Mengapa Insinyur Masa Depan Tak Cukup Hanya Pintar Matematika? Sebuah Perdebatan Sengit di Balik Kurikulum Pendidikan Teknik

Dipublikasikan oleh Hansel

23 September 2025, 16.36

unsplash.com

Dari Mesin ke Manusia: Mengapa Profesi Insinyur Berubah Total

Insinyur. Kata itu seringkali membangkitkan citra seorang ahli yang tangguh dalam rumus, presisi, dan perhitungan yang rumit. Namun, apakah gambaran tersebut masih relevan di tengah gelombang perubahan ilmiah dan teknologi yang konstan hari ini? Sebuah penelitian mendalam yang diterbitkan dalam jurnal Frontiers in Education mengungkap sebuah perdebatan fundamental yang sedang berkecamuk di balik pintu kampus-kampus pendidikan tinggi: kurikulum teknik tradisional kini dianggap usang oleh sebagian pihak, sementara tuntutan dunia kerja terus berevolusi.1

Laporan ini bukanlah sekadar studi akademis, melainkan sebuah narasi yang mencoba menjawab pertanyaan krusial: Apakah insinyur yang lulus hari ini benar-benar siap menghadapi tantangan global yang kompleks? Makalah penelitian berjudul Engineering education challenges and strengths: reflecting on key-stakeholder's perspectives ini mengupas tuntas persepsi para pemangku kepentingan kunci dalam profesi insinyur, mulai dari asosiasi profesional hingga masyarakat pendidikan teknik. Hasilnya menunjukkan adanya sebuah krisis identitas profesi. Profesi insinyur, yang secara historis dilihat sebagai ahli teknis, kini dituntut untuk menjadi "pemecah masalah abad ke-21" yang tidak hanya menguasai kecerdikan teknis, tetapi juga dilengkapi dengan kemampuan adaptasi, kecerdasan emosional, komunikasi, dan etika yang kuat.1

Pergeseran ini melampaui sekadar penambahan mata kuliah baru. Ini adalah sebuah pergeseran dari insinyur sebagai "pelaksana" yang bekerja sesuai cetak biru menjadi "perancang sistem" yang harus memahami dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan dari setiap proyek yang mereka bangun. Kesenjangan ini menciptakan tekanan pada institusi pendidikan tinggi untuk mereformasi sistem mereka secara fundamental, bukan hanya menambal kurikulum lama dengan pengetahuan baru. Para pembuat kebijakan dan pengelola institusi pendidikan di seluruh dunia kini harus berhadapan dengan pertanyaan: bagaimana mendidik lulusan yang tidak hanya menguasai materi teknis, tetapi juga mampu mengartikulasikan kebutuhan masyarakat dan berkolaborasi dalam menyelesaikan masalah-masalah yang bahkan belum kita ketahui di masa depan?1

 

Suara dari Medan Perang Pendidikan: Perdebatan Sengit di Balik Pintu Kampus

Untuk memahami inti dari pergeseran ini, para peneliti melakukan wawancara semi-terstruktur dengan tujuh perwakilan utama dari institusi-institusi penting seperti Asosiasi Profesional Insinyur Portugal dan European Society for Engineering Education (SEFI).1 Dari percakapan mendalam ini, terungkap sebuah perdebatan paling sengit yang berpusat pada satu pilar fundamental pendidikan teknik: matematika.

Di satu sisi, ada pandangan yang sangat konservatif, diwakili oleh narasumber berinisial E. Beliau berpendapat bahwa "komponen teknis yang kuat" dan "fokus pada matematika, fisika, dan kimia" adalah "pilar fundamental" yang tidak boleh diganggu gugat. Menurutnya, inilah yang membedakan pendidikan teknik dan menjadi fondasi utama bagi kemajuan sebuah bangsa. Tanpa basis matematika yang kuat, seorang insinyur tidak akan mampu memahami dunia di sekeliling mereka dan menemukan solusi untuk masalah-masalah masyarakat. Ini adalah narasi yang menekankan bahwa kekuatan pendidikan teknik terletak pada keunggulan teknis yang tak tertandingi.1

Namun, narasi ini diimbangi oleh pandangan yang jauh lebih progresif dan bahkan radikal. Narasumber lain (interviewee B) menyarankan agar "peran matematika... perlu dipikirkan kembali dan ditempatkan dalam konteks di mana ia benar-benar esensial." Ini bukan berarti meniadakan matematika, tetapi menjadikannya sebagai alat yang relevan, bukan sekadar teori yang terisolasi. Lebih lanjut, pandangan ini didukung oleh narasumber C yang berani berargumen bahwa "setengah dari kurikulum harus jelas di bidang teknik, dan setengahnya lagi secara opsional, diindeks ke valensi lain yang mungkin dimiliki insinyur... seni, humaniora, mengapa tidak?".1

Debat tentang matematika ini bukan sekadar masalah teknis, tetapi merupakan pertempuran ideologis antara tradisi dan inovasi. Pandangan tradisionalis berpegang pada keyakinan bahwa ilmu keras adalah fondasi tak tergoyahkan. Di sisi lain, pandangan progresif melihat masa depan insinyur ada di persimpangan disiplin ilmu. Ini menunjukkan bahwa tantangan terbesar bukan pada materi itu sendiri, melainkan pada resistensi budaya dan institusional untuk berubah. Jika pendidikan teknik tidak dapat menyelesaikan debat internal ini, kurikulum akan terus terperangkap di tengah-tengah: tidak cukup teknis untuk memenuhi standar tradisional, dan tidak cukup holistik untuk memenuhi kebutuhan masa depan.

