Mendorong Produktivitas Indonesia: Transformasi Menuju “Enterprising Archipelago” 2045

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat

25 November 2025, 21.16

Indonesia memasuki fase penting dalam perjalanan ekonominya. Ambisi menjadi negara berpendapatan tinggi pada 2045 tidak lagi sekadar visi jangka panjang, tetapi tuntutan untuk mempercepat transformasi struktural secara menyeluruh. Laporan terbaru mengenai produktivitas Indonesia menunjukkan bahwa jalan menuju status negara maju bergantung pada dua fondasi utama: peningkatan produktivitas yang berkelanjutan dan perluasan skala perusahaan formal yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Tanpa keduanya, Indonesia berisiko terjebak dalam “middle-income trap”—situasi stagnasi produktivitas yang dialami berbagai negara berkembang di dunia.

Indonesia telah membuktikan kemampuan bertumbuh, dengan kenaikan pendapatan per kapita sekitar 60 persen sejak 2000 dan penurunan kemiskinan ekstrem ke bawah dua persen. Namun tren pertumbuhan yang melambat, kesenjangan regional yang lebar, serta urbanisasi besar-besaran yang belum efektif menunjukkan bahwa transformasi lebih dalam diperlukan. Kondisi demografis yang segera memasuki fase aging population menambah urgensi untuk mengandalkan produktivitas sebagai motor pertumbuhan utama.

Syok Produktivitas yang Dibutuhkan: Meningkat 1,6 Kali Lipat

Untuk mencapai pendapatan per kapita sekitar USD 14.000 pada 2045, Indonesia perlu mencatat pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,4 persen per tahun. Dengan perlambatan kontribusi demografi, hampir seluruh kenaikan harus datang dari produktivitas.

Analisis menunjukkan bahwa produktivitas perlu meningkat 1,6 kali lipat dari rerata dua dekade terakhir. Hal ini menuntut transformasi struktural besar: mempercepat investasi, menciptakan lebih banyak perusahaan berukuran menengah dan besar, serta meningkatkan teknologi yang digunakan oleh pekerja di seluruh sektor ekonomi.

Negara-negara seperti Tiongkok, Polandia, dan Korea Selatan yang telah berhasil naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi memiliki pola yang sama: peningkatan masif dalam jumlah perusahaan besar yang sanggup menyerap tenaga kerja produktif dan menciptakan nilai tambah tinggi.

Mengurangi Dominasi Sektor Informal: Membangun Ekosistem Korporasi yang Lebih Besar

Indonesia memiliki profil usaha yang unik: 97 persen unit usaha adalah mikro, dan 59 persen tenaga kerja bekerja di segmen yang produktivitasnya rendah dan cenderung informal. Kondisi ini memberikan mata pencaharian, tetapi membatasi kemampuan ekonomi untuk menaikkan upah, meningkatkan kapasitas inovasi, atau memenuhi kebutuhan industri modern.

Dalam simulasi menuju 2045:

  • Jumlah perusahaan menengah perlu ditingkatkan tiga kali lipat.

  • Jumlah perusahaan besar perlu ditingkatkan empat kali lipat.

  • Tenaga kerja di perusahaan besar harus naik dari 15 persen menjadi sekitar 31 persen.

Perubahan ini juga berkaitan dengan peningkatan signifikan dalam capital deepening, yaitu peningkatan aset fisik maupun digital per pekerja. Tanpa itu, pertumbuhan produktivitas sulit dicapai.

Transformasi ini tidak hanya tentang memperbesar skala perusahaan, tetapi juga mendorong integrasi rantai pasok, transfer teknologi, dan penciptaan ekosistem yang menumbuhkan ratusan ribu usaha formal baru.

Sektor Jasa Sebagai Motor Utama Pertumbuhan

Laporan menekankan bahwa sekitar 70 persen pertumbuhan PDB Indonesia hingga 2045 berpotensi datang dari sektor jasa. Bukan tanpa alasan: jasa menjadi ruang di mana produktivitas dapat meningkat melalui digitalisasi, teknologi AI, serta peningkatan kualitas tenaga kerja.

Beberapa subsektor dipandang strategis:

  • Perdagangan dan transportasi: dominan dalam tenaga kerja namun tertinggal dalam produktivitas dibanding Malaysia atau Thailand.

  • Pariwisata: peluang besar dari perbaikan kualitas layanan, infrastruktur, dan aksesibilitas.

  • Jasa profesional dan keuangan: masih sangat kecil sebagai bagian dari ekonomi, tetapi memiliki produktivitas jauh lebih tinggi dan kuat mendorong inovasi.

