Mengapa Gedung Runtuh? Sebuah Studi Mengungkap Tiga Dosa Pokok dalam Manajemen Proyek

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic

14 Oktober 2025, 14.36

Mengapa Gedung Runtuh? Sebuah Studi Mengungkap Tiga Dosa Pokok dalam Manajemen Proyek

Beberapa minggu lalu, saya tersandung sebuah paper penelitian. Jujur saja, biasanya saya akan melewatkannya. Judulnya terdengar kering: "Factors Influencing Professional Project Management Ethical Practices in Building Construction". Terdengar seperti bacaan pengantar tidur. Tapi karena rasa penasaran, saya membukanya. Dan saya tidak bisa berhenti membaca.  

Paper ini bukan sekadar kumpulan data. Ia terasa seperti sebuah penemuan arkeologis—sebuah dokumen yang membongkar artefak tersembunyi dari kegagalan-kegagalan besar. Ia menjawab pertanyaan yang menghantui kita setiap kali mendengar berita tentang gedung runtuh atau jembatan ambruk: Mengapa? Mengapa struktur yang seharusnya menjadi monumen kecerdasan manusia bisa gagal secara tragis?

Untuk memahami inti masalahnya, mari kita lupakan sejenak tentang konstruksi. Bayangkan sebuah proyek yang lebih akrab: merencanakan liburan besar bersama sekelompok teman atau keluarga. Anda punya rencana yang sempurna. Anggaran sudah dibuat, jadwal penerbangan sudah dicatat, daftar aktivitas sudah disiapkan. Di atas kertas, semuanya sempurna. Inilah "peraturan dan standar" Anda.

Lalu, realitas mulai merayap masuk. Satu orang ingin pilihan termurah, mengabaikan kualitas. Orang lain, yang punya uang lebih, mendorong untuk hotel mewah yang di luar anggaran. Ada tekanan untuk menyelesaikan pemesanan sebelum harga naik. Tiba-tiba, rencana sempurna Anda terkoyak oleh dinamika manusia yang tak terlihat: tekanan teman sebaya, konflik kepentingan, dan tenggat waktu yang mencekik. Proyek liburan Anda, yang dimulai dengan optimisme, kini berada di ambang kekacauan.

Studi yang saya baca ini, yang berfokus pada industri konstruksi di Lagos, Nigeria, pada dasarnya menceritakan kisah yang sama, tetapi dengan taruhan yang jauh lebih tinggi—nyawa manusia. Para peneliti tidak hanya bertanya "aturan apa yang dilanggar?". Mereka bertanya, "Kekuatan tak terlihat apa yang memaksa orang untuk melanggar aturan tersebut?".  

Apa yang mereka temukan adalah sebuah pola yang universal. Sebuah pola yang berlaku di Lagos, Jakarta, New York, atau di mana pun proyek kompleks dijalankan. Mereka mengidentifikasi tiga "lingkaran setan" yang saling mengunci, yang secara sistematis meruntuhkan niat baik dan standar profesional. Perjalanan ini akan membawa kita masuk ke dalam psikologi kegagalan proyek, dan yang lebih penting, memberi kita peta untuk menghindarinya.

Tiga Lingkaran Setan yang Menjerat Proyek Konstruksi

Paper ini dengan cermat membedah faktor-faktor kegagalan menjadi tiga kategori besar: tekanan dari lingkungan organisasi, sifat proyek itu sendiri, dan, yang paling krusial, karakter dari manajer proyek. Mari kita bedah satu per satu.

Lingkaran Pertama: Tekanan Tak Terlihat dari Lingkungan dan "Suasana" Proyek

Ini adalah lapisan terluar dari masalah, tetapi mungkin yang paling kuat. Ini adalah tentang budaya, tekanan dari para pemangku kepentingan (stakeholder), dan "udara" yang dihirup oleh tim proyek setiap hari.

