Membiayai Circular Economy: Pelajaran Investasi dari Kasus Turki

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat

23 Desember 2025, 13.13

1. Pendahuluan: Ketika Circular Economy Bergantung pada Akses Pembiayaan

Dalam bab yang ditulis oleh Emine Eda Ünal, circular economy dipahami bukan hanya sebagai tantangan teknologi atau perubahan perilaku, tetapi sebagai persoalan pembiayaan dan kelayakan investasi. Perspektif ini penting karena banyak diskusi circular economy berhenti pada level konsep dan kebijakan, sementara pertanyaan paling menentukan bagi pelaku usaha dan lembaga keuangan justru berkaitan dengan risiko, arus kas, dan kepastian pengembalian investasi.

Turki diposisikan sebagai studi kasus yang relevan karena berada di persimpangan antara tekanan pertumbuhan ekonomi dan agenda keberlanjutan. Sebagai negara dengan laju pertumbuhan tinggi di antara ekonomi berkembang, Turki menghadapi kebutuhan material dan energi yang terus meningkat. Dalam kondisi seperti ini, circular economy menawarkan janji untuk memisahkan pertumbuhan ekonomi dari eksploitasi sumber daya. Namun, janji tersebut hanya dapat diwujudkan jika proyek-proyek sirkular mampu menembus logika pembiayaan konvensional.

Pendahuluan bab ini menekankan bahwa salah satu hambatan terbesar circular economy di negara berkembang adalah kesenjangan antara potensi ekonomi dan persepsi risiko. Banyak inisiatif circular economy dinilai menarik dari sisi lingkungan, tetapi dipandang belum matang secara finansial. Ketidakpastian pasokan limbah, fluktuasi harga material daur ulang, serta ketergantungan pada kebijakan publik membuat lembaga keuangan bersikap hati-hati.

Dengan memilih fokus pada pembiayaan, bab ini menggeser diskusi circular economy dari “apa yang seharusnya dilakukan” ke “apa yang benar-benar bisa didanai”. Analisis ini relevan bukan hanya bagi Turki, tetapi juga bagi negara berkembang lain yang ingin mempercepat transisi sirkular tanpa mengorbankan stabilitas sistem keuangan.

 

2. Circular Economy dan Ekonomi Berkembang: Tekanan Pertumbuhan sebagai Pedang Bermata Dua

Bab ini menempatkan circular economy dalam konteks ekonomi berkembang yang ditandai oleh tekanan pertumbuhan tinggi. Pertumbuhan dipandang sebagai kebutuhan politik dan sosial untuk keluar dari jebakan pendapatan menengah, tetapi sekaligus menjadi sumber peningkatan konsumsi material dan energi. Dalam kerangka ekonomi linear, tekanan ini berujung pada percepatan degradasi lingkungan dan ketergantungan pada sumber daya primer.

Penulis menekankan bahwa circular economy di ekonomi berkembang tidak dapat disalin mentah dari pengalaman negara maju. Di banyak negara maju, circular economy dibangun di atas infrastruktur matang dan pasar sekunder yang relatif stabil. Sebaliknya, di ekonomi berkembang seperti Turki, circular economy harus berjalan berdampingan dengan pembangunan infrastruktur dasar dan ekspansi industri. Hal ini menciptakan tantangan ganda: membiayai pertumbuhan sekaligus membiayai transformasi.

Dari sudut pandang pembiayaan, tekanan pertumbuhan ini bersifat ambigu. Di satu sisi, meningkatnya permintaan material membuka peluang pasar bagi daur ulang dan pemulihan sumber daya. Di sisi lain, ketergantungan pada bahan baku impor dan fluktuasi pasar global meningkatkan risiko bagi proyek circular economy. Bank dan investor perlu memastikan bahwa proyek sirkular memiliki jaminan pasokan input dan permintaan output agar layak secara finansial.

Bab ini juga menunjukkan bahwa motivasi utama pelaku usaha dalam mengadopsi circular economy sering kali bersifat ekonomis, bukan ekologis. Efisiensi sumber daya, pengurangan biaya, dan stabilitas pasokan menjadi pendorong utama. Temuan ini penting karena menegaskan bahwa circular economy dapat selaras dengan logika bisnis, asalkan kerangka pembiayaan dan kebijakan mampu mengurangi risiko awal.

Section ini memperlihatkan bahwa di ekonomi berkembang, circular economy bukan alternatif terhadap pertumbuhan, melainkan strategi untuk mengelola konsekuensi pertumbuhan. Namun, strategi ini hanya akan berhasil jika didukung oleh mekanisme pembiayaan yang memahami dinamika risiko dan peluang dalam konteks lokal.

