Membedah Arsitektur: Tinjauan Kritis Model Manajemen Bencana dan Arah Riset ke Depan.

Dipublikasikan oleh Raihan

27 Oktober 2025, 17.00

 Resensi Riset: Tinjauan Struktural Model Manajemen Bencana dan Kontribusinya

Penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Alrehaili et al. ini bertujuan untuk melakukan pemeriksaan kritis terhadap model-model manajemen bencana melalui analisis tematik guna menentukan kontribusi mereka, serta mengidentifikasi kendala atau tantangan signifikan yang dapat membatasi kemampuan model-model tersebut dalam melaksanakan tindakan pengurangan risiko bencana (DRR) yang tepat. Dengan mengadopsi pendekatan kualitatif, studi ini menginvestigasi literatur yang ada untuk mengevaluasi peran model dalam manajemen bencana. Kesimpulan utama yang muncul adalah bahwa model-model ini sangat diperlukan karena mereka menyederhanakan dan meningkatkan manajemen bencana , bertindak sebagai alat pendukung pengambilan keputusan yang berharga bagi perencana, manajer, dan praktisi.

Model dalam konteks ini didefinisikan sebagai "sistem fungsi dan kondisi yang menghasilkan hasil formal". Penelitian ini berargumen bahwa, meskipun ada banyak model yang tersedia, bencana masih sering dikelola secara tidak efisien, menunjukkan adanya kebutuhan untuk terus memperbaiki model agar manajemen bencana tetap menjadi disiplin profesional dan ilmiah. Studi ini menggarisbawahi pentingnya model untuk menyederhanakan situasi yang rumit (terutama dengan batasan waktu yang ketat), membantu pemahaman melalui perbandingan kondisi nyata dengan model teoretis, menyediakan alat yang efektif untuk mengukur aktivitas bencana, dan mendukung pembentukan pemahaman bersama di antara semua pihak yang berkepentingan.

Jalur Logis Perjalanan Temuan

Metodologi penelitian ini melibatkan kajian literatur diikuti oleh analisis konten, dengan menggunakan basis data ilmiah utama seperti Google Scholar dan Scopus. Proses pengumpulan dan klasifikasi model dilakukan melalui metodologi tiga tahap: pengumpulan model, analisis dan klasifikasi, dan diskusi model.

Temuan utama dari tinjauan ini mengarah pada klasifikasi model manajemen bencana ke dalam lima kategori utama, yang memperluas kategorisasi empat jenis model sebelumnya (logis, kausal, terintegrasi, dan tidak terkategorikan) dengan menambahkan kelompok kelima, yaitu model kombinatorial. Model kombinatorial ini diusulkan karena beberapa model tidak cocok untuk dimasukkan ke dalam kelompok yang sudah ada, dan model baru ini terdiri dari campuran model logis, kausal, dan terintegrasi.

  1. Model Logis: Didefinisikan sebagai desain sederhana dari fase-fase utama manajemen bencana yang menekankan prosedur penting. Contoh populer adalah Model Tradisional (1998), yang membagi siklus manajemen bencana menjadi tiga fase: sebelum, selama, dan setelah bencana.
  2. Model Kausal: Fokus utama model-model ini adalah memahami akar penyebab bencana. Contohnya adalah Model Penyebab Krisis (Crunch Cause Model) (2000), yang menawarkan kerangka kerja berdasarkan prinsip bahwa kerentanan bencana dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti yang dijelaskan dalam persamaan: Bahaya + Kerentanan = Risiko Bencana.
  3. Model Terintegrasi: Mengatur tugas yang diperlukan untuk menjamin kinerja yang efektif dan efisien, dengan empat komponen: penilaian risiko, manajemen bahaya, mitigasi, dan kesiapsiagaan. Model Kesehatan Manitoba (2002) adalah salah satu yang paling umum, yang terdiri dari enam bagian utama.
  4. Model Kombinatorial: Menggabungkan model logis, kausal, dan terintegrasi untuk mengembangkan model baru. Contohnya adalah Model Komprehensif Cuny (1998), yang menggabungkan keunggulan ketiga kelompok model tersebut.
  5. Model Tidak Terkategorikan: Model yang desain dan formatnya tidak termasuk dalam kriteria empat kelompok sebelumnya. Model Ibrahim et al. (2003), yang berfokus pada bencana teknologi, adalah contohnya.

