Mengapa UU Keselamatan Kerja 1970 Tak Lagi Relevan? Analisis Kritis dan Jalan ke Depan untuk Regulasi K3 di Era Industri 4.0

Dipublikasikan oleh Raihan

19 September 2025, 15.51

brabners.com

Ringkasan Analitis: Narasi Logis Perjalanan Temuan

Riset ini memulai perjalanan evaluasinya dengan menempatkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 (UU No. 1/1970) sebagai landasan hukum utama bagi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Indonesia. Meskipun undang-undang ini telah berfungsi sebagai fondasi selama lebih dari lima dekade, penelitian ini berargumen bahwa kerangka hukum yang dirancang untuk konteks industri tahun 1960-an dan 1970-an kini dianggap tidak memadai untuk mengatasi risiko yang muncul di era modern, terutama dari Revolusi Industri 4.0 yang ditandai dengan otomatisasi dan tren kerja virtual. Permasalahan ini diperkuat oleh laporan BPJS Ketenagakerjaan tahun 2020 yang mencatat lebih dari 200.000 kecelakaan kerja di seluruh Indonesia, khususnya di sektor konstruksi dan manufaktur, yang secara deskriptif menunjukkan adanya kegagalan sistematis dalam implementasi undang-undang yang ada.

Untuk mendiagnosis kesenjangan antara ketentuan hukum dan realitas di lapangan, penelitian ini mengadopsi pendekatan kualitatif dan analisis kebijakan. Melalui studi dokumen, wawancara mendalam, dan diskusi kelompok terfokus (FGDs) dengan berbagai pemangku kepentingan seperti pengusaha, pekerja, dan inspektur K3, para peneliti berhasil mengidentifikasi alur logis dari permasalahan utama.

Pertama, analisis normatif terhadap substansi hukum menunjukkan adanya celah regulasi yang signifikan. UU No. 1/1970 tidak memiliki ketentuan spesifik untuk melindungi pekerja jarak jauh atau pekerja di lingkungan virtual, yang kian lazim di era digital.1 Lebih lanjut, riset ini menyoroti tumpang tindih regulasi yang membingungkan antara Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 5/2018 dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 48/2016. Ketidakselarasan ini menciptakan kebingungan di lapangan, terutama bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang kerap kekurangan kapasitas untuk menavigasi kerangka hukum yang rumit.

Kedua, temuan empiris menegaskan bahwa implementasi undang-undang ini jauh dari optimal. Sistem pengawasan di lapangan terbukti sangat lemah karena keterbatasan jumlah dan kualitas inspektur K3. Isu ini diperparah oleh desentralisasi inspeksi ke tingkat provinsi yang seringkali kekurangan sumber daya manusia, anggaran, dan fasilitas yang memadai. Akibatnya, banyak perusahaan—terutama di sektor berisiko tinggi seperti pertambangan dan konstruksi—beroperasi dengan pengawasan yang minimal.

Ketiga, penelitian ini secara eksplisit mengidentifikasi ketidakmampuan sanksi untuk memberikan efek jera. Data kuantitatif menyoroti bahwa denda maksimum yang tercantum dalam Pasal 15 UU No. 1/1970 hanya sebesar IDR 100.000, sebuah angka yang dianggap tidak relevan dan ketinggalan zaman di tengah konteks ekonomi saat ini.1 Dengan denda yang begitu sepele, perusahaan tidak memiliki disinsentif yang kuat untuk mematuhi standar keselamatan, dan banyak di antaranya memilih untuk menyelesaikan kecelakaan kerja secara internal tanpa pelaporan resmi. Kondisi ini mencerminkan sebuah rantai kausal: substansi hukum yang usang menjadi tidak efektif di lapangan karena dua "mata rantai lemah" utama, yaitu sanksi yang tidak kredibel dan sistem pengawasan yang gagal untuk menegakkan ketentuan hukum secara konsisten.

Hal ini memunculkan sebuah paradoks kepatuhan. Penelitian menemukan bahwa perusahaan besar yang terikat oleh standar internasional, seperti ISO 45001, cenderung memiliki tingkat kepatuhan yang lebih tinggi. Kepatuhan ini tidak didorong oleh ketentuan UU No. 1/1970 semata, melainkan oleh ancaman sanksi administratif yang lebih berat terkait dengan sertifikasi global, seperti risiko kehilangan reputasi atau penarikan sertifikasi. Hal ini menyiratkan bahwa masalah utama bukanlah desain regulasi itu sendiri, melainkan kegagalan sistem penegakannya untuk menciptakan insentif yang cukup kuat untuk mendorong kepatuhan sukarela dari sektor swasta.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Riset ini memberikan beberapa kontribusi penting yang melampaui evaluasi kebijakan konvensional dan menjadi landasan kokoh bagi studi K3 di masa depan.