Bukan Salah Aturannya, Tapi Salah "Udara"-nya

Bayangkan Anda sedang berusaha keras untuk diet. Anda punya rencana makan yang terperinci, daftar kalori, dan jadwal olahraga. Itulah "standar etis" Anda. Sekarang, bayangkan Anda mencoba menjalankan diet itu di sebuah ruangan yang penuh dengan orang yang sedang berpesta pizza, donat, dan kue. Aroma makanan memenuhi udara. Teman-teman Anda terus-menerus menawarkan sepotong.

Secara teknis, tidak ada yang memaksa Anda untuk melanggar diet. Aturan Anda jelas. Tapi "udara" di ruangan itu—tekanan sosial, godaan yang terus-menerus—membuat kepatuhan menjadi hampir mustahil.

Studi ini membuktikan bahwa dalam manajemen proyek, "udara" yang kita hirup setiap hari jauh lebih kuat daripada buku peraturan yang tersimpan di rak. Para peneliti menemukan bahwa dua faktor organisasi yang paling berpengaruh adalah Project Environment (lingkungan proyek), yang disetujui oleh 63.5% responden, dan Stakeholder's Influence (pengaruh pemangku kepentingan), yang disetujui oleh 53.6% responden.  

Apa artinya ini dalam bahasa manusia?

  • Lingkungan Proyek (63.5%): Ini adalah budaya "beginilah cara kerja di sini". Apakah korupsi kecil dianggap wajar? Apakah "uang pelicin" untuk mempercepat izin adalah praktik standar? Apakah ada toleransi diam-diam untuk menggunakan material yang sedikit di bawah standar demi menghemat biaya? Lingkungan ini menciptakan norma tak tertulis yang sering kali mengalahkan norma tertulis.

  • Pengaruh Pemangku Kepentingan (53.6%): Ini adalah tekanan langsung dari orang-orang yang punya kepentingan dalam proyek. Klien yang menuntut proyek selesai lebih cepat dan lebih murah dari yang realistis. Pemasok yang menawarkan "komisi" jika Anda memilih produk mereka yang lebih inferior. Pejabat lokal yang mengisyaratkan bahwa persetujuan akan lebih mudah jika ada "tanda terima kasih". Ini adalah suara-suara di telinga manajer proyek yang terus berbisik, "Potong saja sudutnya. Lakukan saja sekali ini."

Kombinasi dari lingkungan yang permisif dan tekanan pemangku kepentingan yang tak henti-hentinya menciptakan badai yang sempurna untuk kompromi etis.

Apa yang Paling Mengejutkan Saya: Aturan Resmi Ternyata Macan Kertas

Di sinilah temuan studi ini benar-benar membuat saya terdiam. Ketika para peneliti bertanya tentang pengaruh Legal and Regulatory Framework (kerangka hukum dan peraturan), hasilnya mengejutkan. Hanya 31.3% responden yang setuju bahwa ini adalah faktor utama. Mayoritas besar, 68.7%, tidak menganggapnya sebagai pengaruh dominan.  

Sejujurnya, data ini membuat saya berhenti dan berpikir. Bukankah hukum, peraturan pemerintah, dan standar industri adalah pagar pembatas utama yang mencegah bencana? Bukankah itu adalah garis pertahanan terakhir kita?

Data ini seolah berteriak bahwa di dunia nyata, pagar itu sering kali hanyalah ilusi. Peraturan ada di atas kertas, tetapi tidak dirasakan sebagai kekuatan yang dominan di lapangan. Ini menunjukkan adanya jurang pemisah yang menganga antara apa yang seharusnya terjadi dan apa yang sebenarnya terjadi. Ini bukan berarti aturannya buruk. Ini berarti ada sesuatu dalam sistem—mungkin penegakan yang lemah, mungkin budaya impunitas, atau mungkin tekanan dari lingkaran setan pertama begitu kuat—sehingga aturan resmi menjadi sekadar saran, bukan perintah.

Ini adalah kesimpulan yang menakutkan. Ini berarti kita tidak bisa hanya mengandalkan sistem dan peraturan untuk menjaga proyek tetap aman. Beban yang luar biasa besar ternyata jatuh pada individu. Dan ini membawa kita ke lingkaran setan berikutnya.