Temuan penting lainnya adalah bahwa mayoritas model didasarkan pada empat fase utama manajemen bencana: mitigasi, kesiapsiagaan, respons, dan pemulihan , meskipun setiap model memiliki keunggulan yang membedakannya. Meskipun demikian, model-model tersebut tidak secara umum diterapkan dan tidak dapat digunakan dalam semua jenis bencana. Model Tradisional (1998) adalah yang paling disukai dan paling umum di antara para praktisi, bersama dengan model expand and contract (1998), Crunch cause (2000), dan Kimberly (2003).

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi utama studi ini bagi bidang manajemen bencana adalah penyediaan kerangka klasifikasi model yang diperbarui (lima kelompok) dan konfirmasi empiris mengenai nilai model sebagai alat pendukung keputusan yang penting. Secara deskriptif, temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara penggunaan model yang tepat dan peningkatan tanggapan pemerintah dan komunitas terhadap bahaya dan risiko bencana—menunjukkan potensi kuat bagi objek penelitian baru untuk mengukur dampak kombinasi model. Selain itu, studi ini membenarkan bahwa model berfungsi untuk menyederhanakan dan mengklarifikasi manajemen bencana dan sangat berharga dalam menghadapi bencana besar seperti badai, gempa bumi, dan serangan teroris.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun model bermanfaat, penelitian ini menyoroti keterbatasan dan kekhawatiran yang terkait dengannya. Kekhawatiran tersebut meliputi ketidakpastian bencana di masa depan, sifat preskriptif model (langkah demi langkah) yang mengabaikan sifat bencana yang kompleks dan seringkali kacau, dan dampaknya terhadap bisnis. Kritik lain yang ditawarkan oleh Alexander (1997, 2002) adalah bahwa model tidak mengalami kemajuan signifikan karena korban tewas akibat bencana belum cukup berkurang, dan ada masalah seperti kurangnya transfer teknologi skala besar dan bantuan bencana yang tidak memadai.

Keterbatasan kunci yang diidentifikasi meliputi:

  • Fokus yang Terbatas: Mayoritas model didasarkan pada empat fase bencana (mitigasi, kesiapsiagaan, respons, pemulihan), dan beberapa tidak mencakup semua aspek manajemen bencana, seperti manajemen risiko dan penilaian risiko.
  • Pendekatan 'Satu Ukuran untuk Semua': Model cenderung mengabaikan variabel spesifik setiap bencana, termasuk variasi budaya, pemerintah, dan sumber daya, dalam upaya untuk menjadi kompatibel secara universal.
  • Kurangnya Pemahaman dan Implementasi: Beberapa perencana, manajer, dan praktisi memiliki pemahaman terbatas tentang penggunaan model, dan model seringkali tidak diterapkan secara memadai, membuat model yang baik sekalipun menjadi tidak efektif.

Pertanyaan terbuka yang diajukan oleh temuan ini adalah: Bagaimana mekanisme kombinasi model yang efektif dapat distandarisasi untuk bencana yang sangat kompleks, sehingga memaksimalkan kekuatan satu model (misalnya, Logis-Tradisional) untuk mengimbangi kelemahan model lain (misalnya, Kimberly yang memerlukan pendanaan besar)?. Studi ini secara eksplisit menemukan bahwa model tidak dapat diaplikasikan secara umum untuk semua jenis bencana karena sifat bencana yang unik dan tidak terduga.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan untuk Komunitas Akademik

Berdasarkan temuan studi ini mengenai keterbatasan model, sifat preskriptif, dan kurangnya pemahaman tentang implementasi, lima rekomendasi berikut diusulkan untuk riset ke depan, yang berfokus pada jalur logis dari temuan saat ini dan potensi jangka panjang:

