Memimpin Lewat Aksi: Pelajaran Transformasi Ekonomi Sirkular dari Praktik Bisnis Indonesia

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat

22 Desember 2025, 11.22

1. Pendahuluan: Ketika Transformasi Dimulai dari Keputusan Nyata

Transisi menuju ekonomi sirkular sering dibingkai sebagai agenda kebijakan jangka panjang yang menunggu regulasi, insentif, atau kesepakatan global. Namun dalam praktiknya, perubahan sering kali dimulai dari keputusan aktor di lapangan—pelaku usaha yang memilih jalur berbeda meskipun menghadapi ketidakpastian pasar dan biaya awal yang lebih tinggi. Di sinilah kepemimpinan dalam ekonomi sirkular menemukan maknanya: bukan pada retorika, melainkan pada tindakan.

Artikel ini menyoroti bagaimana transformasi ekonomi sirkular di Indonesia digerakkan oleh kepemimpinan berbasis aksi. Pelaku usaha tidak menunggu sistem menjadi sempurna, tetapi mulai bereksperimen dengan model bisnis, rantai pasok, dan pendekatan kolaboratif yang lebih berkelanjutan. Pendekatan ini memperlihatkan bahwa ekonomi sirkular bukan hanya hasil kebijakan top-down, tetapi juga proses pembelajaran yang tumbuh dari praktik.

Dalam konteks Indonesia, kepemimpinan berbasis aksi memiliki signifikansi tersendiri. Struktur pasar yang masih berkembang, keterbatasan infrastruktur, dan persepsi konsumen yang belum matang membuat transisi sirkular tidak selalu rasional secara jangka pendek. Namun justru dalam kondisi inilah keputusan untuk bertindak menjadi penentu arah perubahan.

Dengan pendekatan analitis, artikel ini membahas ekonomi sirkular melalui lensa kepemimpinan praktis. Fokusnya bukan pada daftar inisiatif, tetapi pada pelajaran struktural: apa yang mendorong pelaku usaha mengambil langkah sirkular, tantangan apa yang mereka hadapi, dan bagaimana tindakan tersebut berkontribusi pada perubahan sistem yang lebih luas.

 

2. Motivasi Pelaku Usaha: Antara Nilai, Risiko, dan Peluang Jangka Panjang

Keputusan pelaku usaha untuk mengadopsi prinsip ekonomi sirkular jarang didorong oleh satu faktor tunggal. Motivasi yang muncul umumnya merupakan kombinasi antara nilai, kalkulasi risiko, dan visi jangka panjang. Dalam banyak kasus, kepedulian lingkungan menjadi titik awal, tetapi tidak cukup untuk menopang transformasi tanpa justifikasi ekonomi yang masuk akal.

Sebagian pelaku usaha melihat ekonomi sirkular sebagai strategi diferensiasi. Di pasar yang semakin kompetitif, pendekatan berkelanjutan menawarkan narasi nilai yang membedakan produk dan layanan. Namun diferensiasi ini juga membawa risiko, terutama ketika konsumen belum sepenuhnya menghargai nilai keberlanjutan dalam keputusan pembelian mereka.

Motivasi lain yang semakin menguat adalah manajemen risiko jangka panjang. Ketergantungan pada bahan baku primer, volatilitas harga, dan tekanan regulasi mendorong pelaku usaha mencari model yang lebih tangguh. Dalam konteks ini, ekonomi sirkular dipahami bukan sebagai biaya tambahan, tetapi sebagai investasi ketahanan bisnis.

Selain itu, terdapat motivasi yang bersifat eksperimental. Beberapa pelaku usaha memandang ekonomi sirkular sebagai ruang inovasi, tempat mereka dapat menguji model bisnis baru dan membangun kapabilitas yang belum dimiliki pesaing. Pendekatan ini menempatkan aksi sebagai sarana belajar, di mana kegagalan awal dipandang sebagai bagian dari proses transformasi.