Pertama, penelitian ini secara eksplisit mengkaji dan memetakan tantangan K3 yang muncul dari era digital dan Industri 4.0, termasuk kerja virtual dan otomatisasi, yang sering terabaikan dalam literatur hukum ketenagakerjaan tradisional di Indonesia. Dengan mengidentifikasi celah regulasi yang tidak mencakup risiko-risiko baru ini, riset ini mengisi kekosongan penting dan menunjukkan bahwa kerangka hukum harus diperbarui untuk mengakomodasi dinamika ketenagakerjaan yang terus berubah.

Kedua, paper ini menawarkan analisis holistik tentang kegagalan sistemik dalam ekosistem penegakan hukum K3 di Indonesia. Alih-alih hanya mengkritik substansi undang-undang, penelitian ini memberikan diagnosis komprehensif yang menghubungkan berbagai aspek yang saling tumpang tindih: mulai dari regulasi yang tidak selaras antara Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Kesehatan, kelemahan sistem inspeksi yang terdesentralisasi, hingga sanksi yang tidak proporsional. Pendekatan ini menunjukkan bahwa reformasi kebijakan harus bersifat menyeluruh, tidak hanya terfokus pada revisi teks undang-undang.

Ketiga, temuan-temuan penelitian ini, didukung oleh perbandingan dengan praktik internasional (misalnya di Jerman dan Jepang), berfungsi sebagai cetak biru yang solid untuk reformasi kebijakan. Laporan ini tidak hanya mendeskripsikan masalah, tetapi juga menyediakan peta jalan yang jelas untuk perbaikan di masa depan, yang menjadikannya referensi yang berharga bagi pembuat kebijakan dan komunitas akademis yang berupaya merancang intervensi yang lebih efektif.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun riset ini menawarkan wawasan yang komprehensif, terdapat beberapa keterbatasan yang membuka jalan bagi penelitian lanjutan yang lebih mendalam.

Pertama, penelitian ini didominasi oleh pendekatan kualitatif dan analisis normatif. Meskipun berhasil mengidentifikasi kesenjangan dan tantangan secara deskriptif, paper ini tidak mengukur dampak ekonomi riil dari kecelakaan kerja yang tidak dilaporkan atau memodelkan hubungan kuantitatif antara tingkat sanksi dan tingkat kepatuhan. Hal ini menyisakan pertanyaan terbuka mengenai skala dan biaya ekonomi yang sesungguhnya dari kecelakaan kerja yang tidak tercatat, baik bagi perusahaan maupun perekonomian secara keseluruhan.

Kedua, meskipun data BPJS Ketenagakerjaan yang menunjukkan "lebih dari 200.000 kecelakaan" di tahun 2020 disorot , paper ini tidak menyediakan analisis statistik yang lebih dalam mengenai pola-pola kecelakaan tersebut. Tidak ada rincian mengenai faktor kausal, distribusi sektoral yang lebih spesifik, atau demografi pekerja yang paling rentan. Keterbatasan ini menghambat pemahaman yang lebih nuansial tentang siapa yang paling terdampak dan mengapa.

Terakhir, penelitian ini mengidentifikasi UMKM sebagai kelompok dengan tingkat kepatuhan terendah akibat "kendala biaya" dan "kurangnya kesadaran". Namun, penjelasan ini cenderung umum dan tidak menganalisis secara mendalam hambatan-hambatan non-finansial. Hal ini menyisakan pertanyaan tentang apakah ada faktor lain yang lebih dalam, seperti budaya kerja yang mengabaikan risiko, rendahnya literasi pendidikan, atau hambatan birokrasi yang dihadapi UMKM dalam mengimplementasikan K3. Pertanyaan ini krusial untuk merancang intervensi kebijakan yang lebih terfokus di masa depan.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

Berdasarkan temuan paper dan analisis keterbatasan yang ada, berikut adalah lima rekomendasi penelitian lanjutan yang dapat menjadi fokus bagi komunitas akademis, peneliti, dan penerima hibah riset.

