Menciptakan Lanskap Perdagangan yang Lebih Efisien: Tantangan E-Commerce, Kebijakan Impor, dan Reformasi Fasilitasi Perdagangan Indonesia

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat

25 November 2025, 20.57

Transformasi ekonomi Indonesia semakin ditentukan oleh kemampuan negara mengelola arus barang lintas batas dengan cepat, murah, dan transparan. Di tengah pertumbuhan ekonomi digital, integrasi Indonesia dengan rantai pasok global bergantung pada kualitas kebijakan perdagangan, termasuk regulasi impor, aturan e-commerce lintas negara, serta kapasitas institusi untuk memastikan proses perdagangan berjalan tanpa hambatan.

Laporan terbaru sektor fasilitasi perdagangan menunjukkan bahwa Indonesia menghadapi tekanan di dua sisi: kebutuhan melindungi UMKM dan industri domestik, serta tuntutan menjaga iklim usaha yang terbuka agar investasi dan perdagangan internasional tetap tumbuh. Ketegangan antara dua kepentingan ini terlihat jelas pada kebijakan e-commerce dan impor yang beberapa tahun terakhir mengalami revisi berulang, menciptakan ketidakpastian bagi pelaku usaha dan konsumen.

 

E-Commerce: Pertumbuhan Cepat yang Berhadapan dengan Regulasi Ketat

Pertumbuhan e-commerce Indonesia beberapa tahun terakhir sangat pesat. Lebih dari 2,9 juta pelaku usaha tercatat berpartisipasi dalam perdagangan digital, dan sebagian besar merupakan UMKM. Hal ini menunjukkan bahwa digitalisasi mampu memperluas akses pasar sekaligus mendukung daya saing usaha kecil.

Namun langkah pemerintah menerbitkan aturan yang membatasi penjualan barang impor bernilai di bawah USD 100 secara langsung kepada konsumen domestik telah menciptakan perdebatan. Regulasi tersebut dimaksudkan menahan masuknya barang murah yang dinilai mengganggu UMKM. Tetapi dampaknya lebih luas: pilihan konsumen menyempit, harga barang tertentu naik, dan investasi platform asing menurun karena kebijakan dianggap diskriminatif.

Wawancara kasus dalam laporan menggambarkan pengalaman konsumen yang tidak lagi menemukan produk impor spesifik dan harus beralih ke barang lokal yang lebih mahal. Situasi ini memperlihatkan bahwa perlindungan berlebihan dapat menciptakan distorsi pasar dan menghambat inovasi. Selain itu, pertumbuhan e-commerce Indonesia melambat dibanding negara tetangga seperti Vietnam dan Thailand, yang sebagian didorong oleh fleksibilitas kebijakan mereka dalam perdagangan lintas batas.

Di kawasan Asia Tenggara, tren kebijakan justru bergerak menuju pemungutan pajak bernilai tambah (VAT) bagi seluruh barang impor, bukan pembatasan nilai minimum. Negara seperti Thailand bahkan menghapus batas de minimis dan memilih skema pajak yang lebih adaptif. Model seperti ini dinilai lebih efektif menjaga keadilan persaingan sekaligus mempertahankan akses konsumen terhadap produk global.

 

Kebijakan Impor: Kompleksitas dan Ketidakpastian yang Menghambat Dunia Usaha

Selain e-commerce, kebijakan impor Indonesia juga mengalami perubahan signifikan. Regulasi baru memperketat izin impor melalui kewajiban persetujuan teknis (Pertek) dan dokumen pelengkap lain. Meskipun bertujuan meningkatkan pengawasan produk dan melindungi industri domestik, implementasinya menimbulkan kemacetan barang di pelabuhan hingga ribuan kontainer tertahan akibat dokumen yang tidak lengkap atau sistem administrasi yang belum siap.

Revisi bertubi-tubi dalam waktu singkat memperburuk keadaan. Perubahan aturan yang terjadi tiga kali dalam dua bulan membuat pelaku usaha kesulitan merencanakan impor dan mengelola risiko. Bagi perusahaan yang bergantung pada jaringan pasokan global, ketidakpastian semacam ini meningkatkan biaya dan berpotensi menurunkan daya saing Indonesia dalam menarik investasi manufaktur.

