Mengapa Sengketa Akibat Kegagalan Bangunan Jadi Isu Mendesak?
Industri konstruksi adalah tulang punggung pembangunan infrastruktur di Indonesia, namun di balik kemegahan gedung dan jembatan, ada potensi kerentanan hukum yang sering luput diperhatikan: kegagalan bangunan. Tesis Mochamad Yusuf dari Universitas Islam Indonesia menyajikan analisis komprehensif mengenai bagaimana kegagalan bangunan, sebagai bentuk wanprestasi atau kelalaian teknis, dapat memicu konflik hukum antara pengguna dan penyedia jasa.
Dalam konteks hukum, kegagalan bangunan tidak sekadar berarti kerusakan fisik, tetapi mengacu pada situasi ketika bangunan yang telah diserahterimakan tidak berfungsi sebagaimana mestinya, baik sebagian maupun keseluruhan. Ketentuan ini tercantum secara eksplisit dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.
Latar Belakang dan Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengkaji dua aspek utama: mengapa kegagalan bangunan terjadi dalam pelaksanaan kontrak kerja konstruksi, dan bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa dapat ditempuh secara hukum. Yusuf menggunakan pendekatan normatif-doktrinal dengan menganalisis peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, serta studi lapangan dari kasus-kasus nyata.
Studi Kasus: Robohnya Turap Parit Indah, Pekanbaru
Salah satu contoh nyata kegagalan bangunan yang dibahas dalam tesis ini adalah kasus robohnya turap sepanjang 120 meter di Parit Indah, Pekanbaru. Bangunan tersebut bahkan mengalami kegagalan dua kali. Penyelidikan menunjukkan bahwa penyebab utamanya adalah kecerobohan kontraktor dan lemahnya pengawasan dari instansi teknis pemerintah. Analisis teknis juga menemukan ketidaksesuaian dimensi dinding turap terhadap tekanan lateral tanah dan beban kendaraan.
Kasus ini memperlihatkan ketidaktegasan dalam manajemen risiko, mulai dari tahap perencanaan hingga pengawasan, dan menjadi potret buruk profesionalisme dalam konstruksi daerah.
Apa Itu Kegagalan Bangunan Secara Yuridis?
Undang-Undang Jasa Konstruksi menyatakan bahwa kegagalan bangunan terjadi bila bangunan yang telah diserahterimakan:
- Tidak berfungsi sebagian atau seluruhnya;
- Tidak sesuai dengan ketentuan kontrak;
- Mengalami penyimpangan pemanfaatan akibat kesalahan penyedia atau pengguna jasa.
Sementara itu, KUH Perdata menempatkan kegagalan ini sebagai bagian dari wanprestasi, yaitu tidak terpenuhinya kewajiban kontraktual oleh salah satu pihak.
Faktor Penyebab Kegagalan Bangunan
Yusuf membagi penyebab utama kegagalan bangunan ke dalam aspek hukum dan teknis, antara lain:
- Kurangnya pengawasan oleh konsultan pengawas atau pengawas lapangan.
- Kelalaian kontraktor dalam memenuhi spesifikasi teknis.
- Ketidaktepatan desain dan perhitungan struktur.
- Kesalahan dalam pelaksanaan proyek akibat tenaga kerja tidak kompeten.
- Penyimpangan terhadap rencana kerja dan gambar teknis yang telah disepakati.
Tanggung Jawab Hukum Pihak Terkait
Dalam kontrak konstruksi, terdapat prinsip timbal balik yang menempatkan penyedia dan pengguna jasa pada posisi setara namun berbeda tanggung jawab. Yusuf menegaskan pentingnya prinsip kehati-hatian dan uji tuntas (due diligence) dalam pelaksanaan konstruksi. Setiap pihak yang lalai dapat dimintai pertanggungjawaban berdasarkan hukum perdata, bahkan hingga pidana bila terbukti menimbulkan kerugian besar atau korban jiwa.
Dalam hal terjadi kegagalan bangunan, pihak yang paling memungkinkan digugat adalah kontraktor pelaksana dan konsultan perencana atau pengawas, tergantung posisi dan bobot kesalahannya.