  1. Analisis Model Ekonomi untuk Mengukur Dampak Sanksi K3 yang Proporsional.
    • Justifikasi Ilmiah: Paper ini secara deskriptif menyoroti inefektivitas denda maksimal IDR 100.000 yang tidak relevan. Perbandingan dengan perusahaan yang terikat standar ISO 45001 menunjukkan bahwa ancaman sanksi administratif yang lebih berat—seperti denda yang proporsional dengan pendapatan perusahaan—secara kuat memotivasi kepatuhan.1 Oleh karena itu, terdapat kebutuhan mendesak untuk merancang sistem sanksi yang memiliki efek jera yang nyata.
    • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian lanjutan harus menggunakan metode analisis regresi atau pemodelan ekonomi untuk memprediksi hubungan antara tingkat sanksi finansial (variabel independen) dan tingkat kepatuhan perusahaan (variabel dependen). Studi kasus komparatif dapat dilakukan antara perusahaan yang terikat ISO 45001 dan yang tidak, untuk memvalidasi model yang diusulkan dan mengidentifikasi ambang batas sanksi yang paling efektif dalam konteks Indonesia.
  2. Riset Aksi tentang Efektivitas Implementasi Teknologi Pengawasan K3 Berbasis Sensor.
    • Justifikasi Ilmiah: Paper ini merekomendasikan adopsi teknologi sensor untuk pengawasan waktu nyata, mengutip keberhasilan Jepang. Namun, belum ada studi empiris di Indonesia yang secara spesifik menguji efektivitas dan kelayakan implementasi teknologi ini. Pertanyaan terbesarnya adalah bagaimana teknologi tersebut dapat diterapkan secara efektif dan efisien dalam konteks industri padat karya di Indonesia, di mana biaya dan literasi teknis bisa menjadi hambatan utama.
    • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian ini harus berupa riset aksi (action research) di mana sistem pengawasan berbasis sensor diimplementasikan di lokasi kerja berisiko tinggi. Variabel yang akan diukur mencakup frekuensi insiden K3 (variabel dependen) sebelum dan sesudah implementasi, serta variabel independen seperti biaya implementasi, tingkat pelatihan pekerja, dan resistensi organisasi.
  3. Evaluasi Komparatif Dampak Desentralisasi terhadap Kapasitas Pengawasan Ketenagakerjaan.
    • Justifikasi Ilmiah: Temuan paper ini menunjukkan bahwa desentralisasi inspeksi ke tingkat provinsi telah melemahkan sistem pengawasan akibat keterbatasan sumber daya manusia dan logistik. Namun, paper ini tidak memberikan perbandingan rinci antar-provinsi. Diperlukan pemahaman yang lebih dalam tentang variasi dalam implementasi kebijakan di tingkat daerah.
    • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Diperlukan studi kasus komparatif antar-provinsi yang berbeda, misalnya membandingkan provinsi dengan sumber daya yang kuat (seperti DKI Jakarta) dengan provinsi yang terbatas (seperti di Indonesia Timur). Variabel yang akan dieksplorasi mencakup rasio inspektur per perusahaan, anggaran K3 provinsi, dan korelasi dengan tren angka kecelakaan yang dilaporkan.
  4. Integrasi Data dan Analisis Prediktif Kecelakaan Kerja Berdasarkan Data BPJS Ketenagakerjaan.
    • Justifikasi Ilmiah: Penelitian ini menyarankan integrasi data BPJS Ketenagakerjaan untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif mengenai kondisi K3.1 Paper ini juga menyoroti fakta bahwa banyak kecelakaan tidak dilaporkan secara resmi. Data klaim kecelakaan BPJS dapat menjadi sumber data yang lebih akurat dan objektif daripada laporan perusahaan.
    • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian lanjutan harus berfokus pada pemodelan data dan analisis prediktif. Dengan mengintegrasikan data klaim kecelakaan BPJS dengan data demografi perusahaan dan data inspeksi (jika tersedia), dapat dibuat model algoritma untuk mengidentifikasi perusahaan atau sektor yang memiliki probabilitas tinggi untuk mengalami kecelakaan. Hal ini memungkinkan pemerintah untuk beralih dari pengawasan reaktif menjadi pengawasan proaktif dan berbasis risiko.
  5. Kajian Kualitatif Mendalam tentang Hambatan Kultural dan Perilaku di Kalangan UMKM.
    • Justifikasi Ilmiah: Paper ini mengidentifikasi "kendala biaya" dan "kurangnya kesadaran" sebagai hambatan utama kepatuhan K3 di UMKM.1 Namun, penjelasan ini cenderung umum. Terdapat asumsi bahwa masalahnya hanya finansial, padahal mungkin ada faktor lain yang lebih dalam, seperti budaya kerja yang mengabaikan risiko, literasi pendidikan yang rendah, atau persepsi bahwa K3 adalah beban birokrasi semata.
    • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian ini harus menggunakan metodologi kualitatif murni (wawancara mendalam dan etnografi) untuk benar-benar memahami perspektif pekerja dan pemilik UMKM. Variabel yang akan dieksplorasi adalah faktor non-finansial seperti motivasi internal, persepsi risiko, peran pemimpin dalam budaya K3, dan efektivitas komunikasi program pemerintah.

Kesimpulan dan Ajakan Kolaboratif

Secara keseluruhan, penelitian ini telah berhasil mendiagnosis kesenjangan sistemik dalam implementasi Undang-Undang No. 1 Tahun 1970. Temuannya menunjukkan bahwa masalah bukan hanya pada regulasi yang usang, tetapi juga pada ekosistem penegakan hukum yang gagal memberikan efek jera, didukung oleh pengawasan yang lemah dan sanksi yang tidak efektif. Untuk mengatasi tantangan ini secara komprehensif, diperlukan penelitian lanjutan yang holistik, multidisiplin, dan kolaboratif.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi utama yang berperan dalam ekosistem K3 Indonesia, termasuk Center for Policy Development, Ministry of Manpower sebagai perumus kebijakan; Sarbumusi Confederation sebagai perwakilan pekerja; dan lembaga pendidikan seperti University of Brawijaya dan universitas-universitas lain yang disebutkan dalam referensi sebagai mitra akademis. Kolaborasi ini sangat penting untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, serta untuk menjembatani kesenjangan antara teori dan praktik.

Baca Selengkapnya disini https://doi.org/10.47198/jnaker.v19i3.417