Sebelum kita menyelami solusinya, kita harus memahami mengapa masalah ini begitu mendesak. Paper penelitian ini melukiskan gambaran yang suram tentang status quo. Seiring dengan pertumbuhan populasi global dan urbanisasi yang pesat, volume kendaraan di jalan raya telah meledak.1
Masalahnya, infrastruktur kita—terutama sistem kontrol lalu lintas—gagal mengimbangi. Sistem tradisional, yang mengandalkan "sinyal waktu tetap" (fixed-time signals), pada dasarnya adalah teknologi usang.1 Sistem ini tidak mampu beradaptasi dengan kondisi lalu lintas yang dinamis dan kompleks.
Bayangkan sebuah persimpangan sibuk pada pukul 6 sore. Jalan utama macet total, sementara jalan kecil di persimpangan itu kosong. Namun, sistem timer tetap akan tetap memberi lampu hijau 30 detik ke jalan yang kosong, memaksa ratusan mobil di jalan utama menunggu tanpa alasan. Inilah inefisiensi yang terjadi miliaran kali setiap hari di seluruh dunia.
Dampaknya, seperti yang digarisbawahi oleh para peneliti, sangat besar dan bersifat multidimensi 1:
- Dampak Ekonomi: Kemacetan berarti pemborosan bahan bakar, keterlambatan pengiriman barang, dan hilangnya jam kerja produktif yang tak ternilai harganya.
 - Dampak Lingkungan: Kendaraan yang terjebak dalam kondisi idle (diam tapi menyala) mengeluarkan emisi gas rumah kaca yang tidak perlu, berkontribusi langsung pada polusi udara dan perubahan iklim.
 - Dampak Sosial: Waktu tunggu yang lama meningkatkan stres, frustrasi di kalangan komuter, mengurangi kualitas hidup, dan—yang paling kritis—dapat menghambat pergerakan layanan darurat seperti ambulans, yang dapat berakibat fatal.1
 
Sistem yang ada saat ini terbukti "tidak memadai" (inadequate) dalam menghadapi tantangan modern.1 Kita tidak bisa terus membangun lebih banyak jalan; kita perlu membuat jalan yang ada menjadi lebih pintar.
Membangun 'Otak' Digital untuk Persimpangan Jalan
Di sinilah letak inti dari terobosan Rohilla dan Kumar. Mereka tidak hanya mengusulkan pembaruan perangkat lunak; mereka mengusulkan penggantian total "otak" sistem dengan arsitektur machine learning (ML) yang canggih.1
Ini bukan sekadar satu program "AI" yang monolitik. Cara terbaik untuk memahaminya adalah sebagai sistem "dua-otak" yang kooperatif, yang masing-masing memiliki peran berbeda namun saling melengkapi, seperti yang dijelaskan dalam metodologi penelitian.
Otak 1: Si Peramal (Neural Networks)
Bagian pertama dari sistem ini adalah Neural Network (Jaringan Saraf). Pikirkan ini sebagai "mata di langit" atau "peramal" sistem. Tugasnya adalah menganalisis data lalu lintas historis dan real-time untuk satu tujuan: "mengantisipasi volume lalu lintas" di masa depan.1
Dengan mempelajari pola selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan, ia "belajar" bahwa "setiap Jumat pukul 5 sore, persimpangan ini akan padat dari arah utara," atau "setelah hujan, kecepatan rata-rata turun 20%." Ia tidak mengambil keputusan, tetapi ia memberikan prediksi krusial kepada otak kedua.
Otak 2: Si Ahli Strategi (Reinforcement Learning)
Bagian kedua, dan mungkin yang paling penting, adalah agen Reinforcement Learning (RL), atau "Pembelajaran Penguatan".1 Jika Neural Network adalah si peramal, RL adalah "si ahli strategi" atau "pengambil keputusan" di lapangan.1
Agen RL ini menerima dua masukan: prediksi volume lalu lintas dari Neural Network dan data kondisi real-time dari sensor jalan. Tugasnya adalah secara aktif memutuskan: "Kapan waktu terbaik untuk mengubah lampu?"
