atau sistem mutu internal perusahaan) justru dipandang sebagai beban birokrasi daripada alat bantu. Banyak responden menyatakan frustrasi terhadap prosedur yang dianggap "berlebihan" dan tidak sesuai dengan konteks proyek kecil.

5. Tingginya Ketergantungan pada Individu

Karena lemahnya sistem dan minimnya pelatihan, keberhasilan manajemen risiko sangat bergantung pada kemampuan personal site manager. Keputusan dan penilaian individu lebih berpengaruh daripada sistem formal.

Analisis Studi Kasus: 10 Proyek dengan Karakteristik Serupa

Proyek-proyek yang diteliti bervariasi dari pekerjaan tanah, perbaikan jaringan pemanas, hingga renovasi bangunan perkantoran. Namun semuanya memiliki nilai kontrak antara 1–15 MSEK dan jangka waktu pelaksanaan di bawah 12 bulan.

Beberapa contoh menonjol:

  • Proyek 1: Renovasi apartemen dengan nilai 12 MSEK. Meski site manager sudah memiliki pengalaman mengerjakan proyek serupa sebelumnya, tidak ada prosedur manajemen risiko formal yang diterapkan. Checklist digunakan hanya pada awal proyek dan tidak diperbarui selama eksekusi.
  • Proyek 6: Pekerjaan tanah untuk pembangunan perumahan. Meski risiko teknis cukup tinggi karena pekerjaan di area lembab, tidak dilakukan risk assessment mendalam. Sebagian besar keputusan diambil secara ad-hoc oleh site manager.
  • Proyek 9 & 10: Perbaikan jalan dan kanal. Risiko kerja di sekitar air dan lalu lintas tinggi tidak dimitigasi melalui rencana tertulis. Keamanan bergantung pada kebiasaan kerja dan insting.

Statistik Menarik dari Studi:

  • Hanya 2 dari 10 proyek yang menggunakan dokumen formal analisis risiko.
  • 100% site manager mengandalkan pengalaman pribadi sebagai alat utama mengelola risiko.
  • 70% responden menyatakan sistem manajemen mutu perusahaan “tidak membantu” di proyek kecil.
  • Lebih dari 50% menyebutkan kurangnya waktu sebagai alasan utama tidak mengikuti prosedur formal.

Kritik Terhadap Sistem yang Berlaku

Studi ini menyoroti ironi besar: sistem manajemen risiko yang dirancang untuk proyek besar justru diterapkan pula pada proyek kecil tanpa adaptasi. Hasilnya adalah sistem yang terasa kaku, tidak efisien, dan tidak memberikan nilai tambah nyata.

Sistem yang terlalu birokratis hanya cocok untuk proyek besar dengan struktur organisasi luas. Pada proyek kecil, di mana satu orang sering menangani dua proyek sekaligus, sistem yang sama menjadi beban administratif.

Peluang Perbaikan dan Rekomendasi

  1. Pengembangan Sistem Fleksibel untuk Proyek Kecil

Sistem manajemen risiko harus disesuaikan untuk proyek-proyek bernilai <15 MSEK. Misalnya, pendekatan berbasis matriks risiko sederhana dan aplikasi mobile bisa menggantikan dokumen checklist panjang.

  1. Fokus pada Pelatihan Praktis

Alih-alih pelatihan teoritis panjang, dibutuhkan pelatihan singkat dan aplikatif yang relevan langsung ke jenis proyek yang dikerjakan, misalnya pelatihan “1 jam” sebelum proyek dimulai.

  1. Integrasi dengan Budaya Organisasi

Manajemen risiko harus menjadi bagian dari budaya kerja sehari-hari. Mengembangkan “kebiasaan bertanya” (contoh: “Apa yang bisa salah hari ini?”) lebih efektif daripada mengisi dokumen panjang.

  1. Pemanfaatan Teknologi Sederhana

Aplikasi digital ringan berbasis cloud (seperti Trello, Notion, atau bahkan WhatsApp grup proyek) bisa digunakan untuk mencatat, memperbarui, dan berbagi risiko secara real time tanpa hambatan administratif.

Perbandingan dengan Studi Sebelumnya

Kajsa Simu menyandingkan temuannya dengan studi dari Akintoye & MacLeod (1997), Flanagan & Norman (1993), dan Lyons & Skitmore (2004). Hasilnya konsisten: pada praktiknya, penggunaan sistem risiko di proyek konstruksi sering terbatas pada identifikasi awal dan jarang dilanjutkan ke tahap mitigasi dan pemantauan. Risiko diidentifikasi melalui brainstorming dan pengalaman individu, bukan analisis formal.

Namun, pendekatan yang lebih sistematis di proyek besar ternyata juga tidak selalu berhasil. Kajsa menyimpulkan bahwa terlepas dari ukuran proyek, faktor manusia (risk attitude dan risk culture) tetap menjadi kunci sukses manajemen risiko.

Kesimpulan: Membuka Mata Industri

Paper ini memberikan pencerahan penting: bahwa pendekatan manajemen risiko perlu dirombak secara radikal untuk proyek-proyek kecil. Fokus harus berpindah dari dokumen ke dialog, dari sistem ke individu, dari formalitas ke fungsionalitas.

Studi ini menyarankan arah baru riset dan kebijakan: fokus pada sikap individu terhadap risiko, pengembangan budaya risiko yang sehat, dan penerapan sistem ringan yang intuitif dan kontekstual.

Dengan demikian, jika ingin meningkatkan efisiensi sektor konstruksi secara keseluruhan, kita tidak bisa terus mengabaikan proyek-proyek kecil yang justru merupakan tulang punggung industri.

Sumber asli artikel:
Simu, Kajsa. Risk Management in Small Construction Projects. Licentiate Thesis. Luleå University of Technology, Department of Civil and Environmental Engineering, Division of Architecture and Infrastructure, 2006.