Krisis Air adalah Krisis Tata Kelola
Di era perubahan iklim, ledakan populasi, dan ekspansi pertumbuhan kota dan pertanian, air menjadi sumber daya yang semakin langka dan diperebutkan. Meski begitu, kita justru kurang memperhatikannya secara sistematis. Air, seperti uang, seharusnya dipantau dan dicatat secara akurat—itulah inti dari water accounting atau akuntansi air.
Menurut laporan FAO dan World Water Council (2018), jika dunia melanjutkan pendekatan pengelolaan air seperti sekarang, maka pada tahun 2050 permintaan global akan air bisa melebihi pasokan lebih dari 40%. Dampaknya mengancam 45% PDB dunia, 52% populasi global, dan 40% produksi gandum. Fakta ini menjadi alarm keras untuk segera merombak sistem pengelolaan air yang ada.
Apa Itu Water Accounting dan Mengapa Ini Penting
Water accounting adalah proses pencatatan sistematis mengenai ketersediaan, penggunaan, distribusi, dan akses terhadap air, di wilayah atau sektor tertentu. Seperti pembukuan keuangan, akuntansi air bertujuan memberikan data yang jelas dan terverifikasi untuk membantu pengambilan keputusan. Tidak cukup hanya mengukur volume air, tetapi juga memahami pola konsumsi antar sektor—rumah tangga, pertanian, industri, lingkungan, dan energi.
Konsep ini tidak hanya membantu mengetahui "berapa banyak air tersedia", tapi juga "siapa yang menggunakannya", "untuk apa", dan "apakah penggunaan tersebut berkelanjutan".
Peran Vital Water Accounting dalam Mewujudkan SDGs
Akuntansi air bukan hanya alat teknis, tapi strategis dalam pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs). Secara khusus, SDG 6 menargetkan air bersih dan sanitasi untuk semua, tetapi pencapaiannya saling berkaitan dengan SDG 2 (ketahanan pangan), SDG 7 (energi bersih), SDG 13 (aksi iklim), dan SDG 15 (ekosistem darat).
Sebagai contoh, untuk mencapai ketahanan pangan, banyak negara mendorong irigasi besar-besaran. Tapi tanpa penghitungan akurat terhadap pasokan dan penggunaan air, langkah ini justru bisa memperparah kelangkaan air dan merusak ekosistem. Di sinilah akuntansi air hadir sebagai alat untuk menyeimbangkan ambisi pembangunan dengan kenyataan hidrologi.
Studi Kasus: Pelajaran dari Dunia Nyata
Laporan ini menyajikan beberapa studi kasus yang memperlihatkan bagaimana akuntansi air bisa mengubah kebijakan dan memperbaiki tata kelola.
India: Krisis Air Tanah dan Polusi Udara
Di wilayah Punjab dan Haryana, petani menggunakan listrik bersubsidi untuk memompa air tanah demi menanam padi dan gandum. Akibatnya, terjadi penurunan air tanah secara ekstrem. Ironisnya, setelah panen, mereka membakar jerami untuk menghemat waktu dan biaya, yang menyebabkan kabut asap di Delhi dan memperparah krisis kesehatan.
Tanpa akuntansi air, pemerintah tidak punya dasar data kuat untuk mengubah kebijakan subsidi atau memodifikasi pola tanam. Akuntansi air bisa mengungkap total konsumsi, efisiensi penggunaan, serta dampaknya terhadap energi dan kesehatan publik.
Nebraska, AS: Pengelolaan Air Tanah yang Efektif
Di Nebraska, akuntansi air menunjukkan bahwa penggunaan air tanah untuk irigasi melebihi batas pengisian alami (recharge). Pemerintah negara bagian merespons dengan mewajibkan meteran air, mengatur kuota, dan membentuk kelompok pengguna air yang mengelola distribusi secara mandiri. Ini bukan hanya menyelamatkan akuifer, tapi juga mendorong partisipasi masyarakat dalam pengelolaan air secara transparan.
Australia: Transparansi dan Pasar Air di Murray-Darling Basin
Dengan standar nasional untuk akuntansi air, Australia berhasil mengintegrasikan data air ke dalam pasar berbasis kuota. Informasi tentang siapa menggunakan air, berapa banyak, dan untuk apa, bisa diakses publik. Ini menciptakan sistem yang lebih adil dan efisien, serta mengurangi konflik antar pengguna air, terutama antara sektor pertanian dan kota.
Brasil: Meningkatkan Efisiensi Petani Lewat Data
Program Irrigation Advisory Service di Brasil memberikan informasi efisiensi air kepada petani melalui SMS dan platform digital. Awalnya, tingkat efisiensi sistem irigasi hanya sekitar 67%. Setelah intervensi berbasis data dan pelatihan, efisiensi meningkat menjadi 85%, sementara penggunaan energi juga menurun. Keberhasilan ini memperlihatkan bagaimana akuntansi air berkontribusi pada efisiensi operasional dan keberlanjutan ekonomi pertanian.