Ia "belajar" melalui proses trial and error yang ketat, di mana ia diberi "penghargaan" (reward) karena mengurangi waktu tunggu dan "hukuman" (punishment) karena menyebabkan kemacetan. Seiring waktu, ia menemukan strategi optimal untuk meminimalkan kemacetan dalam skenario apa pun—sesuatu yang mustahil dilakukan oleh timer tetap.
Untuk membangun sistem canggih ini, para peneliti memanfaatkan toolkit modern yang dapat diakses: bahasa pemrograman Python, beserta pustaka (libraries) open-source yang kuat seperti TensorFlow, Keras, dan Scikit-learn.1 Ini adalah poin penting: solusi ini tidak memerlukan perangkat lunak eksklusif yang mahal, sehingga lebih mudah untuk diskalakan dan diterapkan secara global.
Di Dalam Laboratorium: Cara Peneliti 'Mengajari' AI Mengatur Jala
Tentu saja, Anda tidak bisa begitu saja melepaskan AI yang baru lahir ke persimpangan jalan yang sibuk. Para peneliti harus "melatih" sistem ini secara ekstensif dalam lingkungan yang terkendali. Proses ini terdiri dari dua langkah utama.1
Langkah 1: Memberi Makan Sang Mesin (Pengumpulan Data)
Kecerdasan buatan hanya secerdas data yang dikonsumsinya. Untuk itu, para peneliti mengusulkan pengumpulan data dari beragam sumber untuk menciptakan gambaran lalu lintas yang paling lengkap 1:
- Kamera Lalu Lintas: Bertindak sebagai "mata" visual, memantau kepadatan dan jumlah kendaraan secara terus-menerus.
 - Detektor Loop Induktif: Ini adalah sensor yang ditanam di bawah aspal, yang secara akurat menghitung setiap kendaraan yang lewat dan mengukur kecepatannya.
 - Data Historis: Catatan lalu lintas dari sistem manajemen kota selama bertahun-tahun, yang digunakan untuk melatih "Si Peramal" (Neural Network) dalam mengenali pola jangka panjang.
 - Data Crowdsourced: Informasi real-time dari aplikasi navigasi seperti Google Maps dan Waze, yang memberikan gambaran instan tentang kemacetan atau kecelakaan yang baru saja terjadi.
 
Kombinasi data historis dan real-time inilah yang memberikan sistem ini kekuatan supernya: kemampuan untuk mengantisipasi dan bereaksi.
Langkah 2: 'Kota Digital' Bernama SUM
Setelah data terkumpul, pelatihan dimulai. Di sinilah letak kejeniusan metodologi mereka. Para peneliti menggunakan perangkat lunak bernama SUMO (Simulation of Urban Mobility) untuk menciptakan "kota digital"—replika virtual dari area perkotaan yang nyata.1
Di dalam sandbox digital yang aman ini, agen Reinforcement Learning (RL) "dilepaskan" untuk mengelola lalu lintas. Awalnya, ia gagal total, menyebabkan kemacetan virtual yang parah. Tetapi setiap kali ia membuat keputusan yang baik (misalnya, memperpanjang lampu hijau 5 detik dan berhasil mengurai antrean), ia mendapat "penghargaan" digital. Setiap kali ia membuat keputusan buruk (misalnya, memotong jalur padat dan menyebabkan kebuntuan), ia mendapat "hukuman".1
Setelah mensimulasikan ribuan jam sibuk, skenario kecelakaan, dan hari-hari normal, agen RL tersebut "belajar" strategi optimal untuk menjaga lalu lintas tetap mengalir. Ia menjadi ahli strategi ulung, siap untuk diuji coba melawan data dunia nyata.