 

Menuju Insinyur Holistik: Ketika STEAM Menjadi Mata Uang Baru

Di tengah perdebatan yang intens itu, sebuah solusi yang terus muncul ke permukaan adalah pendekatan STEAM (Science, Technology, Engineering, Arts, and Mathematics).1 Pendekatan ini secara eksplisit mengintegrasikan seni dan humaniora ke dalam kurikulum teknik, dengan tujuan menciptakan lulusan yang memiliki pemahaman yang lebih dalam dan menyeluruh terhadap masalah-masalah dunia nyata. Beberapa narasumber percaya bahwa pendekatan ini dapat meningkatkan keterampilan komunikasi, pemecahan masalah, dan manajemen tim, yang sangat dibutuhkan di era ini.1

Pendekatan STEAM mendorong apa yang para peneliti sebut sebagai "pembelajaran terintegrasi dan integratif." Ini berbeda dengan metode pengajaran tradisional yang cenderung memisahkan setiap disiplin ilmu.1 Pergeseran ini seperti mengubah proses belajar dari sekadar menghafal resep (prosedural) menjadi benar-benar memahami ilmu memasak di baliknya (konseptual). Pendekatan ini mempromosikan keterlibatan sensorimotor yang menopang pengalaman belajar dan membantu siswa menerapkan strategi, pengetahuan, dan keterampilan untuk keadaan baru.1

Selain kurikulum, metode pengajaran juga harus berubah secara fundamental. Makalah ini menyoroti pergeseran dari "Mode 1," di mana penekanan hanya pada pembelajaran teoritis, menuju "Mode 3," di mana ada fokus lebih besar pada kemajuan sosial. Ini dicapai melalui strategi pembelajaran aktif seperti problem-based learning (PBL) dan collaborative-based learning (CBL), yang mendorong mahasiswa untuk tidak hanya menyerap informasi tetapi juga membangun pengetahuan secara kolaboratif.1

Sebuah anekdot dari narasumber A memberikan ilustrasi kuat akan pergeseran ini. Beliau bercerita tentang seorang mahasiswinya yang merasa yakin bahwa ia dipekerjakan bukan hanya karena nilai akademik, tetapi "lebih karena kegiatan ekstrakurikuler yang ia ikuti." Kisah ini menunjukkan bahwa pasar kerja sudah menghargai "pembelajaran seumur hidup" dan "keterampilan non-teknis" yang seringkali tidak didapat dari kurikulum formal. Oleh karena itu, tanggung jawab universitas kini meluas melampaui kelas dan laboratorium, menciptakan lingkungan di mana siswa dapat mengembangkan kompetensi yang dapat ditransfer ke berbagai konteks.1

 

Sebuah Cetak Biru untuk Masa Depan: Atribut Kunci Lulusan Global

Visi insinyur holistik bukanlah gagasan yang eksklusif atau baru, melainkan respons global terhadap perubahan lanskap industri dan sosial.1 Institusi-institusi internasional yang berwenang, seperti yang tergabung dalam International Engineering Alliance, telah menetapkan standar global untuk "Atribut Lulusan" yang berfungsi sebagai cetak biru untuk pendidikan teknik masa depan.1

Meskipun setiap negara memiliki pendekatan kurikulum yang berbeda, standar ini memastikan "kesetaraan substansial" di mana lulusan dari program yang terakreditasi memiliki seperangkat kompetensi yang diakui secara global.1 Ini adalah pengakuan formal bahwa pendidikan teknis yang berfokus pada hard skills saja tidak lagi setara secara internasional. Sebagai contoh, Canadian Engineering Accreditation Board (CEAB) telah mengidentifikasi 12 atribut penting yang harus dimiliki oleh setiap insinyur lulusan. Alih-alih menyajikannya dalam tabel, atribut ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

