Mempersiapkan Lulusan Teknik Sipil Indonesia untuk Dunia Kerja: Apa yang Sebenarnya Dibutuhkan Industri?

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

18 April 2025, 09.14

Pixabay.com

Mengapa Kompetensi Lulusan Teknik Sipil Masih Dipertanyakan?

Industri konstruksi di Indonesia memang terus berkembang, menyumbang sekitar 6% terhadap PDB dan mempekerjakan lebih dari 8,3 juta orang. Namun, hanya sekitar 20% dari jumlah tersebut yang benar-benar dianggap sebagai ahli konstruksi. Bahkan, hanya 17% yang memiliki sertifikat keahlian resmi dari Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional. Ini mengindikasikan adanya kesenjangan kompetensi yang cukup serius. Di sinilah letak masalah utamanya: bagaimana universitas dapat meluluskan mahasiswa yang benar-benar siap kerja?

Studi Ini dan Pendekatan Penelitiannya

Penelitian oleh Fitriani dan Ajayi menggunakan pendekatan mixed method—gabungan kualitatif dan kuantitatif—untuk mengeksplorasi apa saja kompetensi yang paling dibutuhkan industri dari lulusan teknik sipil. Mereka melakukan wawancara dengan enam perusahaan yang secara aktif merekrut lulusan baru dan menyebarkan kuesioner kepada 500 profesional, dengan tingkat respons mencapai 63% (313 orang).

Setelah dianalisis dengan exploratory factor analysis, ditemukan 10 kelompok kompetensi utama yang dianggap sangat krusial.

10 Kompetensi Inti yang Harus Dimiliki Lulusan Teknik Sipil

1. Interpersonal Management Skills (16,23% varian total)

Kompetensi ini termasuk kemampuan bekerja dalam tim, kepemimpinan, loyalitas, dan tanggung jawab. Menariknya, justru kompetensi lunak seperti ini yang paling diutamakan dibanding keterampilan teknis. Model Iceberg dari Spencer & Spencer (2008) mendukung temuan ini—sekitar 80% keberhasilan kerja ditentukan oleh karakter, motivasi, dan sikap, bukan sekadar pengetahuan teknis.

2. Kepribadian Positif (8,83%)

Termasuk di dalamnya motivasi diri, integritas, dan rasa hormat. Ini menunjukkan bahwa perusahaan lebih memilih pekerja yang bisa beradaptasi dan menciptakan lingkungan kerja nyaman, dibandingkan mereka yang hanya jago secara teknis.

3. Kemampuan Wirausaha dan Bisnis (8,8%)

Di tengah minimnya pendidikan kewirausahaan di kampus, kompetensi ini justru dianggap vital. Lulusan yang mampu membuat perencanaan bisnis, mengembangkan produk baru, dan berkontribusi pada pertumbuhan usaha akan lebih mudah direkrut, atau bahkan menjadi entrepreneur sendiri.

4. Literasi Digital dan Teknologi (8,2%)

Kemampuan menggunakan BIM (Building Information Modeling), AutoCAD, dan pemahaman digitalisasi data sangat dihargai. Di era industri 4.0, teknologi sudah menjadi syarat wajib untuk berkarier di sektor konstruksi.

5. Kemampuan Kerja Tim (6,23%)

Skill ini mencakup kemampuan berkolaborasi, menerima keputusan kelompok, dan menyelesaikan konflik. Kampus dapat mendorong keterampilan ini lewat tugas kelompok dan simulasi proyek.

6. Kemampuan Teknik Sipil Dasar (5,65%)

Meskipun esensial, pengetahuan teknis seperti prinsip desain dan formulasi masalah hanya menduduki peringkat ke-6. Ini menegaskan bahwa keterampilan teknis diasumsikan sudah menjadi "modal awal", namun belum cukup tanpa soft skills.

7. Pengetahuan Geoteknik (4,83%)

Dalam proyek konstruksi, pemahaman tentang struktur tanah, stabilitas lereng, dan kapasitas beban sangat diperlukan. Ini sering menjadi titik lemah lulusan karena kurang praktik lapangan.

