Membangun Tanpa Pengakuan: Krisis Sertifikasi Tenaga Konstruksi

Dipublikasikan oleh Hansel

04 September 2025, 13.59

freepik.com

Di balik gedung-gedung yang menjulang, jembatan yang kokoh, hingga rumah sederhana yang nyaman ditinggali, ada jutaan pekerja konstruksi yang sehari-harinya memanggul batu, mencetak bata, atau merakit kayu. Namun, ironisnya, sebagian besar dari mereka hidup tanpa pengakuan resmi atas keterampilan yang mereka miliki. Mereka terlihat di lapangan, tetapi “tak terlihat” di sistem formal.

Sebuah studi komprehensif yang mengulas program Recognition of Prior Learning (RPL) di Tanzania, khususnya yang digerakkan oleh Vocational Education and Training Authority (VETA), membuka fakta penting. RPL seharusnya menjadi jembatan: memberi sertifikat resmi kepada para pekerja informal yang sebenarnya sudah mahir melalui pengalaman. Namun kenyataannya, jembatan ini seringkali terputus di tengah jalan.

Masalahnya ternyata bukan sekadar sertifikat. Lebih dalam dari itu, penelitian menemukan bahwa ada lapisan hambatan struktural, biaya, akses, dan persepsi yang terus menghalangi pekerja untuk benar-benar mendapat pengakuan. Bila dibiarkan, situasi ini bukan hanya merugikan pekerja, tetapi juga melemahkan mutu proyek konstruksi, mengikis standar keselamatan, dan membatasi peluang ekonomi sebuah negara.

Artikel ini membuka lembaran penting di mana banyak tenaga konstruksi yang “terlihat” di lapangan namun tak diakui secara formal. Kegagalan pengakuan itu bukan sekadar soal sertifikat melainkan masalah struktur, biaya, akses, dan persepsi yang jika dibiarkan, memperlemah mutu proyek, mengikis keselamatan, dan menahan peluang ekonomi.

Mengapa isu ini penting hari ini?

Industri konstruksi di negara berkembang bergantung besar pada tenaga informal: tukang yang belajar dari pengalaman, keluarga, atau ‘turun-temurun’ praktik kerja. Di Tanzania, sektor informal menyumbang 60–80% kesempatan kerja dan memegang peranan signifikan dalam output industri. Ketika sebagian besar tenaga kerja ini tidak terakreditasi, negara kehilangan peluang besar untuk menaikkan standar mutu, keselamatan, dan mobilitas tenaga kerja. 

Masalahnya bukan teori: pengakuan keterampilan—atau ketiadaannya—mempengaruhi setiap langkah proyek. Pekerja tanpa sertifikat sulit diikutsertakan dalam penawaran kontrak resmi, terbatasi akses pembiayaan, dan cenderung lebih rentan terhadap upah rendah serta kecelakaan. Studi ini menegaskan: formalitas keterampilan adalah jembatan antara pengalaman lapangan dan peluang yang aman, produktif, serta berkelanjutan. 

Tanpa adanya sertifikat, keterampilan mereka tidak tercatat, tidak terukur, dan tidak bisa dibandingkan dengan standar resmi. Akibatnya, mereka:

  • Sulit diikutsertakan dalam tender atau kontrak resmi.
  • Terbatas aksesnya pada lembaga keuangan, karena tidak punya bukti formal atas profesinya.
  • Lebih rentan terhadap upah rendah dan diskriminasi.
  • Tidak memiliki perlindungan cukup terhadap kecelakaan kerja.

Dengan kata lain, tanpa pengakuan keterampilan, mereka terus berada di pinggiran, meski konstruksi modern justru berdiri di atas kerja keras mereka.

Metodologi singkat seberapa kuat datanya?

Penelitian ini menggunakan desain deskriptif campuran (kualitatif + kuantitatif), mengambil sampel 68 calon peserta RPL dari dua bidang: Masonry/Bricklaying dan Carpentry/Joinery, dengan respons valid sekitar 68% (46 responden). Analisis memakai Relative Importance Index (RII) untuk meranking hambatan-hambatan utama. Hasilnya memberi bobot empiris pada masalah yang selama ini hanya “dirasakan” pelaku lapangan.

Data besar lain yang layak disebut: pada fase penilaian (Feb 2017–Nov 2018) tercatat 22.390 terdaftar, namun hanya 3.989 yang dinilai dan 3.580 lulus memperlihatkan bahwa kapasitas penilaian dan aliran kandidat masih jauh dari kebutuhan nyata di lapangan. Angka-angka ini memberi dimensi kuantitatif yang membumi: potensi besar, tapi realisasi kecil. 

Temuan inti: tiga kelompok hambatan utama

Penelitian merangkum hambatan dalam tiga blok: (1) aturan & prosedur RPL, (2) kendala pengembangan keterampilan (skills development), dan (3) keterbatasan institusional & sumber daya. Tiap poin di bawah dijelaskan dengan narasi yang lebih rinci.