Lingkaran Kedua: Saat Proyek Terlalu Rumit, Terlalu Berisiko, dan Terlalu Murah

Jika lingkaran pertama adalah tentang "udara" di sekitar proyek, lingkaran kedua adalah tentang sifat proyek itu sendiri. Studi ini menemukan bahwa beberapa proyek seolah-olah dirancang untuk gagal sejak awal, karena mereka membawa benih-benih kompromi etis dalam DNA mereka.

Segitiga Besi yang Berkarat: Biaya, Ruang Lingkup, dan Risiko

Dalam manajemen proyek, ada konsep klasik yang disebut "Segitiga Besi" (Iron Triangle): Ruang Lingkup (Scope), Waktu (Time), dan Biaya (Cost). Aturan mainnya sederhana: Anda bisa memilih dua dari tiga. Anda bisa mendapatkan proyek yang bagus dan cepat, tapi tidak akan murah. Anda bisa mendapatkan yang bagus dan murah, tapi tidak akan cepat. Anda bisa mendapatkan yang cepat dan murah, tapi (hampir pasti) tidak akan bagus.

Studi ini menunjukkan apa yang terjadi ketika tekanan dari lingkaran pertama memaksa manajer proyek untuk menjanjikan ketiganya. Segitiga Besi itu tidak lagi kokoh; ia mulai berkarat oleh kompromi.

Data dari penelitian ini sangat jelas dan menyakitkan. Ketika ditanya tentang faktor-faktor terkait proyek yang paling mempengaruhi praktik etis, inilah yang dikatakan oleh para profesional :  

  • Pertama, Keuangan Proyek (73.0%): Ini adalah biang keladi dari segala biang keladi. Angka ini, yang tertinggi di kategorinya, menunjukkan bahwa ketika dana cekak, godaan untuk memotong sudut menjadi sangat besar. Ini bukan lagi soal keserakahan; sering kali ini soal bertahan hidup. Manajer proyek dihadapkan pada pilihan yang mustahil: menggunakan material di bawah standar atau menghentikan proyek sama sekali.

  • Kedua, Risiko Proyek (69.3%): Proyek yang penuh dengan ketidakpastian—baik itu teknis, politik, atau pasar—menciptakan lingkungan di mana jalan pintas terasa seperti strategi yang cerdas untuk sekadar "melewati hari". Standar etis menjadi kemewahan yang tidak bisa mereka miliki.

  • Ketiga, Pemangku Kepentingan Proyek (66.3%) dan Kompleksitas/Ruang Lingkup Proyek (61.2%): Semakin rumit sebuah proyek dan semakin banyak "kepala" (pemangku kepentingan) yang harus dipuaskan, semakin besar kemungkinan standar etis terkikis oleh ribuan kompromi kecil. Setiap pemangku kepentingan menarik ke arah yang berbeda, dan manajer proyek, yang terjebak di tengah, sering kali harus mengorbankan integritas demi menjaga keharmonisan.

Faktor-faktor ini tidak berdiri sendiri. Mereka adalah mesin yang saling mengunci. Tekanan dari pemangku kepentingan (Lingkaran Pertama) untuk menekan biaya menciptakan masalah pendanaan (Lingkaran Kedua). Proyek yang didanai dengan buruk ini kemudian memaksa manajer proyek untuk membuat serangkaian keputusan tidak etis (Lingkaran Ketiga), yang pada akhirnya meningkatkan risiko proyek dan berpotensi menyebabkan kegagalan.

Ini adalah sebuah sistem yang dirancang untuk menghasilkan kegagalan. Memberi tahu manajer proyek untuk "bersikap etis" dalam situasi seperti ini sama seperti menyuruh seorang pelaut untuk menjaga kapalnya tetap kering di tengah badai dengan hanya menggunakan sebuah ember. Tanpa memperbaiki kondisi proyek itu sendiri, kita hanya menyiapkan mereka untuk gagal.

