Mencegah Kecelakaan Galian Konstruksi: Pelajaran dari Amerika Serikat untuk Kebijakan K3 di Indonesia

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana

06 Oktober 2025, 13.20

Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan

Penelitian Özge Akboğa Kale (2021) yang berjudul “Characteristic Analysis and Prevention Strategy of Trench Collapse Accidents in the U.S., 1995–2020” memberikan kontribusi penting dalam memahami akar penyebab dan pola kecelakaan galian (trench collapse) di industri konstruksi. Studi ini menganalisis data kecelakaan selama 25 tahun terakhir, menunjukkan bahwa sebagian besar korban merupakan pekerja lapangan berpengalaman yang bekerja tanpa perlindungan memadai seperti penyangga dinding galian, ventilasi, dan pengawasan keselamatan aktif.

Kecelakaan galian termasuk jenis kecelakaan yang paling mematikan di sektor konstruksi karena terjadi tiba-tiba dan sulit diselamatkan setelah runtuhan terjadi. Di Amerika Serikat, data Occupational Safety and Health Administration (OSHA) menunjukkan bahwa lebih dari 70% kecelakaan galian terjadi akibat pelanggaran terhadap prosedur keselamatan dasar, seperti tidak menggunakan sistem penahan tanah atau menggali terlalu dalam tanpa kajian geoteknik.

Temuan ini menjadi alarm penting bagi pembuat kebijakan publik, termasuk di Indonesia, yang masih sering mengabaikan pengawasan terhadap pekerjaan galian di proyek infrastruktur besar. Kondisi serupa juga pernah dibahas oleh DiklatKerja dalam artikel Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi untuk Mencegah Kegagalan Bangunan.

Penelitian Kale menegaskan bahwa kecelakaan bukan semata akibat kurangnya pengetahuan, melainkan lemahnya sistem pengawasan dan budaya keselamatan di tingkat manajemen proyek. Dengan demikian, kebijakan publik harus diarahkan untuk memperkuat standar K3 berbasis data empiris, termasuk pada pekerjaan berisiko tinggi seperti galian.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Implementasi kebijakan keselamatan galian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa pendekatan berbasis data dan audit lapangan rutin dapat menurunkan angka kecelakaan hingga 40% dalam satu dekade terakhir. Setiap proyek diwajibkan memiliki Competent Person—seseorang yang ditunjuk secara resmi dan bertanggung jawab mengidentifikasi bahaya galian dan memastikan kepatuhan terhadap standar OSHA Subpart P.

Namun, implementasi semacam ini masih menghadapi berbagai hambatan. Pertama, banyak kontraktor kecil yang tidak memiliki sumber daya cukup untuk menyewa ahli geoteknik atau menyediakan alat pelindung tanah seperti trench box. Kedua, tekanan biaya dan waktu menyebabkan pekerja sering mengabaikan prosedur keselamatan demi mengejar target. Ketiga, data kecelakaan sering kali tidak dilaporkan dengan baik, sehingga penyusunan kebijakan berbasis bukti menjadi sulit.

Indonesia menghadapi tantangan serupa. Berdasarkan evaluasi dari Kementerian PUPR dan catatan DiklatKerja, sebagian besar proyek galian di dalam negeri belum mewajibkan shoring system atau trench shield, terutama untuk proyek non-strategis. Akibatnya, risiko runtuhan tanah tetap tinggi, terutama pada pekerjaan di area padat penduduk dengan kondisi tanah labil.

Meskipun demikian, peluang untuk memperbaiki sistem pengawasan sangat besar. Indonesia kini telah memiliki Sistem Informasi Jasa Konstruksi (SIJK) dan program pelatihan digital seperti Pelatihan K3 untuk Pekerja Konstruksi yang diselenggarakan oleh LPJK dan berbagai lembaga seperti DiklatKerja. Digitalisasi pelaporan insiden, pelatihan daring, dan safety compliance audit berbasis data dapat menjadi langkah strategis untuk memperkuat sistem keselamatan nasional.

Relevansi untuk Indonesia

Konteks Indonesia memiliki kesamaan struktural dengan kasus di Amerika Serikat: banyak proyek dilakukan oleh subkontraktor dengan sistem pengawasan berlapis. Berdasarkan data dari Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah (BPIW), sekitar 30% proyek konstruksi di Indonesia melibatkan pekerjaan galian, baik untuk jaringan utilitas, fondasi, maupun drainase. Namun, regulasi spesifik yang mengatur keselamatan kerja galian belum tertulis secara eksplisit dalam standar nasional seperti Permen PUPR No. 10 Tahun 2021.

