Mengapa Adopsi Ekonomi Sirkular Masih Tertatih: Membaca Kesenjangan antara Konsep, Organisasi, dan Praktik Nyata

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat

30 Desember 2025, 12.16

Pendahuluan

Ekonomi sirkular telah berkembang dari sekadar gagasan akademik menjadi agenda strategis di berbagai negara dan sektor industri. Konsep ini menjanjikan transformasi sistem produksi dan konsumsi melalui pengurangan limbah, pemanfaatan ulang material, serta penutupan siklus sumber daya. Namun, meskipun narasi ekonomi sirkular semakin dominan dalam dokumen kebijakan dan strategi perusahaan, tingkat adopsinya di lapangan sering kali jauh dari ekspektasi.

Kesenjangan ini menimbulkan pertanyaan mendasar: mengapa konsep yang secara normatif dianggap rasional dan berkelanjutan justru sulit diimplementasikan secara luas? Jawaban atas pertanyaan ini tidak cukup dicari pada aspek teknis semata. Tantangan adopsi ekonomi sirkular justru banyak bersumber dari faktor organisasi, institusional, dan kognitif yang membentuk cara aktor memahami, menafsirkan, dan menerjemahkan konsep tersebut ke dalam praktik.

Pendahuluan ini menempatkan ekonomi sirkular bukan sebagai solusi instan, melainkan sebagai proses perubahan sistemik yang menuntut penyesuaian pada banyak level. Artikel ini membahas bagaimana adopsi ekonomi sirkular dipengaruhi oleh dinamika internal organisasi, kerangka pengambilan keputusan, serta batasan struktural yang sering kali tidak terlihat dalam diskursus kebijakan.

 

1. Ekonomi Sirkular sebagai Tantangan Organisasi, Bukan Sekadar Inovasi Teknis

Salah satu kesalahan umum dalam mempromosikan ekonomi sirkular adalah memperlakukannya sebagai inovasi teknis yang dapat diadopsi secara modular. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa organisasi cukup mengganti teknologi, material, atau proses tertentu untuk menjadi “sirkular”. Dalam praktiknya, ekonomi sirkular justru menuntut perubahan cara berpikir organisasi tentang nilai, risiko, dan kinerja.

Banyak organisasi masih beroperasi dalam logika ekonomi linear yang menekankan efisiensi jangka pendek, stabilitas rantai pasok, dan optimalisasi biaya produksi. Ketika ekonomi sirkular diperkenalkan, ia sering diposisikan sebagai proyek tambahan, bukan sebagai kerangka strategis utama. Akibatnya, inisiatif sirkular cenderung terfragmentasi, bergantung pada individu atau unit tertentu, dan rentan dihentikan ketika tidak segera menunjukkan keuntungan finansial.

Selain itu, adopsi ekonomi sirkular sering berbenturan dengan struktur organisasi yang kaku. Tanggung jawab atas desain produk, pengadaan material, produksi, dan pengelolaan limbah biasanya tersebar di berbagai unit dengan kepentingan berbeda. Tanpa mekanisme koordinasi lintas fungsi, pendekatan sirkular sulit diterapkan secara konsisten. Hal ini menunjukkan bahwa hambatan utama bukan ketiadaan teknologi, melainkan ketidaksiapan organisasi untuk bekerja secara lintas batas internal.

Section ini menegaskan bahwa ekonomi sirkular perlu dipahami sebagai tantangan transformasi organisasi. Tanpa perubahan pada struktur pengambilan keputusan dan indikator kinerja, adopsi ekonomi sirkular berisiko berhenti pada level retorika.

 

2. Faktor Kognitif dan Persepsi Risiko dalam Keputusan Adopsi

Selain faktor struktural, adopsi ekonomi sirkular sangat dipengaruhi oleh cara aktor organisasi memersepsikan risiko dan ketidakpastian. Banyak praktik sirkular melibatkan perubahan pada model bisnis yang sudah mapan, seperti penggunaan material daur ulang, desain produk modular, atau skema pengembalian produk. Perubahan ini sering dipersepsikan membawa risiko kualitas, reputasi, atau ketidakpastian pasar.

Dalam konteks ini, keputusan untuk mengadopsi ekonomi sirkular jarang bersifat netral. Ia dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu, norma industri, dan ekspektasi pemangku kepentingan. Ketika manfaat ekonomi sirkular tidak langsung terlihat atau sulit diukur, organisasi cenderung mengambil sikap konservatif. Risiko yang bersifat jangka pendek sering diberi bobot lebih besar dibandingkan manfaat jangka panjang yang lebih abstrak.

Persepsi ini diperkuat oleh keterbatasan kerangka evaluasi. Banyak organisasi masih menggunakan indikator kinerja yang dirancang untuk ekonomi linear, seperti biaya unit dan kecepatan produksi. Dalam kerangka ini, manfaat ekonomi sirkular—seperti pengurangan ketergantungan material primer atau peningkatan ketahanan sistem—tidak sepenuhnya tercermin. Akibatnya, adopsi ekonomi sirkular tampak kurang menarik secara rasional, meskipun secara sistemik menguntungkan.

Section ini menunjukkan bahwa adopsi ekonomi sirkular tidak hanya soal apa yang harus diubah, tetapi juga bagaimana aktor memahami konsekuensi perubahan tersebut. Tanpa penyesuaian kerangka berpikir dan evaluasi risiko, ekonomi sirkular akan terus dipersepsikan sebagai eksperimen berisiko tinggi, bukan sebagai strategi jangka panjang.

 

3. Peran Faktor Institusional: Antara Dorongan Regulasi dan Ketidakpastian Kebijakan

Selain tantangan internal organisasi, adopsi ekonomi sirkular sangat dipengaruhi oleh lingkungan institusional tempat organisasi beroperasi. Regulasi, standar, dan kebijakan publik berperan sebagai sinyal penting dalam menentukan apakah praktik sirkular dipandang sebagai peluang atau beban tambahan. Ketika kerangka regulasi jelas dan konsisten, ekonomi sirkular cenderung lebih mudah diintegrasikan ke dalam strategi organisasi.

Namun dalam banyak konteks, kebijakan terkait ekonomi sirkular masih bersifat parsial dan berubah-ubah. Insentif untuk penggunaan material daur ulang, misalnya, sering tidak diimbangi dengan standar kualitas yang jelas atau jaminan pasar. Ketidakpastian ini meningkatkan persepsi risiko dan mendorong organisasi untuk menunda adopsi, terutama jika investasi awal yang dibutuhkan cukup besar.

Di sisi lain, regulasi yang terlalu preskriptif juga dapat menjadi penghambat. Ketika kebijakan hanya berfokus pada kepatuhan administratif, organisasi cenderung mengadopsi pendekatan minimalis untuk memenuhi persyaratan, tanpa mendorong inovasi sistemik. Dalam kondisi ini, ekonomi sirkular direduksi menjadi kewajiban formal, bukan strategi transformasi.

Section ini menunjukkan bahwa faktor institusional memiliki peran ambivalen. Regulasi dapat mempercepat adopsi ekonomi sirkular, tetapi juga berpotensi menciptakan ketergantungan pada kepatuhan sempit jika tidak dirancang untuk mendorong pembelajaran dan inovasi jangka panjang.

 

4. Strategi Adopsi Bertahap: Dari Eksperimen Terbatas ke Integrasi Sistemik

Menghadapi berbagai hambatan, banyak organisasi memilih strategi adopsi bertahap dalam menerapkan ekonomi sirkular. Pendekatan ini biasanya dimulai dengan proyek percontohan atau eksperimen terbatas yang relatif aman secara finansial dan operasional. Strategi ini memungkinkan organisasi untuk belajar tanpa harus melakukan perubahan sistemik secara langsung.

Meskipun pragmatis, pendekatan bertahap memiliki keterbatasan. Proyek percontohan sering terisolasi dari proses inti organisasi dan tidak selalu menghasilkan pembelajaran yang dapat diskalakan. Tanpa mekanisme integrasi, ekonomi sirkular berisiko terjebak sebagai inovasi pinggiran yang tidak mengubah logika bisnis utama.

Transisi dari eksperimen menuju integrasi sistemik memerlukan kepemimpinan dan penyelarasan strategis. Ekonomi sirkular perlu diterjemahkan ke dalam tujuan bisnis, indikator kinerja, dan proses pengambilan keputusan. Tanpa penyelarasan ini, inisiatif sirkular akan terus bersaing dengan prioritas lain yang lebih mapan.