Sebagian hambatan disebabkan oleh kurangnya transparansi dalam penetapan kuota impor dan lemahnya koordinasi antarlembaga yang mengawasi barang masuk. Dengan sistem yang tidak konsisten, risiko korupsi dan praktik rente meningkat, memunculkan biaya tambahan yang tidak diperlukan. Selain mempengaruhi dunia usaha, konsumen pun merasakan efeknya melalui harga barang yang lebih tinggi dan ketersediaan produk yang terbatas.

Dalam konteks global, lisensi impor lazim digunakan untuk alasan keamanan, kesehatan, dan perlindungan konsumen. Negara-negara seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa menerapkan standar ketat tetapi menggunakan sistem yang transparan, berbasis risiko, dan didukung infrastruktur digital yang memadai. Pelajaran ini relevan bagi Indonesia untuk menyusun sistem yang lebih efisien.

 

Praktik Internasional yang Dapat Diadaptasi

Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa mekanisme perizinan impor yang efektif bergantung pada tiga elemen: transparansi, digitalisasi, dan penilaian risiko. Sistem elektronik seperti yang diterapkan Uni Eropa dan Singapura memungkinkan integrasi menyeluruh antara perizinan dan kepabeanan sehingga proses menjadi cepat dan minim kesalahan.

Sementara itu, negara-negara seperti Australia menerapkan pendekatan berbasis risiko, yang hanya mewajibkan izin impor untuk produk berisiko tinggi seperti bahan pertanian atau produk berbahaya. Pendekatan ini mengurangi beban administrasi tanpa mengorbankan keamanan konsumen.

Model pelibatan pemangku kepentingan juga menjadi faktor penting. Di banyak negara, bisnis dan asosiasi industri terlibat aktif dalam penyusunan maupun evaluasi kebijakan, sehingga aturan lebih realistis, dapat dipatuhi, dan meminimalkan risiko penolakan atau revisi mendadak.

 

Rekomendasi Menuju Kebijakan Perdagangan yang Lebih Maju

Untuk menciptakan lanskap perdagangan yang lebih efisien dan kompetitif, Indonesia perlu mempertimbangkan sejumlah perbaikan strategis:

  • Membangun strategi perdagangan jangka panjang
    Kebijakan impor memerlukan panduan strategis yang jelas, bukan respons ad hoc terhadap tekanan publik. Analisis ekosistem rantai pasok harus menjadi dasar perumusan kebijakan baru.

  • Meningkatkan transparansi dan konsistensi regulasi
    Sistem perizinan harus menyediakan informasi yang mudah diakses terkait persyaratan, kuota, dan tarif, sehingga pelaku usaha dapat merencanakan lebih baik.

  • Meninjau ulang pembatasan e-commerce
    Alih-alih membatasi nilai barang yang dapat masuk, pengenaan pajak seperti VAT pada seluruh transaksi lintas negara dapat menjadi solusi yang lebih setara.

  • Memperkuat infrastruktur digital perizinan
    Sistem seperti Indonesia National Single Window perlu diperbarui agar mampu memproses dokumen secara otomatis, cepat, dan terintegrasi.

  • Memastikan pelibatan sektor swasta
    Dialog publik–swasta yang lebih terstruktur akan membantu menciptakan kebijakan yang seimbang antara perlindungan industri dan kebutuhan konsumen.

 

Kesimpulan: Menyeimbangkan Proteksi dan Keterbukaan

Indonesia berada pada titik kritis dalam menentukan arah kebijakan perdagangan. Di satu sisi, perlindungan bagi UMKM dan industri domestik penting untuk menjaga daya saing jangka pendek. Namun keterbukaan terhadap inovasi, investasi, dan perdagangan global adalah syarat utama agar ekonomi digital dapat tumbuh kuat.

Dengan memperbaiki tata kelola, menyederhanakan proses impor, dan merumuskan kebijakan e-commerce yang lebih adaptif, Indonesia dapat membangun ekosistem perdagangan yang tidak hanya efisien dan kompetitif, tetapi juga inklusif dan berorientasi masa depan.

 

Daftar Pustaka

ABC Sector Overview Report – Trade Facilitation Sector (pp. 131–150).