Motivasi-motivasi ini menunjukkan bahwa kepemimpinan dalam ekonomi sirkular tidak selalu lahir dari kepastian. Justru, ia tumbuh dari keberanian mengambil keputusan dalam kondisi tidak sempurna, dengan keyakinan bahwa perubahan sistemik hanya dapat terjadi jika ada aktor yang bersedia melangkah lebih dulu.

 

3. Tantangan Nyata di Lapangan: Biaya, Pasar, dan Persepsi Konsumen

Meskipun motivasi untuk beralih ke ekonomi sirkular semakin kuat, implementasinya dihadapkan pada tantangan yang sangat nyata. Biaya awal menjadi hambatan paling sering disebut. Investasi pada desain ulang produk, perubahan rantai pasok, dan pengembangan sistem pengumpulan sering kali lebih mahal dibandingkan mempertahankan praktik linear yang sudah mapan.

Tantangan biaya ini diperparah oleh keterbatasan skala. Banyak inisiatif sirkular dimulai dari volume kecil, sehingga sulit mencapai efisiensi biaya. Tanpa kepastian permintaan, pelaku usaha berada dalam dilema antara memperluas skala dan menanggung risiko finansial yang lebih besar.

Pasar juga belum sepenuhnya matang. Persepsi konsumen terhadap produk sirkular masih beragam, mulai dari apresiasi terhadap nilai keberlanjutan hingga keraguan terhadap kualitas dan harga. Dalam konteks ini, pelaku usaha tidak hanya menjual produk, tetapi juga mengedukasi pasar, sebuah proses yang membutuhkan waktu dan sumber daya.

Selain itu, struktur pasar yang ada sering kali tidak mendukung inovasi sirkular. Produk konvensional dengan harga murah dan eksternalitas lingkungan yang tidak tercermin dalam harga membuat produk sirkular sulit bersaing. Kondisi ini menunjukkan bahwa tantangan yang dihadapi pelaku usaha bersifat sistemik, bukan sekadar persoalan manajemen internal.

 

4. Kolaborasi sebagai Strategi Bertahan dan Bertumbuh

Menghadapi tantangan sistemik, banyak pelaku usaha sirkular di Indonesia mengandalkan kolaborasi sebagai strategi utama. Kolaborasi memungkinkan pembagian risiko, penggabungan sumber daya, dan penciptaan skala yang sulit dicapai secara individual. Dalam ekonomi sirkular, kolaborasi bukan pilihan tambahan, melainkan prasyarat keberhasilan.

Kolaborasi terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari kemitraan rantai pasok, kerja sama lintas sektor, hingga keterlibatan komunitas dan pemerintah daerah. Melalui kolaborasi, pelaku usaha dapat mengamankan pasokan bahan baku sekunder, memperluas akses pasar, dan meningkatkan legitimasi model sirkular di mata publik.

Pendekatan kolaboratif juga mempercepat pembelajaran. Dengan berbagi pengalaman dan praktik, pelaku usaha dapat menghindari pengulangan kesalahan dan mengadopsi solusi yang telah teruji. Dalam konteks ini, kepemimpinan tidak lagi dipahami sebagai dominasi, tetapi sebagai kemampuan mengorkestrasi kerja bersama.

Namun kolaborasi juga memiliki tantangan tersendiri. Perbedaan kepentingan, kapasitas, dan ekspektasi dapat menghambat kerja sama jangka panjang. Tanpa kerangka tata kelola yang jelas, kolaborasi berisiko menjadi simbolis dan tidak menghasilkan dampak nyata. Oleh karena itu, peran fasilitasi dan regulasi tetap diperlukan untuk memastikan kolaborasi berjalan efektif.