 

3. Tantangan Pembiayaan Proyek Circular Economy: Risiko, Skala, dan Kepastian Arus Kas

Dalam analisis Emine Eda Ünal, tantangan pembiayaan circular economy di Turki terutama berpusat pada profil risiko proyek. Banyak inisiatif sirkular—seperti daur ulang material bernilai rendah, pemulihan energi, atau model bisnis berbasis penggunaan ulang—memiliki arus kas yang belum stabil. Ketidakpastian pasokan limbah, volatilitas harga material daur ulang, serta ketergantungan pada kebijakan publik (insentif, standar, EPR) membuat lembaga keuangan konvensional berhati-hati.

Masalah skala juga krusial. Proyek sirkular sering dimulai pada skala kecil untuk menguji kelayakan teknis dan pasar. Namun, skala kecil ini justru menyulitkan pembiayaan karena biaya transaksi relatif tinggi dan dampak finansial terbatas. Tanpa mekanisme aggregation atau blended finance, proyek-proyek ini sulit naik kelas dari pilot menjadi portofolio yang menarik bagi investor institusional.

Ünal menyoroti kepastian arus kas sebagai prasyarat utama. Bank membutuhkan kontrak jangka panjang—baik untuk pasokan input (limbah) maupun penyerapan output (material/energi)—agar risiko dapat dimitigasi. Tanpa offtake agreement atau jaminan permintaan, proyek circular economy dipersepsikan lebih berisiko dibanding proyek infrastruktur konvensional.

Di sisi lain, terdapat tantangan asimetri informasi. Banyak pelaku usaha sirkular memiliki kapasitas teknis yang baik tetapi kurang mampu menyajikan bankable project documentation. Ketidaklengkapan data kinerja, proyeksi keuangan yang lemah, dan kurangnya rekam jejak membuat proyek gagal menembus proses due diligence. Bab ini menekankan bahwa peningkatan kapasitas pengembang proyek sama pentingnya dengan inovasi teknologi.

Section ini menyimpulkan bahwa hambatan pembiayaan bukan sekadar kekurangan modal, melainkan ketidakselarasan antara karakter proyek sirkular dan kriteria pembiayaan konvensional. Menutup kesenjangan ini membutuhkan inovasi keuangan dan peran aktif lembaga publik.

 

4. Peran Bank Pembangunan dan Studi Kasus Investasi di Turki

Menanggapi tantangan tersebut, Ünal menempatkan bank pembangunan dan lembaga keuangan publik sebagai aktor kunci dalam mempercepat pembiayaan circular economy. Peran utama mereka bukan menggantikan pembiayaan swasta, melainkan menurunkan risiko awal dan membuka jalan bagi partisipasi pasar yang lebih luas.

Di Turki, pendekatan yang menonjol adalah penggunaan instrumen pembiayaan campuran (blended finance), di mana dana publik, pinjaman lunak, dan jaminan risiko digunakan untuk meningkatkan kelayakan proyek. Skema ini memungkinkan proyek sirkular mencapai struktur risiko yang dapat diterima oleh bank komersial. Dengan demikian, pembiayaan publik berfungsi sebagai katalis, bukan sumber dana permanen.

Bab ini juga mengulas beberapa kasus investasi yang menunjukkan bagaimana proyek circular economy dapat menjadi bankable ketika desain keuangannya tepat. Proyek yang berhasil umumnya memiliki tiga ciri: (1) integrasi vertikal yang mengamankan pasokan input, (2) kontrak jangka panjang untuk output, dan (3) dukungan kebijakan yang konsisten. Kombinasi ini menciptakan visibilitas arus kas yang dibutuhkan oleh pemberi pinjaman.

Selain pembiayaan langsung, bank pembangunan berperan dalam standardisasi dan pembelajaran pasar. Dengan mendukung proyek percontohan dan mendokumentasikan kinerja finansialnya, lembaga publik membantu mengurangi ketidakpastian bagi investor berikutnya. Efek demonstrasi ini penting untuk memperluas pasar pembiayaan circular economy.

Section ini menegaskan bahwa transisi sirkular membutuhkan arsitektur pembiayaan yang adaptif. Tanpa keterlibatan bank pembangunan dan instrumen mitigasi risiko, banyak proyek circular economy akan tetap terjebak pada tahap pilot. Dengan dukungan yang tepat, proyek-proyek tersebut dapat berkembang menjadi portofolio investasi yang berkelanjutan secara finansial dan berdampak secara lingkungan.

