Mendorong Transformasi Pembiayaan Air dan Pengurangan Risiko Bencana di Indonesia: Resensi Kritis dan Praktis atas Studi OECD 2023

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

04 Juli 2025, 07.03

pixabay.com

Mengapa Pembiayaan Air dan Pengurangan Risiko Bencana Menjadi Kunci Masa Depan Indonesia?

Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, menghadapi tantangan besar dalam pengelolaan air dan pengurangan risiko bencana. Dengan pertumbuhan penduduk, urbanisasi pesat, dan dampak perubahan iklim, kebutuhan akan sistem pembiayaan air yang inovatif dan strategi pengurangan risiko bencana yang efektif menjadi semakin mendesak. Laporan OECD (2023) “Water Financing and Disaster Risk Reduction in Indonesia” menawarkan analisis mendalam dan rekomendasi konkret untuk menjawab tantangan ini, sekaligus mengaitkannya dengan tren global dan kebutuhan pembangunan berkelanjutan.

Artikel ini mengulas secara kritis temuan utama, studi kasus, serta angka-angka kunci dari laporan tersebut. Selain itu, resensi ini juga membandingkan pendekatan Indonesia dengan praktik internasional, memberikan opini dan kritik, serta menghubungkannya dengan tren industri dan kebijakan terbaru.

Tantangan Utama Pengelolaan Air di Indonesia

1. Ketersediaan dan Kualitas Air

  • Kekurangan air diproyeksikan akan semakin parah pada 2045 akibat perubahan iklim, degradasi lahan, dan penggunaan air yang tidak berkelanjutan.
  • 67% aktivitas ekonomi diperkirakan akan berada di wilayah yang kekurangan air pada 2045.
  • 80% konsumsi air digunakan untuk irigasi, namun produktivitas air di Indonesia termasuk yang terendah di Asia.
  • Lebih dari 50% sungai di Indonesia tercemar berat akibat limbah domestik, pertanian, dan industri.

2. Risiko Bencana Air

  • 75% bencana di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi (banjir, kekeringan, tanah longsor).
  • Kerugian ekonomi akibat bencana air mencapai 2–3 miliar USD per tahun, setara dengan 2–3% PDB nasional.
  • 325 kota dan wilayah diklasifikasikan sebagai daerah berisiko tinggi banjir.
  • Frekuensi banjir meningkat hampir tiga kali lipat dalam 10 tahun terakhir.

3. Ketimpangan Akses dan Kualitas Layanan

  • Hanya 23% penduduk yang memiliki akses ke air perpipaan, dan hanya 11,9% yang menikmati air “aman”.
  • PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) menghadapi tantangan keuangan dan operasional, dengan 104 dari 388 PDAM dinilai “tidak sehat” dan 59 “sakit”.

Studi Kasus: Inovasi dan Tantangan Pembiayaan Air di Indonesia

A. Tarik Ulur Tarif Air Nasional

Indonesia tengah mempertimbangkan penerapan tarif air nasional yang seragam. Studi OECD menyoroti pro dan kontra:

  • Kelebihan: Potensi mengurangi ketimpangan antarwilayah, meningkatkan stabilitas pendapatan, dan memperkuat daya tarik investasi.
  • Kekurangan: Risiko tidak mencerminkan biaya operasional lokal, menurunkan insentif efisiensi, dan membuka peluang “cherry-picking” oleh investor swasta.

Angka kunci: Tarif air domestik di Indonesia berkisar antara Rp 2.553/m³ hingga Rp 8.239/m³, dengan rata-rata kenaikan 11% per tahun (2011–2015).

B. Kinerja dan Kesehatan PDAM

  • Dari 388 PDAM, hanya 225 yang dinilai “sehat”.
  • Satu dari tiga liter air yang didistribusikan menjadi “non-revenue water” akibat kebocoran dan pencurian.
  • Hanya 9% kebutuhan air domestik dipenuhi oleh PDAM; sisanya dari sumur bor dan sumber lain.

C. Inovasi Pembiayaan: Land Value Capture (LVC)

LVC adalah mekanisme pemanfaatan kenaikan nilai lahan akibat pembangunan infrastruktur publik untuk membiayai proyek air dan mitigasi bencana.

  • Contoh internasional: Di São Paulo, Brasil, penerapan CEPACs (Certificates of Additional Building Potential) berhasil mengumpulkan lebih dari USD 820 juta untuk infrastruktur kota.
  • Potensi di Indonesia: Urbanisasi pesat dan pertumbuhan ekonomi membuka peluang besar untuk LVC, namun implementasi masih terbatas pada beberapa kota seperti Jakarta dan Yogyakarta.

Pengurangan Risiko Bencana: Dari Struktural ke Non-Struktural

A. Integrasi Manajemen Risiko Bencana

  • Lebih dari 100 juta orang (38% populasi) terpapar risiko banjir.
  • Kerugian akibat banjir dapat menurunkan PDB hingga 1,65% untuk kejadian banjir 50 tahunan.
  • Kebijakan nasional menekankan pentingnya integrasi pengelolaan air, tata ruang, dan mitigasi bencana.

B. Non-Structural Measures: Early Warning System & ICT

  • Sistem peringatan dini berbasis ICT dan data real-time menjadi rekomendasi utama.
  • CCTV dan sensor otomatis mulai digunakan untuk pemantauan debit sungai dan prediksi banjir.
  • Smartphone penetration di Indonesia sangat tinggi (238 juta pengguna), membuka peluang untuk early warning berbasis aplikasi.