  1. Riset Empiris Multinasional tentang Penerapan Model Kombinatorial:
    • Justifikasi Ilmiah: Studi ini mengidentifikasi kelompok Model Kombinatorial (misalnya, Cuny Comprehensive Model) yang menggabungkan model Logis, Kausal, dan Terintegrasi untuk mengatasi kelemahan model tunggal.
    • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian harus menggunakan studi kasus mixed-method untuk secara kuantitatif mengukur efektivitas (variabel: tingkat korban, kecepatan pemulihan infrastruktur) dari model kombinatorial di berbagai konteks budaya dan ekonomi (variabel baru: variasi budaya dan ketersediaan sumber daya). Perlu untuk membandingkan keberhasilan model Wheel-shape disaster management model (gabungan Logis dan Terintegrasi) di negara maju dan negara berkembang.
    • Kebutuhan Lanjutan: Hal ini akan menghasilkan pedoman yang lebih fleksibel dan berbasis bukti untuk kustomisasi model dibandingkan pendekatan 'satu ukuran untuk semua' yang saat ini dikritik.
  2. Pengembangan dan Pengujian Model 'Anti-Preskriptif' Berbasis Ketidakpastian (Non-Linearitas):
    • Justifikasi Ilmiah: Ditemukan bahwa sifat bencana yang kompleks, tidak linear, dan seringkali kacau tidak ditangani secara memadai oleh desain model yang preskriptif dan langkah demi langkah.
    • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Perlu mengembangkan Model Bencana Non-Linear (MBNL) baru berdasarkan Teori Kekacauan (Chaos Theory) atau dinamika sistem kompleks. Penelitian harus menggunakan simulasi prediktif dan pemodelan skenario (metode baru) untuk menguji MBNL terhadap ketidakpastian bencana di masa depan (variabel: tingkat ketidakpastian). MBNL harus berfokus pada pengambilan keputusan real-time (fase respons) di bawah kondisi waktu yang sangat ketat.
    • Kebutuhan Lanjutan: Ini akan mengatasi kekhawatiran tentang sifat preskriptif dan kurangnya kesiapan menghadapi peristiwa tak terduga.
  3. Kajian Kualitatif Komprehensif tentang Integrasi Risiko dan Penilaian Risiko ke dalam Model Utama:
    • Justifikasi Ilmiah: Studi ini mencatat bahwa beberapa model tidak secara eksplisit mencakup semua aspek manajemen bencana, seperti manajemen risiko dan penilaian risiko. Model Terintegrasi hanya memiliki empat komponen utama, sementara Model Kausal berfokus pada pemahaman penyebab.
    • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Lakukan analisis kualitatif konten tingkat lanjut (metode baru) pada model yang paling disukai (Model Tradisional, Crunch Cause) untuk menentukan bagaimana aspek-aspek manajemen risiko secara implisit atau eksplisit dimasukkan. Variabelnya adalah tingkat integrasi manajemen risiko (TIRM) dalam deskripsi model. Riset harus menghasilkan kerangka kerja modular (Model Terintegrasi Generasi Kedua) yang memastikan TIRM tinggi.
    • Kebutuhan Lanjutan: Hal ini penting untuk memastikan bahwa model berfungsi sebagai "peta jalan" yang komprehensif, mencakup semua aspek dan mengatasi kelemahan.
  4. Penelitian tentang Hambatan dan Pengurangan Gap Pengetahuan untuk Praktisi di Negara Berkembang:
    • Justifikasi Ilmiah: Ada temuan bahwa perencana dan praktisi memiliki pemahaman terbatas tentang penggunaan dan implementasi model , dan model tertentu (misalnya, Kimberly) mungkin tidak cocok untuk negara berkembang karena membutuhkan pendanaan dan pengetahuan yang besar.
    • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Lakukan survei dan wawancara kualitatif (metode baru) di kawasan yang rentan bencana (konteks: Asia Tenggara atau Afrika) untuk mengukur tingkat literasi model dan skeptisisme terhadap kontribusi model (variabel). Riset harus mengidentifikasi strategi pelatihan yang paling efektif untuk mentransfer pemahaman model, terutama dalam pengelolaan bencana yang disebabkan oleh manusia (man-made disasters).
    • Kebutuhan Lanjutan: Untuk meningkatkan kegunaan dan penerapan model di lapangan dan memastikan bahwa bencana dikelola secara efektif.
  5. Analisis Longitudinal tentang Dampak Model pada Keberlanjutan Pembangunan:
    • Justifikasi Ilmiah: Model manajemen bencana didasarkan pada prinsip bahwa bencana mengganggu pembangunan, dan tujuannya adalah memulihkan pembangunan. Namun, studi ini tidak secara kuantitatif mengukur korelasi jangka panjang antara adopsi model dan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan.
    • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Lakukan analisis data sekunder longitudinal (metode baru) untuk membandingkan tren pembangunan (variabel: PDB regional, infrastruktur yang diperbaiki) di wilayah yang secara konsisten menerapkan model bencana tertentu (misalnya, Model Pressure and Release (PAR) yang digunakan di Arab Saudi) selama lebih dari sepuluh tahun. Riset harus mengukur variabel baru, yaitu indeks pemulihan pembangunan (IPB).
    • Kebutuhan Lanjutan: Untuk memberikan justifikasi ekonomi dan sosial yang kuat kepada pemerintah bahwa model merupakan alat yang tak terhindarkan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi seperti Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) (sebagai koordinator global dan penerima hibah), Bank Dunia (sebagai sumber pendanaan dan data pembangunan), dan Pusat Kesiapsiagaan Bencana Asia (ADPC) (sebagai pengembang Model Tradisional dan Crunch Cause yang populer) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, terutama dalam konteks global yang kompleks.

Baca paper aslinya di sini