8. Komunikasi Efektif (4,59%)

Perusahaan mengeluhkan lemahnya kemampuan komunikasi teknis, baik lisan maupun tertulis. Lulusan harus mampu mempresentasikan ide dan berkomunikasi dengan berbagai pihak, termasuk lintas budaya.

9. Client-Oriented Thinking (3,24%)

Memahami kebutuhan dan harapan klien sangat penting dalam proyek berbasis tender. Kepuasan klien bisa menjadi tolok ukur keberhasilan proyek dan peluang proyek berikutnya.

10. Mental Kuat dan Sikap Positif (2,13%)

Tekanan pekerjaan di dunia konstruksi sangat tinggi. Kemampuan mengelola stres dan tetap positif menjadi nilai tambah yang tidak boleh diabaikan.

Studi Kasus: Apa yang Terjadi di Dunia Nyata?

Data dari BPS (2018) menunjukkan bahwa 83% pekerja konstruksi belum bersertifikasi. Ini menunjukkan tantangan besar dalam peningkatan kualitas SDM. Sementara itu, hasil survei terhadap 313 responden menunjukkan bahwa integritas menjadi kompetensi yang paling sering disebut, meski akhirnya dihapus dalam analisis karena tidak memenuhi uji reliabilitas (Cronbach Alpha jika dihapus = 0,984).

Menariknya, walau universitas masih fokus pada aspek akademis dan teori, perusahaan justru menaruh bobot lebih pada kepribadian dan fleksibilitas individu. Seorang lulusan dengan nilai bagus tapi lemah dalam komunikasi dan kerja tim bisa kalah bersaing dengan kandidat lain yang secara akademik lebih biasa tapi memiliki soft skills kuat.

Apa yang Harus Dilakukan Kampus dan Mahasiswa?

Penelitian ini menyarankan transformasi kurikulum dari yang semata-mata berbasis teori menuju pendekatan praktikal dan berbasis kebutuhan industri. Beberapa rekomendasi strategis yang bisa dilakukan:

  • Integrasi tugas bisnis dalam mata kuliah teknik.
  • Penggunaan BIM dan teknologi digital dalam pembelajaran proyek.
  • Kolaborasi lebih erat dengan industri melalui program magang yang berbobot.
  • Kegiatan yang mendorong pembentukan karakter, seperti pelatihan kepemimpinan dan kerja sosial.
  • Mata kuliah komunikasi teknis dan pengembangan diri secara eksplisit.

Bandingkan dengan Penelitian Sebelumnya

Penelitian ini menegaskan temuan dari Male et al. (2011) di Australia dan Zaheer et al. (2020) di Inggris, yang menyebutkan bahwa kompetensi generik seperti komunikasi, kerja tim, dan manajemen diri adalah kunci kesuksesan karier. Namun, pendekatan Fitriani dan Ajayi lebih kontekstual dengan fokus di Indonesia dan menyasar data kuantitatif langsung dari pelaku industri, sehingga hasilnya lebih relevan secara lokal.

Kesimpulan: Soft Skills Lebih Mahal daripada Nilai IPK?

Jelas terlihat bahwa IPK tinggi bukan jaminan sukses di dunia kerja teknik sipil. Justru soft skills—yang selama ini mungkin dianggap "tambahan"—menjadi pembeda utama. Ini menjadi pengingat keras bagi universitas dan mahasiswa bahwa penguasaan teknis saja tidak cukup. Dibutuhkan karakter yang kuat, sikap positif, serta kemampuan bekerja sama dan berinovasi.

Dengan adanya hasil studi ini, diharapkan universitas di Indonesia tidak lagi terpaku pada metode konvensional. Pembelajaran teknik sipil masa kini harus berbasis proyek nyata, kolaboratif, dan berorientasi pada dunia kerja. Mahasiswa pun harus proaktif membangun kapasitas diri di luar kelas—ikut organisasi, pelatihan digital, hingga proyek kewirausahaan.

Sumber artikel asli:
Fitriani, H. & Ajayi, S.O. (2021). Preparing Indonesian Civil Engineering Graduates for the World of Work. Industry and Higher Education. ISSN 0950-4222.