C. Studi Kasus: Han River Flood Control Office, Korea

  • Korea berhasil menurunkan kerugian banjir secara signifikan dengan investasi besar pada sistem peringatan dini, integrasi data, dan penggunaan AI untuk prediksi banjir.
  • Pelajaran untuk Indonesia: Investasi pada sistem informasi dan integrasi data lintas lembaga sangat krusial.

Analisis Kritis: Apa yang Perlu Dibenahi?

1. Kelemahan Regulasi dan Insentif

  • Belum ada regulator ekonomi independen di tingkat nasional untuk sektor air (kecuali DKI Jakarta).
  • Penerapan pajak dan retribusi lingkungan masih lemah, sehingga insentif untuk efisiensi dan pengurangan polusi kurang efektif.

2. Ketergantungan pada Pendanaan Pemerintah Pusat

  • 80% pendapatan pemerintah daerah berasal dari transfer pusat, membatasi otonomi fiskal dan inovasi pembiayaan lokal.
  • Hanya 0,3% investasi air yang berasal dari pemerintah daerah.

3. Tantangan Implementasi LVC

  • 60% lahan di Indonesia belum terdaftar secara resmi, menyulitkan penerapan LVC.
  • Kapasitas administrasi daerah masih rendah, terutama di luar kota besar.

Rekomendasi Praktis dan Opini

A. Reformasi Tarif dan Regulasi

  • Perlu regulator ekonomi independen untuk mengawasi tarif, kinerja, dan investasi PDAM.
  • Tarif air harus berbasis formula yang mempertimbangkan biaya operasional, lingkungan, dan sosial, bukan sekadar seragam nasional.

B. Diversifikasi Sumber Pembiayaan

  • LVC harus diintegrasikan dalam perencanaan infrastruktur air dan mitigasi bencana, dengan dukungan regulasi dan kapasitas teknis di daerah.
  • Kolaborasi dengan sektor swasta dan skema PPP (Public-Private Partnership) perlu diperluas, dengan insentif fiskal dan jaminan pemerintah.

C. Penguatan Sistem Informasi dan Early Warning

  • Investasi pada ICT dan integrasi data lintas lembaga harus menjadi prioritas, termasuk pengembangan dashboard real-time dan aplikasi mobile untuk peringatan dini.
  • Pelatihan dan edukasi masyarakat tentang risiko bencana dan penggunaan teknologi harus digencarkan.

D. Tata Kelola dan Otonomi Daerah

  • Peningkatan kapasitas administrasi daerah dalam pengelolaan lahan, penilaian nilai tanah, dan penegakan regulasi sangat penting untuk keberhasilan LVC dan inovasi pembiayaan lainnya.
  • Penyederhanaan proses perizinan dan percepatan pendaftaran lahan akan mempercepat implementasi kebijakan baru.

Perbandingan dengan Praktik Global

  • Korea dan Jepang sukses menerapkan land readjustment dan LVC untuk membiayai infrastruktur air dan mitigasi bencana, didukung oleh sistem registrasi lahan yang kuat dan kapasitas administrasi tinggi.
  • Singapura menggunakan mekanisme akuisisi lahan dengan harga pra-pengembangan untuk menghindari spekulasi dan memastikan keadilan.
  • Brasil menunjukkan bahwa LVC dapat menjadi sumber pendanaan utama untuk infrastruktur kota, asalkan didukung regulasi dan transparansi.

Studi Kasus Inspiratif: Jakarta dan Urbanisasi

  • Jakarta menghadapi tantangan besar berupa penurunan tanah (hingga 12 cm/tahun) akibat ekstraksi air tanah berlebih dan kurangnya air perpipaan.
  • Proyek normalisasi sungai dan pembangunan tanggul didanai sebagian dari pajak dan retribusi lahan, namun potensi LVC belum dimaksimalkan.
  • Urbanisasi di Indonesia meningkat 15% dalam 20 tahun terakhir, dengan kebutuhan infrastruktur air dan mitigasi bencana yang terus melonjak.

Kesimpulan: Jalan Menuju Masa Depan Air dan Ketangguhan Bencana di Indonesia

Laporan OECD 2023 menegaskan bahwa masa depan pengelolaan air dan pengurangan risiko bencana di Indonesia sangat bergantung pada inovasi pembiayaan, reformasi regulasi, dan penguatan tata kelola. Kombinasi antara tarif air yang adil, penerapan LVC, investasi pada sistem informasi, dan penguatan kapasitas daerah akan menjadi kunci untuk mencapai target pembangunan berkelanjutan dan ketangguhan nasional.

Peluang besar terbuka jika Indonesia mampu mengintegrasikan pembiayaan inovatif, teknologi, dan tata kelola yang adaptif. Namun, tantangan implementasi, kapasitas, dan koordinasi lintas sektor harus segera diatasi agar transformasi ini tidak hanya menjadi wacana, tetapi nyata dirasakan oleh masyarakat luas.

Sumber Artikel:
OECD (2023), Water Financing and Disaster Risk Reduction in Indonesia: Highlights of a National Dialogue on Water, OECD Studies on Water, OECD Publishing, Paris.