Momen Pembuktian: AI Melawan Timer Tradisional (Dan Menang Telak)
Inilah inti dari penelitian ini: adu performa. Para peneliti mengadu sistem ML mereka yang baru dilatih dengan sistem kontrol tradisional (timer tetap) dalam tiga skenario simulasi yang ketat, menggunakan data lalu lintas dunia nyata.1 Hasilnya, yang dirangkum dalam data kinerja sistem, sangatlah jelas dan meyakinkan.1
Skenario 1: Lalu Lintas Normal
Dalam kondisi lalu lintas sehari-hari, sistem tradisional memaksa pengemudi menunggu rata-rata 45 detik di persimpangan. Sistem ML, dengan kemampuannya beradaptasi, memangkas waktu tersebut menjadi hanya 30 detik.1
Ini bukan sekadar penghematan 15 detik. Ini adalah lompatan efisiensi sebesar 33,3%. Ini seperti memangkas sepertiga dari total waktu henti Anda di setiap lampu merah. Jika perjalanan harian Anda biasanya memakan waktu 30 menit, bayangkan penghematan kumulatifnya.
Namun, data yang lebih mengesankan adalah throughput—jumlah kendaraan yang berhasil melewati persimpangan per jam. Sistem lama hanya mampu memproses 1.000 kendaraan per jam. Sistem ML berhasil "memompa" 1.300 kendaraan per jam.1 Ini adalah peningkatan kapasitas sebesar 30%. Secara metaforis, ini setara dengan menambahkan satu lajur jalan virtual di persimpangan, tanpa perlu mengeluarkan biaya miliaran untuk pengecoran aspal.
Skenario 2: Jam Sibuk (Ujian Sebenarnya)
Di sinilah sistem tradisional mulai runtuh. Selama jam sibuk puncak, ketika volume kendaraan membeludak, timer tetap tidak bisa berbuat apa-apa. Waktu tunggu rata-rata melonjak menjadi 70 detik yang menyakitkan. Sistem ML, yang melihat lonjakan ini datang, bekerja keras menyesuaikan timing secara dinamis dan berhasil menahan waktu tunggu di angka 50 detik—sebuah peningkatan efisiensi sebesar 28,6%.1
Tetapi cerita sebenarnya ada pada throughput. Di bawah tekanan, sistem tradisional "tersedak"—kapasitasnya turun dari 1.000 (normal) menjadi hanya 900 kendaraan per jam. Sebaliknya, sistem ML justru bersinar di bawah tekanan. Ia secara aktif mengelola antrean dan berhasil mendorong 1.200 kendaraan per jam.1
Ini adalah temuan kunci: sistem "bodoh" menjadi kurang efisien saat paling dibutuhkan, sementara sistem "pintar" menjadi lebih efisien, mencatatkan peningkatan throughput sebesar 33,3% tepat di tengah kekacauan.
Skenario 3: Skenario Insiden (Momen Pahlawan AI)
Ini adalah skenario yang paling dramatis dan paling penting. Sebuah insiden—seperti kecelakaan atau mobil mogok—terjadi di dekat persimpangan, memblokir sebagian jalan.
Sistem tradisional benar-benar lumpuh. Ia tidak tahu ada kecelakaan. Ia terus menjalankan timer bodohnya, menyebabkan antrean menumpuk dengan cepat. Waktu tunggu rata-rata meroket menjadi 90 detik (satu setengah menit). Kapasitasnya anjlok menjadi hanya 800 kendaraan per jam.1 Ini adalah resep untuk kelumpuhan total (gridlock).
Sekarang, saksikan AI beraksi. Sistem ML, melalui sensornya, segera mendeteksi anomali: antrean tidak bergerak, kepadatan melonjak di satu titik. "Si Ahli Strategi" (RL) langsung mengambil alih. Ia menulis ulang aturan saat itu juga, secara dinamis mengubah prioritas sinyal untuk mengalihkan lalu lintas dari lajur yang diblokir dan membersihkan rute darurat.
Hasilnya? Waktu tunggu rata-rata dipangkas menjadi 65 detik. Dan yang paling menakjubkan, throughput melonjak menjadi 1.100 kendaraan per jam.1 Dibandingkan dengan sistem tradisional yang hanya 800 vph, ini adalah peningkatan kapasitas sebesar 37,5%.
Ini adalah "momen pahlawan" dari AI. Peningkatan ini adalah perbedaan antara kelumpuhan jaringan jalan dan pemulihan yang cepat. Ini berarti ambulans dan truk pemadam kebakaran dapat mencapai lokasi insiden, karena AI secara aktif bekerja membersihkan rute bagi mereka, sementara sistem lama justru memperburuk masalah.