1) Aturan dan prosedur RPL birokrasi yang menyurutkan niat

Prosedur RPL mengikuti alur logis: awareness → fasilitasi → screening → assessment → sertifikasi. Namun kenyataannya, proses ini terasa kompleks bagi pekerja harian: persyaratan bukti (portfolio), waktu pengumpulan, dan biaya menjadi penghalang nyata. Hasil RII menunjukkan kurangnya awareness sebagai hambatan utama pada level prosedur.
Proses yang ideal di atas lapangan sering berbenturan dengan realitas pekerja informally employed—mereka bekerja dari proyek ke proyek, jam kerja panjang, dan pendapatan harian yang tidak stabil. Mengumpulkan bukti, menghadiri fasilitasi, atau bahkan datang ke pusat VETA berarti kehilangan penghasilan sehari atau beberapa hari. Jadi, aturan yang tampak wajar secara teknis menjadi mahal secara ekonomi bagi individu. Akibatnya, banyak calon menilai RPL sebagai “waktu terbuang” persepsi ini mendapatkan skor RII tertinggi pada beberapa kategori (mis. RII 0,90 untuk persepsi pemborosan waktu pada kelompok masonry). Ketika program dianggap mengganggu mata pencaharian, partisipasi otomatis turun, terlepas dari manfaat jangka panjang sertifikasi.

2) Hambatan pengembangan keterampilan kesenjangan informasi dan akses

Responden menempatkan kurangnya pengetahuan tentang manfaat sertifikat RPL sebagai penghalang besar banyak pekerja percaya sertifikat hanya berguna untuk yang hendak melanjutkan studi, bukan untuk meningkatkan permintaan jasa mereka sehari-hari. Ini membuat motivasi pendaftaran rendah. 
Mispersepsi ini berakar pada struktur pasar lokal: klien perorangan lebih tertarik harga dan kecepatan, jarang menanyakan sertifikat ke tukang. Akibatnya, tukang yang bertahan di siklus kerja informal tidak melihat keuntungan langsung dari sertifikasi. Studi menunjukkan sekitar 73% pekerja beranggapan sertifikat “hanya untuk belajar lebih lanjut,” sehingga potensi peningkatan upah atau akses tender formal kurang kentara dalam benak mereka. 

Selain itu, ketersediaan pusat VETA di area rural sangat terbatas. Akses fisik yang sulit menambah biaya dan waktu perjalanan, faktor yang krusial bagi pekerja harian. Perluasan kapasitas infrastruktur menjadi salah satu rekomendasi utama penelitian.

3) Keterbatasan institusional: profesional RPL & relevansi standar

Penelitian menyorot kekurangan tenaga fasilitator, assessor, dan moderator RPL yang kompeten. Tanpa kapasitas itu, kualitas assessment terancam inkonsistensi. Selain itu, standar kualifikasi yang ada (class standards) kerap tidak pas dengan standar lapangan—artinya, apa yang dinilai di dokumen formal tidak selalu mencerminkan keterampilan praktis yang dikuasai tukang di lokasi kerja.
Bayangkan seorang tukang batu yang mahir membuat dinding kokoh lewat teknik lokal yang terbukti tahan lama namun jika standar formal menilai kemampuan berbeda (mis. prosedur kerja atau terminologi), ia berisiko gagal hanya karena terminologi atau format portofolio. Ini menempatkan beban ganda: pekerja harus menyesuaikan praktik nyata dengan format formal, menambah waktu dan biaya. Kekurangan profesional RPL memperparah masalah karena assessor kurang familiar dengan konteks lapangan, sehingga penilaian bisa terasa “asing” bagi kandidat.

Fakta menarik (dalam bullet, agar mudah diserap)

  • Rata-rata partisipasi yang dinilai jauh lebih kecil dibanding yang terdaftar: dari 22.390 terdaftar hanya 3.989 dinilai
  • Persepsi “waktu terbuang” (wasted time) mendapat RII tertinggi artinya, faktor ekonomi dan waktu mendominasi keputusan tidak ikut RPL. 
  • Kurangnya VETA/ketersediaan pusat pelatihan di area rural menjadi hambatan nyata, dinilai penting oleh hampir semua responden. 

Rekomendasi praktis dari studi apa yang bisa dilakukan sekarang?

Peneliti menyusun strategi terukur berdasarkan analisis RII dan masukan lapangan. Inti rekomendasinya dapat diringkas sebagai lima langkah prioritas berikut, yang setiap langkah akan saya jelaskan dua paragraf agar jelas implementasinya.

1) Perbaiki dan perluas program sosialisasi (advertising & awareness)

Sosialisasi harus keluar dari kanal formal (website, brosur) ke kanal yang diikuti pekerja: pengumuman di vijiwe(tempat tunggu harian tukang), megaphone di pasar, fliers di halte angkutan, serta jam penyuluhan di lokasi proyek. Strategi sederhana ini mendapat RII tertinggi untuk efektivitas. 