Hasil penelitian Kale menunjukkan bahwa kebijakan yang berhasil mencegah kecelakaan galian biasanya mengandung tiga elemen penting:

  1. Kewajiban inspeksi pra-pekerjaan dan audit keselamatan harian.

  2. Penerapan teknologi geoteknik sederhana seperti sensor tekanan tanah atau kemiringan dinding galian.

  3. Sanksi tegas dan insentif bagi kontraktor yang menerapkan sistem keselamatan dengan baik.

Penerapan ketiga elemen ini di Indonesia akan membawa perubahan signifikan. Sebagai contoh, jika kontraktor diwajibkan melaporkan data keselamatan proyek ke sistem digital Kementerian PUPR setiap minggu, maka analisis risiko nasional dapat dilakukan secara lebih akurat.

Selain itu, kebijakan mengenai pengawasan galian juga relevan dengan target Sustainable Development Goals (SDG) 8.8, yaitu “mempromosikan lingkungan kerja yang aman bagi semua pekerja.” Dengan memperkuat sistem pelatihan dan audit berbasis teknologi, Indonesia dapat menurunkan angka kecelakaan di sektor konstruksi hingga 30% dalam lima tahun ke depan, sejalan dengan program nasional keselamatan kerja.

Rekomendasi Kebijakan

Berdasarkan temuan penelitian Kale dan relevansinya terhadap kondisi Indonesia, berikut lima rekomendasi kebijakan publik yang dapat diterapkan:

  1. Pembentukan Standar Nasional Pekerjaan Galian Aman (SNPGA).
    Pemerintah perlu menetapkan standar teknis dan operasional untuk pekerjaan galian, mencakup kedalaman maksimal tanpa penahan, metode penimbunan kembali, dan sistem inspeksi harian.

  2. Pelatihan Wajib “Competent Person” untuk Semua Proyek Konstruksi.
    Setiap kontraktor wajib memiliki personel bersertifikat K3 Galian yang telah mengikuti pelatihan seperti yang ditawarkan oleh DiklatKerja dan LPJK.

  3. Integrasi Digital Safety Logbook.
    Sistem pelaporan online yang merekam kegiatan inspeksi harian, foto lokasi, dan kondisi galian dapat menjadi alat audit dan bukti kepatuhan terhadap regulasi.

  4. Skema Insentif dan Penalti Terukur.
    Kontraktor yang tidak melaporkan insiden atau pelanggaran dapat dikenai denda dan larangan ikut tender; sebaliknya, perusahaan dengan nol kecelakaan mendapat potongan retribusi sertifikasi.

  5. Program Edukasi Publik tentang Keselamatan Konstruksi.
    Melibatkan masyarakat sekitar proyek melalui sosialisasi dan sistem pelaporan publik (community-based safety monitoring) agar budaya keselamatan menjadi tanggung jawab bersama.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Meskipun kebijakan keselamatan galian tampak ideal di atas kertas, ada sejumlah risiko kegagalan implementasi yang perlu diantisipasi. Pertama, regulasi sering kali disusun tanpa memperhitungkan kemampuan finansial kontraktor kecil, sehingga penerapannya sulit di lapangan. Kedua, pengawasan sering kali tidak independen karena auditor berasal dari perusahaan pelaksana proyek itu sendiri. Ketiga, kurangnya integrasi data antar lembaga (Kementerian PUPR, Disnaker, dan BNSP) membuat tindak lanjut terhadap pelanggaran menjadi lambat.

Selain itu, kebijakan keselamatan tanpa program edukasi dan sosialisasi publik berisiko gagal menciptakan budaya keselamatan yang berkelanjutan. 

Penutup

Penelitian Özge Akboğa Kale (2021) menegaskan bahwa keselamatan dalam pekerjaan galian adalah indikator kedewasaan sistem manajemen proyek konstruksi. Tragedi galian bukan sekadar kesalahan teknis, tetapi cerminan kegagalan sistem kebijakan publik dalam menegakkan standar keselamatan. Indonesia perlu mengambil pelajaran dari Amerika Serikat dengan membangun kebijakan berbasis data, memperkuat pelatihan profesional, dan memanfaatkan teknologi untuk pengawasan yang transparan.

Dengan langkah kebijakan yang komprehensif dan kolaboratif—melibatkan pemerintah, akademisi, asosiasi profesi, dan masyarakat—Indonesia dapat menekan angka kecelakaan konstruksi secara signifikan dan menjadikan sektor ini lebih aman, produktif, dan berdaya saing global.

Sumber

Kale, Ö. A. (2021). Characteristic Analysis and Prevention Strategy of Trench Collapse Accidents in the U.S., 1995–2020. Revista de la Construcción, Vol. 20, No. 3, 617–631.