 

5. Peran Negara sebagai Enabler Transisi Ekonomi Sirkular

Pengalaman pelaku usaha menunjukkan bahwa kepemimpinan berbasis aksi memiliki batas ketika berhadapan dengan struktur pasar dan regulasi yang belum selaras. Di titik ini, peran negara sebagai enabler menjadi penentu apakah inisiatif sirkular dapat berkembang melampaui skala pionir. Negara tidak dituntut menggantikan peran pasar, tetapi menciptakan kondisi yang memungkinkan aksi-aksi sirkular menjadi pilihan rasional.

Salah satu fungsi utama negara adalah memperbaiki sinyal ekonomi. Selama eksternalitas lingkungan tidak tercermin dalam harga, produk dan model bisnis sirkular akan terus bersaing dalam medan yang tidak seimbang. Melalui instrumen fiskal, standar produk, dan kebijakan pengadaan publik, negara dapat menggeser struktur insentif tanpa harus mengatur secara mikro praktik bisnis.

Negara juga berperan dalam menurunkan risiko transisi. Kepastian regulasi, dukungan pembiayaan, dan fasilitasi kolaborasi lintas sektor membantu pelaku usaha mengambil keputusan jangka panjang. Dalam konteks Indonesia, peran ini penting karena banyak inisiatif sirkular berada pada tahap eksperimental dan rentan terhadap guncangan pasar.

Selain itu, negara memiliki posisi strategis sebagai penghubung ekosistem. Ekonomi sirkular melibatkan aktor yang beragam—industri, UMKM, komunitas, pemerintah daerah, dan konsumen. Tanpa koordinasi, upaya-upaya ini akan berjalan terpisah dan kehilangan daya dorong sistemik. Peran negara sebagai enabler bukan berarti sentralisasi, melainkan kemampuan membangun kerangka kerja bersama yang memungkinkan pembelajaran dan replikasi.

 

6. Kesimpulan Analitis: Kepemimpinan Aksi sebagai Penggerak Perubahan Sistem

Pembahasan ini menegaskan bahwa transformasi ekonomi sirkular di Indonesia tidak hanya ditentukan oleh desain kebijakan, tetapi juga oleh kepemimpinan berbasis aksi di tingkat praktik. Pelaku usaha yang berani bereksperimen, berkolaborasi, dan bertahan menghadapi ketidakpastian telah membuka jalan bagi perubahan sistemik yang lebih luas.

Artikel ini menunjukkan bahwa aksi-aksi tersebut bukan tanpa tantangan. Biaya awal, pasar yang belum matang, dan persepsi konsumen menjadi hambatan nyata. Namun justru di tengah keterbatasan inilah kepemimpinan menemukan relevansinya. Dengan bertindak lebih dulu, pelaku usaha menciptakan bukti konsep yang dapat dipelajari dan diadaptasi oleh aktor lain.

Pada saat yang sama, pengalaman ini menegaskan bahwa kepemimpinan aksi tidak dapat berdiri sendiri. Tanpa peran negara sebagai enabler, inisiatif sirkular berisiko stagnan di skala kecil. Oleh karena itu, transisi ekonomi sirkular memerlukan interaksi dinamis antara aksi pelaku usaha dan kebijakan publik.

Pada akhirnya, ekonomi sirkular Indonesia tidak akan dibangun semata oleh rencana dan dokumen strategi. Ia akan tumbuh melalui keputusan-keputusan nyata yang diambil di lapangan, diperkuat oleh kebijakan yang memahami bahwa perubahan sistem selalu dimulai dari tindakan. Dalam konteks inilah, memimpin lewat aksi menjadi kunci masa depan ekonomi sirkular Indonesia.

 

 

Daftar Pustaka

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2021). Ekonomi Sirkular untuk Pembangunan Rendah Karbon Indonesia. Jakarta: Bappenas.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2021). Low Carbon Development Indonesia: A Paradigm Shift Towards a Green Economy. Jakarta: Bappenas.

Ellen MacArthur Foundation. (2019). Completing the Picture: How the Circular Economy Tackles Climate Change. EMF.