VETA dapat bekerja sama dengan komunitas lokal, menggunakan peta vijiwe untuk target kampanye, dan menjadwalkan roadshow teratur saat musim sepi proyek agar pekerja bisa hadir tanpa kehilangan penghasilan utama. Langkah ini murah tetapi berdampak besar pada awareness. 

2) Perluas titik layanan VETA buka pusat dekat komunitas pekerja

Peningkatan kapasitas VETA, terutama di daerah rural dan pinggiran kota, akan mengurangi biaya akses dan waktu hilang bagi calon peserta. Alternatif: mobile-assessment units atau kerja sama dengan LSM/organisasi gereja lokal untuk ruang assessment sementara. 

Dampak langsungnya adalah ketika jarak dan biaya berkurang, pendaftaran meningkat bukan sekadar teori: penelitian mengkonfirmasi bahwa akses fisik memengaruhi keputusan pekerja untuk mendaftar. Investasi ini juga membuka jalur pemberdayaan ekonomi setempat. 

3) Sederhanakan proses bukti (portfolio) dan adaptasikan metode penilaian

Penelitian menyoroti bahwa metode portfolio sering dianggap mahal dan memakan waktu. Solusi: tetapkan template bukti kerja yang sederhana (foto, video singkat kerja nyata, tanda tangan klien) serta opsi assessment on-site yang menilai kemampuan langsung tanpa prosedur administratif berbelit.

Selain itu, kembangkan metode penilaian yang kontekstual assessor harus dilatih mengenali variasi teknik lokal yang valid. Ini mengurangi risiko “mengadili” keterampilan praktis dengan standar teoritis yang tak relevan. 

4) Bangun mekanisme pembiayaan bersama (cost-sharing)

RPL dinilai mahal oleh banyak calon. Skema pembiayaan bersama antara pemerintah (subsidi SDL), kontraktor, dan kandidat bisa mengurangi beban langsung. Insentif bagi perusahaan yang memfasilitasi pekerja mereka mengikuti RPL (mis. prioritas tender) juga disarankan peneliti.

Anggap RPL sebagai investasi sektor perusahaan yang menanggung biaya sertifikasi jangka menengah akan mendapat tenaga kerja lebih produktif, mengurangi rework, dan meningkatkan reputasi. Skema pilot bisa dimulai di satu wilayah lalu diperluas. 

5) Bangun target nasional dan kerjasama multi-pihak

Peneliti menyarankan target nasional jumlah informal workers yang mendapat recognition per tahun, serta kerjasama VETA–industri–LSM untuk knowledge sharing, pengembangan tool, dan monitoring. Target membuat program terukur dan memudahkan alokasi anggaran. 

Implementasi nyata: bentuk taskforce lokal yang memonitor enrolment, outcome penempatan kerja, dan tingkat lulus—data ini bisa dipakai untuk perbaikan berkelanjutan. 

Kritik realistis apa yang kurang dari studi dan implementasi

Pertama, cakupan riset terbatas pada dua trade (masonry dan carpentry) dan area Dar-es-Salaam; hasilnya kuat untuk konteks itu tetapi perlu generalisasi hati-hati sebelum diterapkan di seluruh negara atau sektor lain. Studi sendiri merekomendasikan perluasan penelitian ke lebih banyak trade. 

Kedua, rekomendasi implementatif memerlukan komitmen anggaran dan reformasi institusional—bukan sekadar kampanye. Misalnya, penambahan VETA centre di rural memerlukan dana dan kebijakan fiskal; skema cost-sharing perlu kerangka hukum agar berkelanjutan. Tanpa politik dan dana, ide bagus akan tetap retorika. 

Kesimpulan: dari masalah ke peluang nyata

Penelitian ini menegaskan: mengakui keterampilan informal lewat RPL bukan sekadar memberi “kertas” pada tukang ini pintu untuk keselamatan kerja lebih baik, mutu konstruksi lebih tinggi, mobilitas tenaga kerja, dan pengurangan ketimpangan akses pendidikan vokasi. Bila strategi yang direkomendasikan diterapkan—iklan yang tepat sasaran, pusat layanan lebih dekat, proses bukti yang sederhana, pendanaan bersama, dan target nasional efeknya bisa terasa cepat: peningkatan pendaftaran, penurunan rework, dan peningkatan peluang kerja formal.

Jika pemerintah bersama sektor swasta serius menjalankan paket rekomendasi tersebut, negara seperti Tanzania (dan konteks serupa) berpeluang melihat lonjakan pengakuan keterampilan dalam 3–5 tahun, yang pada gilirannya akan memperbaiki kualitas pembangunan infrastruktur dan menambah daya tawar pekerja. Akhirnya, formalitas keterampilan membuka akses pada pasar yang lebih besar—dari pekerjaan rumah tangga ke kontrak publik. 

Sumber Artikel:

Mbunda, U., Lello, D., & Tesha, D. (2020). Barriers of the recognition of informal construction workers towards improving their skills; The case of Recognizing Prior Learning (RPL) programme in Tanzania. International Journal of Construction Engineering and Management9(2), 63-80.