Di berbagai negara, isu reproduksi sering dibahas dari sudut pandang angka kelahiran, proyeksi populasi, dan kekhawatiran tentang masa depan tenaga kerja. Namun di balik diskusi demografis tersebut terdapat persoalan yang jauh lebih personal: banyak orang, di hampir semua konteks sosial dan ekonomi, tidak dapat mewujudkan jumlah anak yang mereka inginkan. Sebagian memiliki anak pada waktu yang tidak direncanakan, sementara sebagian lainnya justru tidak bisa memiliki anak ketika mereka siap. Kesenjangan antara keinginan dan kenyataan inilah yang menjadi inti persoalan—sebuah celah yang tampak di setiap negara, baik yang berfertilitas rendah maupun tinggi.
Perjalanan reproduksi manusia tidak pernah berdiri sendiri. Ia dipengaruhi oleh kesehatan, kondisi ekonomi, ketersediaan perumahan, budaya, bahkan dinamika pasar tenaga kerja. Karena itulah kebijakan apa pun yang ingin mendukung keluarga dan reproduksi harus dimulai dari pemahaman yang lebih dalam tentang apa yang sebenarnya dihadapi masyarakat.
Keinginan Reproduktif yang Tidak Terpenuhi
Survei global menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara jumlah anak yang ideal dengan jumlah yang pada akhirnya dimiliki atau diperkirakan akan dimiliki seseorang
Ada individu yang berharap memiliki lebih banyak anak tetapi terhalang oleh kesehatan, ekonomi, atau tekanan sosial. Ada pula yang justru memiliki anak lebih banyak dari keinginan awal karena keterbatasan dalam mencegah kehamilan.
Menariknya, sebagian orang mengalami kedua hal sekaligus: pernah memiliki kehamilan yang tidak direncanakan, tetapi juga pernah berada pada kondisi ketika mereka ingin memiliki anak namun terhalang situasi hidup. Hal ini menunjukkan bahwa reproduksi bukanlah persoalan jumlah semata, tetapi tentang waktu, kesiapan, keamanan, dan kapasitas seseorang dalam menghadapi konsekuensinya.
Tantangan Kesehatan yang Membentuk Pengalaman Reproduktif
Kualitas layanan kesehatan reproduksi sangat memengaruhi cara orang memandang masa depan keluarga mereka. Pengalaman buruk dalam persalinan, keterbatasan layanan kontrasepsi, atau minimnya fasilitas kesehatan ibu membuat banyak orang menunda atau bahkan mengurangi rencana memiliki anak.
Selain itu, infertilitas menjadi isu besar yang sering kali luput dari pembahasan karena dianggap hanya terjadi pada kelompok tertentu. Padahal, satu dari enam orang diperkirakan akan menghadapi kesulitan memiliki anak sepanjang hidupnya. Untuk sebagian besar, masalah ini dapat diatasi dengan teknologi reproduksi berbantu. Namun biaya yang tinggi, keterbatasan layanan, serta ketimpangan akses membuat harapan banyak pasangan tetap tidak terpenuhi.
Pada saat yang sama, meningkatnya usia rata-rata orang memiliki anak memberikan kelebihan—stabilitas finansial, pengalaman hidup yang lebih matang—namun juga membawa risiko biologis yang lebih besar. Banyak orang tidak menyadari batas usia kesuburan, sehingga baru mencari bantuan ketika peluang alami sudah menurun.
Ekonomi sebagai Penggerak Besar Keputusan Kelahiran
Kondisi ekonomi menjadi alasan utama di berbagai negara ketika seseorang menunda atau mengurangi rencana memiliki anak. Ketidakstabilan pekerjaan, biaya hidup yang tinggi, sulitnya membeli atau menyewa rumah, serta kurangnya jaminan pendapatan membuat banyak orang tidak merasa aman untuk membangun keluarga.
Selain itu, biaya membesarkan anak terus meningkat. Di banyak wilayah, layanan seperti pendidikan, kesehatan, transportasi, dan konsumsi anak merupakan komponen pengeluaran yang paling membebani keluarga muda. Tidak mengherankan jika pikiran tentang masa depan ekonomi menjadi faktor dominan dalam keputusan reproduksi.
Pengasuhan dan Beban Kerja yang Tidak Merata
Peran perempuan dalam pengasuhan masih jauh lebih besar dibanding pria, bahkan ketika keduanya bekerja penuh waktu. Ketidakseimbangan ini menciptakan beban emosional dan fisik yang besar bagi perempuan, sehingga memengaruhi pilihan mereka untuk memiliki anak tambahan.
Ketersediaan layanan penitipan anak berkualitas terbukti mampu meningkatkan partisipasi perempuan dalam angkatan kerja sekaligus membantu mereka mempertimbangkan memiliki anak. Namun layanan ini masih sangat terbatas, terutama di negara berpendapatan rendah dan menengah. Di banyak tempat, kakek-nenek berperan besar dalam pengasuhan, tetapi hal ini sering menjadi beban tambahan bagi generasi yang lebih tua.
Kebijakan cuti orang tua yang tidak setara juga memperlebar jurang ini. Ketika cuti bagi ayah sangat singkat atau tidak dibayar, beban pengasuhan kembali jatuh ke ibu, memperkuat norma gender yang menghambat partisipasi perempuan dalam pekerjaan.
Masa Transisi Menuju Dewasa yang Makin Panjang
Bagi generasi muda, masa transisi menuju kemandirian—memiliki pekerjaan tetap, rumah sendiri, dan pasangan stabil—cenderung terjadi pada usia yang lebih tua. Banyak yang belum siap secara finansial hingga melewati masa puncak biologis kesuburan. Hal ini menciptakan kesenjangan besar antara kapan seseorang ingin menjadi orang tua dan kapan mereka merasa mampu.
Biaya rumah, terutama di perkotaan, menjadi penghalang utama. Kesempatan kerja yang terbatas dan upah yang tidak cukup membuat anak muda kesulitan merencanakan masa depan, termasuk rencana memiliki keluarga.
Menciptakan Kebijakan yang Memberi Ruang untuk Pilihan
Kebijakan untuk mendukung masyarakat dalam mewujudkan aspirasi reproduktifnya harus mencakup lebih dari sekadar layanan kesehatan. Diperlukan reformasi yang menyentuh dunia kerja, kebijakan pengasuhan, akses perumahan, dan program pengurangan ketimpangan gender.
Tujuan besar yang ingin dicapai adalah memberi ruang bagi setiap orang untuk menjalani pilihan reproduksi mereka secara bebas, aman, dan bermartabat—baik itu memiliki anak lebih banyak, lebih sedikit, atau tidak memiliki anak sama sekali.
Ketika kebijakan disusun berdasarkan kebutuhan nyata masyarakat, bukan sekadar angka statistik, maka terbuka kesempatan besar bagi negara untuk membangun masyarakat yang lebih stabil, sehat, dan berkeadilan.
Daftar Pustaka
State of World Population 2025 — Opening a Policy Window of Opportunity.