Kritik Realistis: Apakah Ini Siap Diterapkan di Jakarta Besok?
Meskipun hasil simulasi ini sangat menjanjikan dan menunjukkan "kekuatan transformatif" 1, kita perlu bersikap realistis. Seperti halnya penelitian akademis, ada kesenjangan antara simulasi yang terkendali dan penerapan di dunia nyata yang kacau.
Para peneliti sendiri secara jujur mengidentifikasi area untuk "pekerjaan di masa depan," yang menyoroti keterbatasan studi saat ini 1:
- Tantangan Skalabilitas: Para penulis menyatakan bahwa pekerjaan di masa depan akan fokus pada "memperluas sistem ke jaringan yang lebih besar".1 Ini secara implisit menunjukkan bahwa penelitian saat ini kemungkinan besar berfokus pada satu atau beberapa persimpangan terisolasi. Mengelola satu persimpangan itu relatif mudah. Namun, mengelola seluruh jaringan kota (seperti Jakarta atau Surabaya) adalah masalah yang jauh lebih kompleks. Keputusan AI di persimpangan A dapat secara tidak sengaja menyebabkan "efek riak" kemacetan di persimpangan Z, lima kilometer jauhnya. Sistem ini belum terbukti mampu menangani kompleksitas jaringan skala kota.
 - Tantangan Kelengkapan Data: Studi ini menyebutkan perlunya "menggabungkan parameter lalu lintas tambahan".1 Ini adalah pengakuan bahwa model saat ini mungkin masih memiliki "titik buta" terhadap banyak variabel dunia nyata. Sistem ini dilatih untuk melihat kendaraan, tetapi bagaimana dengan pejalan kaki, jalur sepeda, atau kondisi cuaca? Hujan lebat yang tiba-tiba memperlambat semua orang, atau konser besar yang melepaskan 50.000 orang sekaligus, adalah variabel yang harus diperhitungkan oleh sistem yang benar-benar cerdas.
 - Tantangan Akurasi: Meskipun kinerja model prediksinya (Neural Network) kuat, dengan $R^{2}$ 0.89 pada data pengujian 1, selalu ada ruang untuk perbaikan. Para penulis mencatat perlunya "meningkatkan akurasi model".1 Dalam manajemen lalu lintas, kesalahan 11%—atau bahkan 5%—bisa berakibat fatal. Prediksi yang salah dapat menyebabkan kecelakaan. Akurasi yang mendekati sempurna adalah suatu keharusan sebelum sistem ini dapat sepenuhnya menggantikan pengawasan manusia.
 
Dampak Nyata: Masa Depan Tanpa Kemacetan?
Meskipun ada keterbatasan, penelitian oleh Rohilla dan Kumar ini memberikan sebuah visi yang kuat dan berbasis data tentang masa depan mobilitas perkotaan. Ini bukan lagi fiksi ilmiah. Teknologi intinya sudah ada, dibangun di atas perangkat lunak open-source yang dapat diakses.1
Kesimpulannya jelas: sistem adaptif berbasis machine learning secara fundamental lebih unggul daripada sistem timer tetap yang kaku. Peningkatan kinerja yang ditunjukkan—terutama peningkatan throughput 37,5% selama skenario insiden—sangatlah signifikan.1
Jika diterapkan dalam skala besar di wilayah perkotaan utama, temuan ini menunjukkan potensi untuk secara langsung mengurangi rata-rata waktu tunggu komuter di persimpangan sibuk hingga sepertiganya. Dalam lima tahun, adopsi teknologi ini dapat menghemat jutaan jam kerja produktif yang hilang, mengurangi emisi karbon secara signifikan dengan meminimalkan waktu idle kendaraan, dan yang terpenting, membuat kota-kota kita lebih aman dengan memprioritaskan layanan darurat secara cerdas.
Penelitian ini adalah langkah maju yang besar. Ini mengubah lampu lalu lintas dari penjaga gerbang yang "bodoh" menjadi manajer lalu lintas yang "cerdas" dan proaktif.
Sumber Artikel: