Setiap negara yang berhasil bertransformasi menjadi ekonomi maju memiliki satu kesamaan mendasar: produktivitas menjadi inti strategi pembangunan nasional. Produktivitas tidak sekadar indikator efisiensi, melainkan cerminan dari kemampuan bangsa dalam memanfaatkan sumber daya secara cerdas, inovatif, dan berkelanjutan.
Dalam konteks Indonesia, tantangan menuju Visi Indonesia Emas 2045 bukan hanya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tetapi memastikan bahwa pertumbuhan tersebut berasal dari peningkatan produktivitas, bukan sekadar ekspansi input.
Selama dua dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan ketahanan yang relatif stabil, bahkan di tengah krisis global. Namun di balik stabilitas itu, masih terdapat persoalan mendasar: laju produktivitas belum sejalan dengan potensi ekonomi nasional. Sektor manufaktur yang seharusnya menjadi penggerak utama industrialisasi mengalami kontraksi kontribusi terhadap PDB, sementara sektor jasa tumbuh pesat namun belum sepenuhnya berbasis nilai tambah tinggi.
Kondisi ini menandakan bahwa Indonesia menghadapi risiko deindustrialisasi dini, di mana transformasi struktural terjadi sebelum fondasi produktivitas nasional benar-benar matang.
Melalui Indonesia’s National Productivity Master Plan 2025–2029, pemerintah berupaya menyusun pendekatan sistematis untuk menjawab tantangan tersebut. Bab penutup dari rencana induk ini berperan penting, karena merangkum temuan empiris utama, menguraikan implikasi kebijakan, dan merumuskan arah strategis lima tahun ke depan dalam membangun ekonomi berbasis produktivitas.
Pendekatan yang digunakan bersifat integratif, menggabungkan analisis ekonomi makro, kajian sektoral, dan evaluasi kelembagaan, untuk mengidentifikasi penggerak utama produktivitas sekaligus hambatan struktural yang menghambat efisiensi nasional. Hasil analisis menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas Indonesia tidak hanya membutuhkan reformasi ekonomi, tetapi juga reformasi tata kelola, pendidikan, dan ekosistem inovasi.
Lebih dari sekadar laporan teknokratis, bab ini merupakan refleksi strategis atas perjalanan pembangunan Indonesia. Ia mengajukan pertanyaan fundamental bagi arah kebijakan masa depan:
"Apakah Indonesia siap untuk meninggalkan pola pertumbuhan berbasis input dan memasuki era produktivitas yang digerakkan oleh inovasi, teknologi, dan kualitas sumber daya manusia?"
Menjawab pertanyaan tersebut berarti meneguhkan kembali komitmen nasional terhadap efisiensi, daya saing, dan pemerataan. Karena pada akhirnya, produktivitas bukan hanya alat ekonomi tetapi juga pilar keadilan sosial dan kemajuan bangsa.
Temuan Utama: Dinamika Pertumbuhan dan Tantangan Struktural
Analisis terhadap kinerja ekonomi Indonesia dua dekade terakhir mengungkapkan sejumlah pola mendasar yang menjadi dasar perumusan kebijakan produktivitas nasional. Pertumbuhan ekonomi memang terjaga di kisaran 5 persen per tahun relatif stabil dan tangguh dibandingkan banyak negara berkembang lain namun komposisi pertumbuhan menunjukkan ketidakseimbangan yang semakin mencolok.
a. Ketergantungan pada Konsumsi dan Investasi Domestik
Salah satu ciri utama pertumbuhan Indonesia adalah ketergantungan tinggi terhadap konsumsi rumah tangga, yang menyumbang lebih dari separuh PDB nasional. Meskipun konsumsi menjadi penyangga stabilitas, dominasi ini menunjukkan bahwa mesin produktivitas belum bekerja optimal. Pertumbuhan berbasis konsumsi tidak mencerminkan peningkatan efisiensi atau nilai tambah, melainkan lebih pada aktivitas ekonomi jangka pendek.
Di sisi lain, investasi memang meningkat, tetapi sebagian besar masih bersifat ekstensif, berfokus pada ekspansi kapasitas, bukan pada inovasi atau peningkatan produktivitas. Ketika investasi tidak diikuti peningkatan efisiensi, produktivitas total faktor (Total Factor Productivity/TFP) cenderung stagnan. Inilah tantangan mendasar: pertumbuhan tinggi tanpa efisiensi tinggi tidak akan berkelanjutan.
b. Melemahnya Basis Industri Manufaktur
Temuan paling krusial dalam analisis produktivitas nasional adalah penurunan peran sektor manufaktur dalam struktur ekonomi. Dalam dua dekade terakhir, kontribusi manufaktur terhadap PDB turun signifikan dari sekitar 27% menjadi kurang dari 19%. Padahal, di banyak negara yang berhasil melakukan lompatan pembangunan seperti Korea Selatan dan Tiongkok industrialisasi menjadi penggerak utama peningkatan produktivitas nasional.
Penurunan ini menandakan gejala deindustrialisasi dini (premature deindustrialization), di mana sektor industri kehilangan daya dorong sebelum mencapai kematangan produktivitas. Dampaknya terasa pada penyerapan tenaga kerja: pekerja beralih dari sektor manufaktur ke sektor jasa yang produktivitasnya masih rendah. Dengan demikian, perubahan struktur ekonomi Indonesia belum diikuti oleh peningkatan kualitas kerja maupun nilai tambah industri.
c. Kesenjangan Regional dan Akses terhadap Faktor Produksi
Pertumbuhan ekonomi Indonesia masih bersifat terpusat secara geografis. Pulau Jawa dan Sumatra menyumbang lebih dari 70% PDB nasional, sementara kawasan timur Indonesia tertinggal dalam hal infrastruktur, konektivitas, dan akses terhadap modal.
Ketimpangan ini menciptakan jurang produktivitas antarwilayah yang tajam. Produktivitas tenaga kerja di wilayah industri Jawa bisa mencapai dua hingga tiga kali lipat dibanding wilayah agraris di timur.
Ketimpangan ini bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi juga masalah tata kelola produktivitas. Ketika faktor produksi seperti tenaga kerja terampil, modal, dan teknologi terkonsentrasi di beberapa provinsi, maka pertumbuhan nasional kehilangan potensi besar dari daerah yang belum terintegrasi dalam rantai nilai produktif.
d. Disparitas Antarskala Usaha
Selain kesenjangan regional, terdapat pula kesenjangan produktivitas antar skala usaha. Perusahaan besar dan menengah menghasilkan lebih dari 80% output industri, sementara UMKM yang jumlahnya mendominasi lebih dari 90% unit usaha hanya berkontribusi kecil terhadap nilai tambah nasional.
Penyebab utamanya adalah rendahnya tingkat adopsi teknologi, akses modal, dan kemampuan manajerial di sektor UMKM.
Tanpa intervensi yang tepat, kesenjangan ini akan terus memperlebar ketimpangan pendapatan dan memperlambat transformasi ekonomi nasional.
e. Tanda-Tanda Pergeseran Struktural yang Belum Matang
Secara teoritis, transformasi struktural ditandai oleh pergeseran tenaga kerja dari sektor berproduktivitas rendah ke sektor berproduktivitas tinggi. Namun, di Indonesia, proses ini belum sepenuhnya terjadi. Banyak tenaga kerja yang berpindah ke sektor jasa informal dengan produktivitas serupa atau bahkan lebih rendah daripada sektor asalnya.
Fenomena ini menunjukkan bahwa transformasi struktural Indonesia bersifat setengah matang secara statistik terlihat dinamis, tetapi secara produktivitas masih lemah.
f. Implikasi terhadap Daya Saing Nasional
Dari seluruh temuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa daya saing nasional Indonesia masih ditentukan oleh kuantitas, bukan kualitas.
Selama mesin produktivitas belum menjadi inti pertumbuhan, Indonesia akan menghadapi risiko stagnasi jangka menengah, terutama ketika bonus demografi mulai berkurang.
Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi Indonesia bukanlah masalah “kecepatan”, tetapi arah dan kualitas.
Pertumbuhan yang tidak didorong oleh peningkatan produktivitas akan sulit menciptakan kesejahteraan yang merata dan berkelanjutan.
Kesimpulan: TFP sebagai Penggerak Utama Pertumbuhan Jangka Panjang
Dalam setiap ekonomi modern yang berhasil mencapai status negara maju, peningkatan Total Factor Productivity (TFP) selalu menjadi sumber utama pertumbuhan jangka panjang. TFP mengukur kemampuan suatu negara menghasilkan lebih banyak output tanpa menambah input secara proporsional artinya ia adalah ukuran sejati dari efisiensi dan inovasi nasional.
Analisis Indonesia’s National Productivity Master Plan 2025–2029 menunjukkan bahwa kontribusi TFP terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia masih relatif kecil, terutama dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Timur.
Sementara investasi fisik dan penyerapan tenaga kerja masih mendominasi, efek pengganda produktivitas yang muncul dari inovasi teknologi, peningkatan keterampilan, dan efisiensi manajerial belum dimanfaatkan secara optimal.
a. Pergeseran Paradigma: Dari Input ke Efisiensi
Selama beberapa dekade, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang oleh ekspansi faktor input: peningkatan jumlah tenaga kerja, belanja modal, dan eksploitasi sumber daya alam. Namun, pendekatan tersebut kini menghadapi batas struktural.