Jaminan Hukum dalam Kontrak Konstruksi
Untuk meminimalkan risiko, kontrak konstruksi umumnya memuat beberapa bentuk jaminan hukum seperti:
- Bank Garansi (jaminan pelaksanaan)
- Surety Bond (jaminan pihak ketiga)
- Maintenance Bond (jaminan pemeliharaan)
- Bouw Garantie (jaminan dari penyedia jasa)
Namun, dalam praktiknya, penegakan atas jaminan-jaminan ini sering menemui kendala administratif, kurangnya pemahaman hukum, atau celah dalam kontrak standar.
Penyelesaian Sengketa: Litigasi atau Non-Litigasi?
Yusuf memetakan jalur penyelesaian sengketa ke dalam dua jalur utama:
Non-Litigasi, melalui mediasi, arbitrase, atau negosiasi bilateral. Jalur ini lebih cepat dan efisien secara biaya, serta sesuai dengan semangat Pasal 88 UU Jasa Konstruksi.
Litigasi, yaitu melalui pengadilan umum. Biasanya dipilih jika tidak tercapai kesepakatan damai atau bila terjadi kegagalan besar yang melibatkan unsur pidana atau pengadaan publik.
Kritik dan Evaluasi: Dimana Letak Titik Lemahnya?
Yusuf menyentil bahwa banyak pihak di sektor konstruksi, baik pemerintah maupun swasta, belum memiliki kesadaran penuh akan pentingnya dokumentasi kontrak dan sistem pengawasan yang profesional. Beberapa poin penting:
Lemahnya implementasi hukum kontrak: Perjanjian konstruksi sering kali disusun tanpa mencantumkan sanksi rinci atas kegagalan bangunan.
Tidak optimalnya fungsi LPJK (Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi) sebagai pengawas dan sertifikasi tenaga ahli.
Korupsi struktural dalam pengadaan proyek, seperti indikasi “jual beli pengawasan” atau penerimaan uang pelicin dari kontraktor kepada pengawas lapangan.
Tren Global: Pembelajaran dari Negara Lain
Negara-negara dengan sistem konstruksi maju seperti Jepang dan Australia telah menerapkan sistem professional indemnity insurance sebagai bagian dari kontrak konstruksi. Di Indonesia, wacana ini masih terbatas pada diskusi akademik. Yusuf mengusulkan agar skema asuransi profesi menjadi bagian wajib dalam setiap proyek berskala menengah ke atas.
Saran Solutif dari Penulis
Tesis ini menutup dengan beberapa usulan konkret:
1. Penerapan sistem sertifikasi dan audit kontraktor secara periodik oleh asosiasi profesi.
2. Penguatan legal drafting kontrak kerja konstruksi agar memuat mekanisme penyelesaian sengketa secara eksplisit.
3. Peningkatan kompetensi pengawas proyek dan konsultan pengawas melalui pelatihan dan sistem lisensi.
4. Reformasi dalam sistem tender pemerintah agar tidak hanya mempertimbangkan harga terendah, tetapi juga rekam jejak dan kapasitas teknis penyedia jasa.
Kesimpulan: Menuju Konstruksi yang Bertanggung Jawab
Kegagalan bangunan bukanlah semata-mata kesalahan teknis, tetapi juga refleksi dari lemahnya penegakan hukum kontraktual, buruknya sistem pengawasan, dan budaya kerja yang jauh dari prinsip profesionalisme. Penyelesaian sengketa akibat kegagalan bangunan harus dipandang bukan sebagai jalan buntu, melainkan sebagai upaya korektif dalam meningkatkan kualitas dan akuntabilitas sektor konstruksi nasional.
Tesis Mochamad Yusuf mempertegas bahwa dalam dunia konstruksi, kontrak bukan hanya sekadar formalitas administratif, tetapi dokumen hidup yang menentukan batas tanggung jawab, jaminan kualitas, dan hak-hak pengguna maupun penyedia jasa.
Sumber:
Yusuf, M. (2008). Penyelesaian Sengketa Akibat Kegagalan Bangunan dalam Perjanjian Kerja Konstruksi. Tesis, Program Pascasarjana Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.