Membongkar Mitos dengan Data
Salah satu kontribusi terbesar akuntansi air adalah membongkar mitos populer yang tidak terbukti secara ilmiah. Contohnya, drip irrigation sering dianggap selalu menghemat air. Padahal, dalam banyak kasus, petani justru memperluas lahan tanam dengan 'air yang dihemat', sehingga total konsumsi air malah meningkat.
Mitos lain seperti "waduk selalu menambah pasokan air" atau "hutan meningkatkan air tanah" juga sering disalahartikan. Dalam iklim kering, waduk bisa menguapkan lebih banyak air daripada yang bisa disuplai. Beberapa jenis hutan justru menyerap air tanah dalam jumlah besar dan mengurangi aliran sungai.
Melalui pendekatan kuantitatif dan berbasis hukum konservasi massa, akuntansi air menyingkap kenyataan bahwa tidak semua solusi ‘alami’ atau ‘teknologi canggih’ cocok di setiap konteks.
Dari Data ke Tata Kelola: Akuntansi Air sebagai Basis Kebijakan
Water accounting tidak hanya berhenti pada pencatatan data, tetapi juga memberi masukan penting untuk water auditing dan reformasi kebijakan. Ketika pemerintah tahu berapa banyak air yang dimiliki, siapa yang menggunakannya, dan bagaimana dampaknya terhadap ekosistem, maka kebijakan bisa diarahkan pada prinsip keadilan, efisiensi, dan keberlanjutan.
Akuntansi air membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan kunci bagi pembuat kebijakan:
- Apakah rencana pembangunan ini sesuai dengan kapasitas air yang ada?
- Apakah subsidi atau harga air sudah adil?
- Bagaimana dampak proyek seperti bendungan, irigasi, atau kawasan industri terhadap air?
Mendukung Pemantauan SDGs dan Pertumbuhan Ekonomi
Indikator dalam SDGs seperti “akses air bersih”, “efisiensi penggunaan air”, dan “kualitas air” hanya bisa dimonitor secara akurat jika negara memiliki sistem akuntansi air yang kuat. Selain itu, perencanaan ekonomi juga membutuhkan informasi hidrologis. Tanpa data yang baik, banyak proyek pembangunan bisa menjadi stranded investment—misalnya kawasan industri yang tidak bisa beroperasi karena krisis air.
Texas State Water Plan tahun 2017 memberikan contoh yang baik: mereka menggunakan akuntansi air untuk menyusun rencana jangka panjang terhadap pertumbuhan populasi dan ekonomi yang pesat, agar tidak terjadi kelangkaan air di masa depan.
Rekomendasi: Arah Masa Depan untuk Akuntansi Air
FAO dan World Water Council menyarankan langkah-langkah berikut bagi negara dan institusi:
- Bangun institusi akuntansi air nasional.
Setiap negara perlu memiliki unit khusus dengan mandat dan sumber daya yang cukup. - Investasi dalam pengumpulan dan analisis data.
Banyak negara masih kekurangan infrastruktur pemantauan seperti pengukur curah hujan, debit sungai, atau data pemakaian sektor. - Promosikan keterbukaan data.
Data air seringkali disimpan sebagai "aset strategis" yang tertutup. Padahal transparansi akan memperkuat kepercayaan dan partisipasi publik. - Dorong kolaborasi lintas sektor.
Institusi pertanian, industri, dan lingkungan harus bekerja sama, bukan berjalan dalam silo. - Dukung riset dan inovasi.
Metode akuntansi air harus terus diperbarui dengan memanfaatkan satelit, teknologi mobile, dan pengamatan lapangan. - Bentuk pusat keunggulan global.
Dunia butuh tempat berbagi metode, pelatihan, dan inovasi dalam akuntansi air.
Setiap Tetes Air Harus Dihitung
Mengelola air tanpa data adalah seperti mengelola keuangan tanpa laporan. Kita tidak bisa menyusun kebijakan, menyelamatkan ekosistem, atau membangun ekonomi tanpa mengetahui dengan pasti berapa banyak air yang tersedia, digunakan, dan dibutuhkan.
Water accounting memberikan bahasa bersama, alat ukur, dan transparansi yang dibutuhkan dunia untuk memastikan bahwa air—sumber kehidupan—tetap tersedia bagi semua, hari ini dan untuk generasi mendatang.
Sumber Artikel:
FAO & World Water Council. (2018). Water Accounting for Water Governance and Sustainable Development. White Paper. ISBN 978-92-5-130427-3.