Populasi usia produktif akan mencapai puncak pada 2035, sementara ruang fiskal untuk ekspansi investasi fisik semakin sempit. Dalam konteks ini, pertumbuhan berbasis efisiensi (TFP-led growth) bukan lagi pilihan, melainkan keharusan.
Transformasi menuju ekonomi berbasis produktivitas menuntut perubahan paradigma pembangunan: dari fokus pada “berapa banyak yang diproduksi” menjadi “seberapa efisien dan bernilai tinggi setiap unit produksi.” Dengan kata lain, pembangunan tidak hanya diukur dari output, tetapi juga dari kualitas proses dan kemampuan berinovasi.
b. TFP sebagai Ukuran Daya Saing Bangsa
TFP mencerminkan kemampuan sistem ekonomi dalam mengorganisir sumber daya secara optimal. Ketika TFP meningkat, negara tersebut mampu menghasilkan lebih banyak dengan sumber daya yang sama menandakan kemajuan dalam teknologi, manajemen, dan pengetahuan.
Dalam konteks Indonesia, TFP yang tinggi berarti:
-
Industri menjadi lebih inovatif melalui adopsi teknologi,
-
Tenaga kerja lebih terampil dan adaptif,
-
Pemerintah lebih efisien dalam tata kelola, dan
-
Sektor swasta lebih produktif dalam penggunaan modal dan sumber daya.
Sebaliknya, TFP yang stagnan menunjukkan inefisiensi sistemik baik dalam birokrasi, logistik, riset, maupun konektivitas antarwilayah. Karena itu, TFP bukan hanya indikator ekonomi, melainkan barometer kualitas institusi dan kapasitas nasional.
c. Produktivitas sebagai Sumber Pertumbuhan Inklusif
Salah satu keunggulan utama peningkatan TFP adalah kemampuannya menciptakan pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan.
Ketika efisiensi meningkat di seluruh sektor terutama di sektor tradisional seperti pertanian, perikanan, dan manufaktur kecil dampaknya tidak hanya pada peningkatan PDB, tetapi juga pada peningkatan kesejahteraan masyarakat luas.
Dengan kata lain, produktivitas bukanlah konsep elitis yang hanya relevan bagi industri besar. Ia adalah alat keadilan ekonomi, karena memungkinkan pekerja dan pelaku usaha kecil untuk menghasilkan nilai tambah lebih besar dengan sumber daya yang terbatas.
Dalam jangka panjang, peningkatan TFP dapat mengurangi kesenjangan pendapatan, memperluas kesempatan kerja produktif, dan memperkuat daya saing wilayah-wilayah tertinggal.
d. Investasi dalam “Modal Tak Berwujud”
Untuk mempercepat TFP, Indonesia perlu berinvestasi tidak hanya pada infrastruktur fisik, tetapi juga pada modal tak berwujud (intangible capital) seperti pengetahuan, keahlian, dan institusi yang efektif.
Negara-negara dengan pertumbuhan TFP tinggi umumnya memiliki empat karakteristik utama:
-
Sistem pendidikan dan riset yang dinamis, menghasilkan inovasi aplikatif;
-
Institusi publik yang efisien, mendukung koordinasi lintas sektor;
-
Sektor swasta yang kompetitif, didorong oleh insentif inovasi; dan
-
Budaya produktivitas nasional, yang menghargai efisiensi dan hasil kerja.
Dengan memperkuat dimensi-dimensi ini, Indonesia dapat menciptakan ekosistem produktivitas yang tahan terhadap disrupsi global dan perubahan teknologi.
5. Implikasi Strategis bagi Indonesia Emas 2045
Jika Indonesia mampu meningkatkan TFP secara konsisten sebesar 1,5–2% per tahun selama dua dekade ke depan, perekonomian nasional berpotensi tumbuh di kisaran 6–8% per tahun secara berkelanjutan.
Lebih dari sekadar angka, ini berarti:
-
Lonjakan signifikan pendapatan per kapita,
-
Peningkatan daya saing industri di tingkat global, dan
-
Transformasi menuju negara berpendapatan tinggi sebelum 2045.
Namun, pencapaian tersebut memerlukan komitmen politik dan koordinasi lintas lembaga yang kuat. TFP tidak akan tumbuh otomatis; ia harus ditopang oleh kebijakan yang konsisten, insentif inovasi yang jelas, serta investasi besar dalam SDM dan riset.
Dengan demikian, Total Factor Productivity adalah “urat nadi pertumbuhan jangka panjang Indonesia.” Ia bukan sekadar konsep ekonomi, tetapi kerangka strategis bagi pembangunan bangsa, jembatan antara efisiensi, inovasi, dan kesejahteraan yang berkeadilan.
Refrensi:
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (2024). Indonesia’s National Productivity Master Plan 2025–2029. Jakarta: Bappenas.