Dalam banyak proses rekrutmen, kandidat sering dinilai tidak cocok bukan karena mereka kurang kompeten, tetapi karena proses wawancara itu sendiri salah arah. Bab ini dibuka dengan kisah klasik: seorang kandidat bernama Anand merasa wawancaranya berjalan sangat baik, sementara VP engineering justru menilainya sebagai “bad fit.” Alasannya? Anand mengajukan terlalu banyak pertanyaan—dan banyak dari pertanyaan itu tidak dapat dijawab oleh tim.
Perbedaan persepsi ini menggambarkan masalah besar dalam banyak organisasi: pemimpin sering menyaring kandidat bukan karena ketidakmampuan, tetapi karena ketidaknyamanan mereka sendiri. Alih-alih menghargai pola pikir kritis, rasa ingin tahu, dan kemampuan eksplorasi kandidat—kompetensi yang justru penting untuk inovasi—mereka menolak kandidat hanya karena pola pikir tersebut menantang status quo. Kenyataannya, dunia kerja modern menuntut tim yang mampu beroperasi dalam ketidakpastian, mengajukan pertanyaan yang tepat, dan membangun jawaban bersama. Anand bukan “bad fit,” ia hanya salah dinilai.
Mengubah Fokus Pertanyaan: Dari Pengalaman Masa Lalu Menuju Kemampuan Sesungguhnya
Salah satu penyebab utama tersaringnya kandidat berkualitas adalah pertanyaan wawancara yang salah. Banyak organisasi masih menilai kandidat berdasarkan years of experience, riwayat kronologis, atau daftar tugas historis. Padahal, pengalaman masa lalu tidak selalu mencerminkan kemampuan masa depan.
Contoh ekstrem dijelaskan dalam kisah lowongan “10 tahun pengalaman Twitter”—yang pada saat itu bahkan belum berumur setahun. Persyaratan semacam ini mencerminkan pola pikir yang lebih mementingkan apa yang sudah pernah dilakukan, bukan bagaimana seseorang akan berpikir menghadapi hal baru.
Pertanyaan yang berfokus pada pengalaman cenderung menghasilkan data yang dangkal. Pertanyaan yang berfokus pada capabilities menghasilkan wawasan yang jauh lebih dalam.
Daripada bertanya:
“Pernahkah Anda melakukan X?”
lebih baik bertanya:
“Bagaimana Anda akan mendekati X jika Anda harus melakukannya besok?”
Pertanyaan ini menggali cara berpikir, fleksibilitas, kemampuan belajar, dan kreativitas—atribut yang lebih relevan untuk pekerjaan yang terus berubah.
Menilai Kemampuan Kolaborasi dan Co-Creation dalam Tim
Organisasi sering mencari “team player,” tetapi ironisnya, pertanyaan untuk menilai kemampuan berkolaborasi sering tidak pernah ditanyakan. Tim modern tidak lagi bekerja dalam struktur kaku; peran berubah cepat, tanggung jawab berpindah, dan anggota tim harus saling menggantikan ketika dibutuhkan.
Untuk itu, pewawancara perlu bertanya:
“Bagaimana Anda menangani situasi ketika ada celah di tim yang tidak ada orang mengisinya?”
Ini bukan sekadar melihat apakah kandidat mau membantu, tetapi bagaimana mereka memahami dinamika tim. Apakah mereka bangga mendeteksi celah? Apakah mereka gelisah karena struktur tidak rapi? Apakah mereka mampu berperan fleksibel?
Jawaban mereka memberi sinyal penting: apakah kandidat cenderung bekerja secara kolaboratif atau justru lebih suka bekerja dalam silo.
Menggali Apa yang Benar-Benar Diminati Kandidat
Inovasi tidak muncul dari kerja mekanis; ia lahir dari individu yang bekerja pada hal yang mereka anggap bermakna. Karena itu, pewawancara perlu menggali motivasi terdalam kandidat:
-
aspek apa dari proyek tertentu yang mereka nikmati,
-
bagian mana dari pekerjaan yang membuat mereka merasa hidup,
-
nilai apa yang mereka kejar melalui pekerjaan,
-
dan mengapa pengalaman itu penting bagi mereka.
Pertanyaan seperti:
“Apa yang Anda anggap paling bermakna dari proyek tersebut?”
“Apa yang hal itu katakan tentang diri Anda?”
membantu pewawancara menilai bukan hanya kompetensi, tetapi juga keselarasan nilai dan energi kandidat dengan tim. Kandidat yang termotivasi secara intrinsik lebih mudah berkembang, lebih tahan terhadap tekanan, dan lebih mudah terhubung dengan misi organisasi.
Membentuk Tim yang Mampu Berinovasi Bersama
Kegagalan dalam strategi sering bukan karena talenta buruk, tetapi karena tim tidak mampu co-create. Dalam kondisi dunia yang berubah cepat, peran tidak lagi statis. Tim yang hebat adalah tim yang mampu:
-
bersama-sama memetakan wilayah baru,
-
mengajukan pertanyaan ketika arah tidak jelas,
-
berpindah peran ketika terjadi kekosongan,
-
serta menyatukan keahlian berbeda menuju tujuan bersama.
Karena itu, pemimpin tidak boleh hanya mencari orang yang “cocok dengan pola lama.” Mereka harus mencari orang yang mampu membentuk pola baru bersama tim.
Bab ini menegaskan bahwa tugas pemimpin bukan menjadi “orang yang paling tahu,” tetapi menciptakan kondisi di mana semua orang dapat belajar, bereksperimen, dan berinovasi.
Pentingnya Menghapus Bias “Bad Fit” yang Tidak Relevan
Sering kali, label “bad fit” hanyalah kode halus untuk mengatakan “kandidat ini membuat saya tidak nyaman.”
Namun ketidaknyamanan bukan indikator kualitas. Justru kandidat yang membuat kita berpikir ulang bisa menjadi aset besar dalam tim inovasi. Mereka mendorong organisasi keluar dari zona nyaman, mengungkap area yang selama ini tersembunyi, dan membantu tim melihat masalah dari perspektif baru.
Kisah Anand menggambarkan hal ini secara sempurna: ia bukan kandidat yang salah, melainkan kandidat yang berani menanyakan pertanyaan yang tepat—pertanyaan yang justru dibutuhkan perusahaan untuk tumbuh.
Pada akhirnya, VP engineering memperbaiki persepsinya dan mempekerjakan Anand—keputusan yang terbukti benar karena mereka akhirnya berhasil mencapai target bersama.
Penutup: Merancang Pertanyaan yang Tepat untuk Menemukan Orang yang Tepat
Pertanyaan wawancara bukan hanya alat mengumpulkan informasi; ia adalah alat strategis untuk menemukan orang yang mampu tumbuh bersama organisasi.
Pertanyaan yang tepat dapat mengungkap:
-
kemampuan berpikir masa depan,
-
fleksibilitas,
-
kecenderungan bekerja sama,
-
motivasi terdalam,
-
kapasitas berinovasi,
-
serta keselarasan nilai.
Pertanyaan yang salah justru menyingkirkan kandidat baik dan memperkuat bias pewawancara.
Hanya dengan menata ulang pertanyaan wawancara—dari fokus pada masa lalu menuju kemampuan untuk co-create di masa depan—organisasi dapat membangun tim yang benar-benar siap menghadapi ketidakpastian.
Daftar Pustaka
HBR Guide to Better Recruiting and Hiring – Chapter 16.