Lingkaran Ketiga: Di Balik Helm Proyek, Semua Bermuara pada Satu Orang

Setelah menelusuri tekanan sistemik dari lingkungan dan kendala brutal dari proyek itu sendiri, studi ini sampai pada kesimpulan yang paling menakutkan sekaligus paling memberdayakan. Pada akhirnya, benteng terakhir antara proyek yang aman dan sebuah bencana adalah karakter dan kompetensi dari satu orang: manajer proyek.

Pahlawan atau Penjahat? Kekuatan Super Manajer Proyek

Di antara ketiga kategori faktor yang diteliti, kategori yang berhubungan dengan manajer proyek memiliki skor rata-rata tertinggi (mean = 3.44), menandakan bahwa para profesional di lapangan menganggap ini sebagai elemen paling krusial. Dan ketika kita melihat rinciannya, ceritanya menjadi sangat jelas.  

Statistik yang paling menonjol, yang seharusnya dicetak tebal di setiap buku teks manajemen proyek, adalah ini: 89.7% profesional setuju bahwa Technical Skills (Keahlian Teknis) seorang manajer proyek adalah faktor kunci dalam praktik etis.  

Baca kalimat itu sekali lagi. Bukan hanya Personal Values (nilai-nilai pribadi), yang juga sangat tinggi di angka 71.4%. Tapi keahlian teknis.

Awalnya, ini mungkin terdengar aneh. Apa hubungan antara kemampuan membaca denah bangunan dengan kemampuan menolak suap? Hubungannya sangat dalam. Studi ini secara implisit berargumen bahwa "keahlian teknis" di sini berarti lebih dari sekadar pengetahuan buku. Ia berarti kompetensi. Ia berarti pemahaman yang begitu mendalam tentang apa yang benar dan salah secara teknis, sehingga seorang manajer memiliki kepercayaan diri dan otoritas untuk mengatakan "Tidak".

Seorang manajer proyek yang tidak kompeten, bahkan dengan niat terbaik di dunia, mungkin tidak akan mengenali saat pemasok menawarkan material di bawah standar. Mereka mungkin tidak memiliki kosakata teknis untuk membantah klien yang meminta jalan pintas yang berbahaya. Mereka mungkin tidak memiliki keberanian yang lahir dari kepastian untuk menolak tekanan.

Keahlian teknis bukanlah sekadar tahu cara membangun yang benar; itu adalah memiliki keberanian dan otoritas untuk menolak cara membangun yang salah. Kompetensi melahirkan kepercayaan diri, dan kepercayaan diri memungkinkan keberanian etis.

Dari Mana Datangnya Kekuatan Ini?

Kesadaran ini membawa kita pada pertanyaan paling penting: jika manajer proyek adalah kunci dari segalanya, bagaimana kita menempa kunci yang kuat dan tidak mudah bengkok? Temuan lain dari studi ini memberikan petunjuk. Analisis statistik lebih lanjut menunjukkan bahwa Qualification (kualifikasi) manajer proyek secara signifikan mempengaruhi kepatuhan mereka terhadap praktik etis (p<.05). Ini bukan lagi soal kebetulan atau bakat lahir. Ini adalah soal pengembangan, pelatihan, dan sertifikasi yang disengaja.  

Di sinilah inisiatif seperti kursus (https://www.diklatkerja.com/course/manajemen-sdm-dan-etika-profesi-dalam-pembangunan-infrastruktur/) dari Diklatkerja menjadi sangat krusial. Program semacam ini tidak hanya mengasah aspek teknis, tetapi juga secara eksplisit membahas etika, moral, integritas, dan strategi pencegahan korupsi—tiga pilar yang menurut studi ini adalah fondasi sesungguhnya dari sebuah proyek yang sukses. Pelatihan yang komprehensif, seperti yang juga ditawarkan dalam berbagai kursus manajemen proyek dan konstruksi lainnya, membangun benteng pertahanan dari dalam diri seorang profesional. Mereka tidak hanya diajarkan apa yang harus dilakukan, tetapi juga ditempa untuk memiliki kekuatan karakter untuk melakukannya di bawah tekanan.  

