Membina Kompetensi Relasional: Tinjauan Kritis terhadap Lintasan Belajar Tiga Tahun untuk Pendidikan Guru

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko

22 September 2025, 01.23

Sumber: pexels.com

Latar Belakang Teoretis

Penelitian ini berakar pada sebuah masalah yang semakin mendesak dalam profesi kependidikan: meningkatnya tingkat kelelahan psikologis dan stres di kalangan guru, yang salah satunya dipicu oleh tantangan dalam membangun hubungan berkualitas tinggi dengan siswa. Meskipun hubungan guru-siswa yang positif diakui secara luas sebagai faktor yang berkontribusi pada kesejahteraan guru dan siswa, para guru sering kali melaporkan kesulitan dalam menjalin hubungan tersebut, terutama dengan siswa yang berisiko mengalami hubungan yang konfliktual.  

Kerangka teoretis yang diusung oleh para penulis secara solid berlabuh pada model kompetensi guru yang dikembangkan oleh Blömeke dan Kaiser (2017), yang membedakan antara disposisi (seperti motivasi), pengetahuan profesional, keterampilan spesifik situasi, dan kinerja aktual. Selain itu, penelitian ini juga sangat dipengaruhi oleh  

Teori Keterikatan (Attachment Theory), yang mengkonseptualisasikan kualitas hubungan guru-siswa melalui tiga dimensi: kedekatan, konflik, dan fungsi reflektif guru. Masalah inti yang diidentifikasi adalah bahwa dalam konteks pendidikan guru di Flanders, Belgia, pengembangan kompetensi relasional ini sering kali bersifat reaktif—hanya dibahas ketika calon guru menghadapi konflik selama magang—dan kurang terstruktur secara sistematis dalam kurikulum. Dengan demikian, tujuan utama dari studi ini adalah untuk merancang, mengimplementasikan, dan mendeskripsikan sebuah lintasan belajar yang komprehensif selama tiga tahun untuk secara proaktif membina kompetensi membangun hubungan pada calon guru pra-sekolah dasar dan sekolah dasar.  

Metodologi dan Kebaruan

Penelitian ini mengadopsi metodologi penelitian desain dan pengembangan (design and development research). Pendekatan ini tidak berfokus pada pengujian hipotesis dalam pengertian tradisional, melainkan pada proses perancangan, implementasi, dan penyempurnaan sebuah intervensi pendidikan yang kompleks. Proses metodologisnya sangat terstruktur:

  1. Identifikasi Tujuan Pembelajaran: Berdasarkan studi sebelumnya dalam proyek penelitian yang lebih besar, serangkaian tujuan pembelajaran yang spesifik diidentifikasi secara cermat.  

  2. Desain Lintasan Belajar: Sebuah lintasan belajar selama tiga tahun dirancang untuk diintegrasikan ke dalam kurikulum reguler pendidikan guru tingkat sarjana profesional di Flanders.  

  3. Implementasi dan Adaptasi: Lintasan belajar ini diimplementasikan di sebuah universitas yang berpartisipasi, dengan beberapa adaptasi yang dibuat sebelum implementasi berdasarkan masukan dan saran.  

Kebaruan dari karya ini tidak terletak pada pengembangan teori baru, melainkan pada desain intervensinya yang longitudinal dan terintegrasi. Alih-alih menawarkan lokakarya atau kursus tunggal yang terisolasi, penelitian ini menyajikan sebuah model yang sistematis dan berkelanjutan yang menanamkan pengembangan kompetensi relasional di seluruh durasi program pendidikan guru. Pendekatan ini secara inovatif menggeser paradigma dari penanganan masalah secara reaktif menjadi pembangunan kompetensi secara proaktif.

 

Temuan Utama dengan Kontekstualisasi

Sebagai sebuah studi yang berfokus pada desain dan implementasi, temuan utama dari penelitian ini adalah deskripsi rinci mengenai arsitektur dari lintasan belajar itu sendiri. Lintasan ini dirancang untuk secara sistematis membangun tiga pilar kompetensi utama, sejalan dengan model Blömeke dan Kaiser:

  1. Motivasi-Afektif (Affect-Motivation): Lintasan ini bertujuan untuk membentuk disposisi dan keyakinan calon guru. Ini mencakup penanaman kesadaran bahwa membangun hubungan yang berkualitas membutuhkan waktu dan usaha, serta pemahaman bahwa perilaku siswa yang tampak mengganggu mungkin sebenarnya merupakan cerminan dari kebutuhan relasional yang tidak terpenuhi.  