  • Basis pengetahuan teknik yang kuat: Pemahaman mendalam tentang matematika, sains, dan prinsip-prinsip teknik.
  • Analisis masalah yang mendalam: Kemampuan untuk mengidentifikasi, merumuskan, dan menganalisis masalah kompleks.
  • Kemampuan investigasi: Kemampuan untuk merancang dan melakukan eksperimen, serta menganalisis data secara kritis.
  • Penguasaan alat-alat teknik: Kemampuan untuk menggunakan teknik, sumber daya, dan alat-alat teknik modern yang relevan.
  • Keterampilan desain: Kemampuan untuk merancang solusi yang memenuhi kebutuhan spesifik.
  • Kerja tim dan individu: Kemampuan untuk bekerja secara efektif sebagai anggota tim atau individu.
  • Keterampilan komunikasi yang efektif: Kemampuan untuk menjelaskan ide-ide kompleks kepada audiens yang beragam, dari kolega hingga masyarakat umum.
  • Profesionalisme: Pemahaman tentang tanggung jawab profesional dan etika.
  • Pemahaman dampak sosial dan lingkungan: Pemahaman tentang implikasi sosial, ekonomi, dan lingkungan dari solusi teknik.
  • Etika dan kesetaraan: Pemahaman yang kuat tentang etika dan keadilan.
  • Pemahaman ekonomi: Kesadaran tentang faktor-faktor ekonomi dalam proyek teknik.
  • Pembelajaran seumur hidup: Kemampuan untuk terus belajar dan beradaptasi dengan perubahan.1

Adanya standar global yang terperinci ini menciptakan tekanan besar pada universitas untuk menyesuaikan diri agar lulusan mereka tetap kompetitif di pasar global. Ini menunjukkan bahwa perdebatan tentang kurikulum bukan hanya isu lokal, melainkan respons yang disinkronkan secara global untuk menciptakan insinyur sebagai warga dunia yang berkesadaran sosial.

 

Keterbatasan Studi dan Catatan Kaki: Kritik Realistis dan Jalan ke Depan

Meskipun memberikan wawasan berharga, studi ini memiliki beberapa keterbatasan penting yang perlu dicermati, sebuah praktik yang juga diakui oleh para peneliti itu sendiri.1 Pertama, studi ini didasarkan pada sampel yang terbatas, hanya mewawancarai tujuh perwakilan kunci. Meskipun para narasumber adalah tokoh senior yang mewakili institusi-institusi penting, pandangan mereka mungkin secara inheren tertanam dalam perspektif pribadi dan belum tentu mewakili seluruh populasi pemangku kepentingan.1

Kedua, konteks studi ini spesifik pada institusi-institusi di Portugal dan Eropa. Keterbatasan ini berarti temuan tidak dapat digeneralisasi secara langsung ke negara atau kawasan lain, di mana kondisi sosial, budaya, dan tuntutan pasar mungkin sangat berbeda. Misalnya, persepsi pemangku kepentingan di Asia atau Amerika bisa jadi sangat berbeda mengenai peran dan profil ideal seorang insinyur. Memahami keterbatasan ini sangat penting untuk memberikan analisis yang berimbang dan tepercaya.1

Sebagai jalan ke depan, para peneliti menyarankan untuk memperluas studi dengan mendengarkan pemangku kepentingan lain seperti mahasiswa, alumni, dan pemberi kerja untuk mendapatkan perspektif yang lebih komprehensif.1 Dengan mengajukan pertanyaan yang belum terjawab, seperti "Bagaimana sikap guru terhadap adopsi alat STEAM?" atau "Siapa yang dapat berkontribusi pada refleksi ini?", studi ini membuka pintu bagi dialog publik dan penelitian di masa depan, yang pada akhirnya akan memperkaya kurikulum pendidikan teknik.

 

Kesimpulan: Membangun Jembatan antara Masa Lalu dan Masa Depan

Hasil dari penelitian ini dengan jelas menunjukkan adanya sebuah ketegangan yang mendalam antara kurikulum teknik tradisional yang berakar pada ilmu keras dan tuntutan industri global yang menuntut insinyur yang lebih holistik. Perdebatan sengit mengenai peran matematika dan pentingnya integrasi seni dan humaniora (pendekatan STEAM) mencerminkan pergulatan institusi pendidikan untuk beradaptasi dengan realitas yang berubah.1

Di satu sisi, ada pengakuan universal akan perlunya fondasi yang kuat dalam sains, matematika, dan pengetahuan teknis yang menjadi ciri khas profesi insinyur.1 Namun, di sisi lain, ada konsensus yang berkembang bahwa itu saja tidak cukup untuk menyelesaikan masalah-masalah dunia nyata yang kompleks dan interdisipliner. Lulusan harus dilengkapi dengan kemampuan untuk bekerja dalam tim, menganalisis masalah dari berbagai sudut pandang, dan memahami dampak sosial dari pekerjaan mereka.1

Jika visi kurikulum yang holistik ini diterapkan secara luas, bukan sekadar di segelintir universitas, pendidikan teknik dapat menjadi mesin penggerak sejati untuk inovasi sosial dan ekonomi. Lulusannya tidak hanya akan mampu merancang sistem yang lebih efisien, tetapi juga menciptakan solusi yang lebih berkelanjutan, etis, dan inklusif bagi tantangan terbesar peradaban manusia. Dalam lima tahun ke depan, pendekatan ini bisa jadi akan menghasilkan generasi insinyur yang tidak hanya membangun jembatan fisik, tetapi juga membangun jembatan pemahaman antara teknologi dan kemanusiaan.

 

Sumber Artikel:

https://doi.org/10.3389/feduc.2024.1297267