Pada akhirnya, setelah semua analisis sistem dan faktor eksternal, paper ini membawa kita kembali ke inti yang sangat manusiawi. Di tengah-tengah tekanan lingkungan yang korosif dan proyek yang dirancang untuk gagal, satu-satunya variabel yang dapat mengubah arah adalah seorang pemimpin yang kompeten dan berintegritas.

Pelajaran Praktis yang Bisa Saya Terapkan Besok Pagi

Setelah membongkar tiga lingkaran setan ini, apa yang bisa kita bawa pulang? Bagi saya, ada tiga pelajaran utama yang mengubah cara saya memandang setiap proyek, baik itu menulis artikel ini, mengelola tim kecil, atau bahkan merencanakan liburan keluarga berikutnya.

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Manusia > Sistem. Studi ini membuktikan bahwa investasi terbaik dalam sebuah proyek bukanlah pada teknologi atau proses yang canggih, melainkan pada karakter dan kompetensi pemimpinnya. Keahlian teknis (disetujui oleh 89.7%!) dan nilai-nilai pribadi (71.4%!) adalah prediktor kesuksesan etis yang paling kuat. Jika Anda ingin proyek yang hebat, carilah pemimpin yang hebat.  

  • 🧠 Inovasinya: Fokus pada "tekanan tak terlihat". Kita sering kali sibuk memadamkan api (masalah teknis, keterlambatan jadwal). Tapi paper ini mengingatkan kita untuk memperhatikan kualitas "udara" (lingkungan proyek, 63.5%) dan terutama tekanan finansial (73.0%). Inilah sumber api yang sebenarnya. Sebelum memulai proyek apa pun, tanyakan: "Apakah lingkungan ini mendukung integritas? Apakah anggarannya realistis?"  

  • 💡 Pelajaran: Etika adalah produk sampingan dari kompetensi. Ini adalah pelajaran yang paling mengejutkan bagi saya. Seorang manajer yang tidak kompeten secara teknis tidak akan mampu membuat keputusan etis yang sulit, bahkan jika niatnya baik. Jadi, jika Anda ingin membangun tim yang etis, mulailah dengan memastikan mereka adalah orang-orang yang paling ahli dan paling berkualitas di bidangnya. Beri mereka pelatihan, dukung sertifikasi mereka, dan bangun kepercayaan diri mereka. Keberanian etis akan mengikuti.

Sebuah Kritik Halus dan Ajakan untuk Anda

Meskipun temuan dari studi ini sangat kuat dan membuka mata, saya tidak bisa tidak mendambakan "daging" kualitatif di balik "tulang" kuantitatif ini. Angka 73% untuk tekanan finansial itu sangat kuat, tapi saya ingin mendengar cerita langsung dari seorang manajer proyek yang dipaksa memilih antara standar keselamatan dan tenggat waktu klien yang tidak masuk akal. Saya ingin membaca kutipan dari seorang insinyur muda yang merasa harus menyetujui sesuatu yang dia tahu salah karena tekanan dari atasannya. Wawancara mendalam atau studi kasus naratif akan memberikan warna, emosi, dan urgensi yang tidak bisa ditangkap sepenuhnya oleh skala persentase. Mungkin ini adalah kesempatan untuk penelitian selanjutnya.

Namun, kekurangan kecil itu tidak mengurangi kekuatan pesan utamanya.

Paper ini lebih dari sekadar studi tentang konstruksi di Nigeria; ini adalah cermin bagi siapa saja yang pernah memimpin sebuah tim, mengelola anggaran, atau menjalankan sebuah proyek. Ia mengingatkan kita bahwa fondasi dari setiap usaha besar bukanlah beton dan baja, atau kode dan spreadsheet. Fondasi sesungguhnya adalah keberanian, kompetensi, dan integritas manusia yang menjalankannya.

Jika analisis ini memicu rasa ingin tahu Anda, saya sangat mendorong Anda untuk menyelami data aslinya sendiri. Jangan biarkan format akademisnya menghalangi Anda—di dalamnya ada pelajaran berharga yang bisa mengubah cara Anda bekerja dan memimpin.

(https://doi.org/10.38177/ajast.2023.7110)