Di berbagai negara, lonjakan ekonomi terjadi ketika jasa modern (keuangan, teknologi, riset, telekomunikasi) mulai berkembang pesat. Indonesia belum berada di fase tersebut—yang berarti ruang pertumbuhan sangat besar.

Revitalisasi Manufaktur dan Peluang Rantai Pasok Global

Peran manufaktur Indonesia menurun dari 32 persen PDB pada 2002 menjadi sekitar 19 persen saat ini. Ini salah satu tantangan serius, karena banyak negara yang mencapai pendapatan tinggi melakukannya melalui industrialisasi yang kuat.

Namun analisis menunjukkan peluang baru yang dapat dimanfaatkan:

  • Kekuatan cadangan nikel Indonesia dapat menjadi fondasi industri hilir EV battery global, bukan hanya ekspor bahan mentah.

  • Sektor kimia, makanan-minuman, tekstil, dan elektronik memiliki potensi naik kelas dengan investasi teknologi menengah dan integrasi rantai pasok global.

  • Reorientasi rantai pasok dunia akibat geopolitik membuka ruang bagi negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, untuk menjadi lokasi alternatif industri manufaktur.

Kuncinya adalah peningkatan teknologi, insentif investasi, dan pembangunan ekosistem industri yang mendukung.

Urbanisasi Efektif: Infrastruktur dan “X-Minutes City”

Dengan proyeksi 70 juta tambahan penduduk kota hingga 2045, urbanisasi bisa menjadi sumber produktivitas—bukan beban. Namun itu hanya terjadi jika infrastruktur perkotaan disiapkan secara tepat.

Laporan menyoroti pentingnya konsep “x-minutes city” atau kota dengan mobilitas terjangkau dalam hitungan menit. Negara seperti Singapura dan Spanyol telah menciptakan model urban yang meningkatkan kualitas hidup sekaligus efisiensi ekonomi melalui:

  • transportasi publik terintegrasi,

  • tata ruang yang kompak,

  • pengurangan waktu tempuh,

  • investasi ruang publik,

  • layanan dasar yang terdistribusi merata.

Tanpa transformasi urbanisasi, pekerja sektor informal akan terus membanjiri kota tanpa peluang naik kelas ke pekerjaan formal.

Lima Modal Utama yang Harus Diperkuat Bersama

Laporan menggarisbawahi bahwa transformasi produktivitas memerlukan lima jenis modal yang bergerak serempak:

1. Modal Keuangan
Indonesia memiliki tingkat tabungan tinggi, tetapi belum memiliki sistem keuangan dalam yang mampu menyalurkan dana secara efisien. Aset pensiun dan asuransi masih sangat kecil sebagai porsi PDB.

2. Modal Manusia
Skor PISA melemah, angka lulusan menengah masih rendah, mismatch keterampilan tinggi. Indonesia harus memperbaiki kualitas guru, vokasi, serta kapasitas riset agar mampu menciptakan tenaga kerja yang sesuai kebutuhan industri.

3. Modal Institusional
Regulasi yang tumpang tindih dan birokrasi yang tidak konsisten antara pusat-daerah menghambat ekspansi usaha dan investasi.

4. Modal Infrastruktur
Kesenjangan logistik, pelabuhan yang tidak efisien, dan konektivitas antarwilayah masih menjadi hambatan terbesar bagi pertumbuhan usaha.

5. Modal Kewirausahaan
Jumlah bisnis formal baru masih sangat rendah. Ketersediaan pendanaan ventura, inkubasi, dan dukungan teknologi perlu diperluas secara signifikan.

Kelima modal ini bukan berdiri sendiri—kegagalan di salah satunya dapat menghambat transformasi secara keseluruhan.

Penutup: Menuju Indonesia yang Lebih Produktif dan Kompetitif

Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi ekonomi maju sebelum 2045. Namun skenario tersebut menuntut transformasi yang jauh lebih dalam daripada sekadar pertumbuhan PDB.

Perluasan perusahaan formal, peningkatan kualitas tenaga kerja, modernisasi layanan publik, dan pembangunan infrastruktur yang lebih terencana merupakan prasyarat agar Indonesia dapat menjadi “enterprising archipelago”—sebuah ekonomi kepulauan yang tidak hanya besar, tetapi juga produktif, inovatif, dan kompetitif secara global.

 

Daftar Pustaka

The Enterprising Archipelago: Propelling Indonesia’s Productivity. McKinsey Global Institute.