  2. Pengetahuan Profesional (Professional Knowledge): Calon guru dibekali dengan landasan teoretis yang kuat, terutama dari Teori Keterikatan. Mereka mempelajari dimensi-dimensi kunci dari hubungan (kedekatan, konflik) dan kebutuhan fundamental untuk memiliki rasa memiliki (need to belong), tidak hanya dari sisi siswa tetapi juga dari sisi guru itu sendiri.  

  3. Keterampilan Spesifik Situasi (Situation-Specific Skills): Pilar ini berfokus pada kemampuan untuk menerapkan pengetahuan secara fleksibel dalam situasi nyata. Penekanan khusus diberikan pada pengembangan fungsi reflektif guru—kemampuan untuk merefleksikan dan memahami keadaan mental (pikiran, perasaan, niat) diri sendiri dan siswa, yang merupakan kunci untuk merespons secara sensitif dan efektif di dalam kelas.  

Secara kontekstual, temuan ini menyajikan sebuah model pedagogis yang koheren, di mana disposisi, pengetahuan, dan keterampilan tidak diajarkan secara terpisah, melainkan ditenun bersama dalam sebuah alur pembelajaran yang progresif selama tiga tahun.

Keterbatasan dan Refleksi Kritis

Penulis secara transparan mengakui beberapa keterbatasan dalam penelitian mereka. Pertama, lintasan belajar ini dirancang secara spesifik untuk konteks pendidikan guru di Flanders, yang mungkin membatasi generalisasi langsung ke sistem pendidikan di negara lain. Kedua, implementasi dilakukan dalam kemitraan dengan  

satu universitas sukarela, yang mungkin tidak sepenuhnya merepresentasikan semua institusi pendidikan guru.  

Sebagai refleksi kritis, perlu dicatat bahwa paper ini berfokus pada deskripsi desain dan proses implementasi awal. Efektivitas dari lintasan belajar ini dalam benar-benar meningkatkan kompetensi relasional calon guru belum diukur secara empiris dalam laporan ini. Keberhasilan intervensi semacam ini juga sangat bergantung pada kualitas fasilitasi oleh para pendidik guru, sebuah variabel yang kompleks dan tidak dieksplorasi secara mendalam dalam studi ini.

Implikasi Ilmiah di Masa Depan

Secara praktis, implikasi dari penelitian ini sangat signifikan. Ia menawarkan sebuah cetak biru yang dapat diadaptasi bagi program pendidikan guru di seluruh dunia yang ingin secara serius mengintegrasikan pengembangan kompetensi relasional ke dalam kurikulum mereka. Model ini memberikan sebuah alternatif yang kuat terhadap pendekatan yang bersifat ad-hoc atau reaktif.

Untuk penelitian di masa depan, karya ini secara efektif meletakkan fondasi untuk serangkaian investigasi empiris. Langkah berikutnya yang paling logis adalah melakukan evaluasi longitudinal yang rigor terhadap dampak dari lintasan belajar ini. Ini akan melibatkan pengukuran kompetensi relasional calon guru sebelum, selama, dan setelah mengikuti program, serta melacak mereka ke dalam karir mengajar mereka untuk menilai kualitas hubungan yang mereka bangun dengan siswa di lapangan. Selain itu, sebagaimana disinggung oleh penulis, penelitian lebih lanjut dapat mengeksplorasi kebutuhan akan intervensi yang lebih bertarget bagi guru untuk menangani tantangan dalam membangun hubungan dengan siswa-siswa tertentu yang memiliki kebutuhan khusus.  

Sumber

Borremans, L. F. N., Vervoort, E., Verschueren, K., & Spilt, J. L. (2024). Fostering teacher–student relationship-building competence: a three-year learning trajectory for initial pre-primary and primary teacher education. Frontiers in Education, 9. https://doi.org/10.3389/feduc.2024.1349532