Section ini menegaskan bahwa keberhasilan adopsi ekonomi sirkular tidak terletak pada jumlah proyek yang dijalankan, tetapi pada kemampuan organisasi untuk mengubah eksperimen menjadi praktik arus utama. Transformasi ini menuntut kesabaran, konsistensi kebijakan, dan keberanian untuk menantang asumsi lama.

 

5. Implikasi Kebijakan dan Manajerial: Menyelaraskan Insentif dengan Transformasi

Analisis adopsi ekonomi sirkular menunjukkan bahwa kegagalan implementasi sering kali bukan disebabkan oleh penolakan eksplisit, melainkan oleh ketidaksesuaian insentif. Kebijakan publik dan sistem manajemen organisasi masih banyak yang dirancang untuk logika ekonomi linear, sehingga praktik sirkular ditempatkan sebagai tambahan, bukan inti strategi.

Dari sisi kebijakan, implikasinya adalah perlunya pergeseran dari pendekatan berbasis kepatuhan menuju kerangka yang mendorong pembelajaran dan adaptasi. Regulasi ekonomi sirkular perlu memberikan kepastian jangka panjang, sekaligus ruang fleksibilitas agar organisasi dapat bereksperimen tanpa takut terhadap risiko kegagalan awal. Insentif ekonomi, standar pasar material sekunder, dan mekanisme berbagi risiko menjadi elemen penting dalam mendorong adopsi yang lebih luas.

Dari sisi manajerial, ekonomi sirkular menuntut perubahan cara organisasi mendefinisikan kinerja. Indikator finansial jangka pendek perlu dilengkapi dengan ukuran ketahanan, efisiensi sumber daya, dan nilai jangka panjang. Tanpa perubahan ini, keputusan strategis akan terus bias terhadap praktik lama yang lebih mudah diukur dan diprediksi.

Section ini menegaskan bahwa ekonomi sirkular tidak dapat “dipaksakan” hanya melalui regulasi atau komitmen moral. Ia memerlukan penyelarasan sistem insentif agar pilihan sirkular menjadi rasional secara ekonomi dan organisasi.

 

6. Kesimpulan: Adopsi Ekonomi Sirkular sebagai Proses Sosial dan Organisasional

Artikel ini menunjukkan bahwa adopsi ekonomi sirkular merupakan proses yang jauh lebih kompleks daripada sekadar penerapan teknologi atau praktik baru. Hambatan utama justru terletak pada struktur organisasi, persepsi risiko, lingkungan institusional, dan cara aktor menafsirkan nilai ekonomi sirkular dalam konteks nyata.

Pendekatan yang menempatkan ekonomi sirkular sebagai solusi teknis cenderung mengabaikan dimensi sosial dan kognitif yang menentukan keberhasilan implementasi. Sebaliknya, memahami ekonomi sirkular sebagai proses perubahan organisasi dan institusional membuka ruang bagi strategi adopsi yang lebih realistis dan berkelanjutan.

Kesimpulan penting dari analisis ini adalah bahwa adopsi ekonomi sirkular bersifat bertahap dan kontekstual. Tidak ada jalur tunggal yang dapat diterapkan secara universal. Keberhasilan sangat bergantung pada kemampuan organisasi dan pembuat kebijakan untuk belajar, beradaptasi, dan menyesuaikan insentif dengan tujuan jangka panjang.

Sebagai penutup, ekonomi sirkular sebaiknya dipandang bukan sebagai standar ideal yang harus segera dicapai, melainkan sebagai arah transformasi. Arah ini hanya dapat ditempuh melalui kombinasi kepemimpinan, kebijakan yang konsisten, dan kesiapan organisasi untuk menantang cara berpikir linear yang telah lama mengakar.

 

 

Daftar Pustaka

Kirchherr, J., Reike, D., & Hekkert, M. (2017). Conceptualizing the circular economy: An analysis of 114 definitions. Resources, Conservation and Recycling, 127, 221–232.

Geissdoerfer, M., Savaget, P., Bocken, N. M. P., & Hultink, E. J. (2017). The circular economy – A new sustainability paradigm? Journal of Cleaner Production, 143, 757–768.

Ghisellini, P., Cialani, C., & Ulgiati, S. (2016). A review on circular economy. Journal of Cleaner Production, 114, 11–32.

OECD. (2020). Circular economy in cities and regions: Synthesis report. Paris: OECD Publishing.

Stahel, W. R. (2016). The circular economy. Nature, 531(7595), 435–438.