 

5. Implikasi Kebijakan: Merancang Ekosistem Pembiayaan Circular Economy

Berdasarkan analisis Emine Eda Ünal, implikasi kebijakan utama terletak pada kemampuan negara membangun ekosistem pembiayaan yang selaras dengan karakter proyek circular economy. Kebijakan tidak cukup berhenti pada insentif umum atau komitmen keberlanjutan; ia perlu menjawab hambatan spesifik yang membuat proyek sirkular sulit dibiayai oleh perbankan konvensional.

Implikasi pertama adalah pentingnya mitigasi risiko awal. Instrumen seperti jaminan kredit, pembiayaan campuran, dan dukungan teknis pra-investasi dapat menurunkan risiko yang dipersepsikan investor. Dengan mengurangi ketidakpastian pada tahap awal, kebijakan publik membantu proyek sirkular mencapai profil risiko yang dapat diterima pasar.

Implikasi kedua berkaitan dengan penguatan kesiapan proyek (project readiness). Banyak inisiatif circular economy gagal memperoleh pembiayaan bukan karena tidak layak, tetapi karena tidak disajikan dalam format yang bankable. Program pendampingan untuk perencanaan keuangan, pengukuran kinerja, dan struktur kontrak jangka panjang menjadi krusial untuk menjembatani kesenjangan antara inovasi teknis dan persyaratan pembiayaan.

Implikasi ketiga adalah koherensi kebijakan lintas sektor. Pembiayaan circular economy sangat sensitif terhadap sinyal kebijakan jangka panjang—misalnya standar material, EPR, atau kebijakan pengadaan publik. Ketika kebijakan berubah-ubah, risiko meningkat dan biaya modal ikut naik. Ünal menekankan bahwa stabilitas kebijakan sering kali lebih penting daripada besarnya insentif.

Section ini menegaskan bahwa pembiayaan circular economy bukan sekadar urusan sektor keuangan. Ia merupakan hasil dari interaksi kebijakan industri, lingkungan, dan keuangan. Tanpa penyelarasan ini, proyek sirkular akan terus dipersepsikan sebagai niche berisiko tinggi, bukan sebagai bagian arus utama pembangunan ekonomi.

 

6. Kesimpulan: Pembiayaan sebagai Penentu Kecepatan Transisi Sirkular

Artikel ini menunjukkan bahwa circular economy di negara berkembang seperti Turki sangat ditentukan oleh kemampuan mengakses dan mengelola pembiayaan. Seperti ditunjukkan oleh Emine Eda Ünal, tantangan utama bukan terletak pada ketiadaan peluang ekonomi, melainkan pada kesenjangan antara potensi tersebut dan mekanisme pembiayaan yang tersedia.

Circular economy menawarkan manfaat lingkungan dan efisiensi sumber daya, tetapi manfaat tersebut tidak otomatis diterjemahkan menjadi kelayakan finansial. Tanpa desain pembiayaan yang tepat, proyek sirkular akan tertahan pada skala kecil dan fase percontohan. Di sinilah peran bank pembangunan, pembiayaan campuran, dan kebijakan mitigasi risiko menjadi penentu.

Pelajaran kunci dari kasus Turki adalah bahwa pembiayaan bukan faktor pendukung semata, melainkan pengungkit utama transisi sirkular. Ketika pembiayaan dirancang secara kontekstual—memahami risiko, skala, dan dinamika pasar lokal—circular economy dapat bergerak dari wacana kebijakan menjadi realitas investasi.

Pada akhirnya, keberhasilan circular economy di ekonomi berkembang tidak hanya diukur dari seberapa inovatif teknologinya atau seberapa ambisius kebijakannya, tetapi dari seberapa cepat dan luas proyek-proyek sirkular dapat dibiayai dan direplikasi. Dalam kerangka ini, pembiayaan bukan sekadar alat, melainkan medan utama di mana masa depan circular economy ditentukan.

 

Daftar Pustaka

Ünal, E. E. (2022). Circular economy financing: Investment cases from Turkey. Dalam Transitioning to a Circular Economy in Developing Asia. Tokyo: Asian Development Bank Institute.

Ellen MacArthur Foundation. (2015). Towards a circular economy: Business rationale for an accelerated transition. Cowes: EMF.

Ghisellini, P., Cialani, C., & Ulgiati, S. (2016). A review on circular economy. Journal of Cleaner Production, 114, 11–32.

OECD. (2020). Financing climate futures: Rethinking infrastructure. Paris: OECD Publishing.

Schandl, H., Fischer-Kowalski, M., West, J., et al. (2016). Global material flows and resource productivity. Journal of Industrial Ecology, 20(4), 827–838.