Membangun Mutu dari Awal: Refleksi Konseptual atas Penerapan Prinsip Quality-by-Design dalam Laboratorium QC Farmasi di Sumber Daya Terbatas

Dipublikasikan oleh Muhammad Reynaldo Saputra

08 Agustus 2025, 20.22

Pendahuluan: Merancang Mutu Sejak Awal

Quality-by-Design (QbD) telah lama menjadi pendekatan sistematis dalam pengembangan produk farmasi, menekankan bahwa kualitas tidak boleh diperiksa setelah produksi, melainkan dirancang sejak awal. Dalam konteks industri farmasi global, penerapan prinsip ini biasanya terfokus pada pengembangan produk dan metode analisis. Namun, artikel ini melangkah lebih jauh dengan memperkenalkan penerapan QbD pada pendirian fasilitas laboratorium pengendalian mutu (QC), sebuah pendekatan yang jarang dibahas, apalagi di negara dengan sumber daya terbatas.

Konsep baru yang diperkenalkan adalah lab QbD (lQbD), yang dalam studi ini diterapkan pada pengembangan sistem pemurnian air laboratorium di Jimma University Laboratory of Drug Quality (JuLaDQ), Ethiopia. Artikel ini menyoroti tidak hanya bagaimana sistem ini dibangun secara teknis, tetapi juga bagaimana prinsip-prinsip ilmiah, teori kontrol mutu, dan manajemen risiko menjadi dasar dalam tiap keputusan desain.

Konseptualisasi QbD: Dari Produk ke Laboratorium

Transformasi Kerangka Teori QbD ke lQbD

QbD didefinisikan oleh ICH Q8(R2) sebagai pendekatan yang dimulai dengan tujuan kualitas yang telah ditetapkan (Quality Target Product Profile, QTPP) dan diikuti oleh identifikasi atribut mutu kritis (Critical Quality Attributes, CQA), parameter proses kritis (Critical Process Parameters, CPP), strategi kontrol, dan pemantauan berkelanjutan.

Dalam laboratorium, pendekatan ini ditransformasikan menjadi:

  • TLP (Target Laboratory Profile): analog dengan QTPP, yaitu tujuan performa laboratorium.

  • LQA (Laboratory Quality Attributes): versi laboratorium dari CQA.

  • lQbD: kerangka kerja yang mendasari perancangan laboratorium QC berbasis risiko dan mutu.

Dimensi Reflektif: Apakah QbD Cocok untuk Pendirian Lab?

Penerapan QbD dalam konteks pendirian lab membuka cakrawala baru dalam manajemen mutu, karena biasanya QbD terfokus pada pengembangan produk atau metode analitik. Namun dalam paper ini, pendekatan tersebut diposisikan sebagai strategi untuk meminimalisasi variasi dalam proses laboratorium dan menjamin mutu data analisis sejak awal, bukan hanya sebagai langkah korektif.

Implementasi Praktis: Studi Kasus Air Laboratorium

Sistem Pemurnian Air: Pilar Mutu Analisis

Air laboratorium merupakan komponen vital dalam banyak prosedur analitik—mulai dari pelarut dalam HPLC hingga bilasan alat. Dalam studi ini, sistem pemurnian air yang dirancang mencakup kombinasi distilasi, pemurnian Nanopure Analytical Ultrapure, dan filtrasi 0.2 mikron.

Dengan pendekatan ini, JuLaDQ tidak hanya menjamin kualitas air ultrapure (18.2 MΩ.cm), tetapi juga mengimplementasikan strategi monitoring berbasis parameter kritis:

  • Global Peak Area HPLC pada 210 & 254 nm

  • Resistivitas

  • pH

Evaluasi Empiris dan Reflektif: Apakah Sistem Ini Efektif?

Selama periode pemantauan 1 tahun, hasil menunjukkan bahwa:

  • Peak area maksimal: 2.911,9 (210 nm), 772,7 mAU*s (254 nm).

  • Nilai ini jauh di bawah batas kontrol 5.500 dan 5.000 mAU*s yang diusulkan.

  • Resistivitas konsisten ≥ 18.2 MΩ.cm untuk air ultrapure.

Makna teoretis dari data ini menunjukkan bahwa sistem pemurnian tidak hanya stabil, tetapi juga dapat digunakan sebagai dasar penetapan spesifikasi SST (System Suitability Test) berbasis kuantitatif—sebuah terobosan dalam standar air laboratorium di lingkungan terbatas.

Struktur Argumentatif dan Kontribusi Ilmiah

Narasi Argumentatif: Dari Masalah ke Solusi Inovatif

Paper ini menyoroti masalah: standar kualitas air laboratorium sulit dipenuhi dalam konteks sumber daya terbatas. Penulis mengidentifikasi bahwa tidak ada satu unit pemurnian tunggal yang dapat memenuhi standar air tipe "R" dalam The International Pharmacopoeia.

Solusinya? Kombinasi teknologi yang disesuaikan dengan konteks: distilasi → pemurnian nanopure → filtrasi. Penulis kemudian menyusun proses validasi menggunakan parameter ilmiah yang terukur (peak area, resistivitas, pH) yang dapat dilacak dan dikontrol.

Kontribusi Konseptual: lQbD sebagai Model Praktis

Kontribusi besar dari studi ini adalah formalnya konsep lQbD—suatu kerangka konseptual yang mengadaptasi QbD menjadi pendekatan dalam mendirikan dan mengoperasikan laboratorium QC berbasis mutu. Ini mencakup:

  • Pemetaan risiko dengan diagram Ishikawa

  • Penerapan siklus PDCA (Plan-Do-Check-Act)

  • Spesifikasi berbasis hasil data nyata, bukan asumsi teoritis

Refleksi atas Hasil Studi dan Makna Teoretisnya

Angka dan Apa Artinya

Beberapa angka kunci dan interpretasinya:

  • Peak area tap water: 85.200 mAU*s (254 nm) → jauh melebihi batas toleransi.

  • Peak area distilled water (setelah cleaning): 3.551 mAU*s → masih dalam batas aman.

  • Resistivitas distilled water: 1.9 MΩ.cm vs. ultrapure: 18.2 MΩ.cm

Interpretasi:

  • Nilai peak area berkorelasi langsung dengan jumlah kontaminan organik yang dapat mengganggu hasil HPLC. Maka, validasi mutu air berdasarkan parameter ini lebih representatif dibanding hanya mengandalkan UV-absorbansi atau konduktivitas.

  • Resistivitas menjadi indikator kualitas ionik. Meskipun tidak dicantumkan dalam spesifikasi air R di The International Pharmacopoeia, ia sangat penting dalam pengujian LC-MS dan gradient HPLC.

Kritik terhadap Pendekatan dan Metodologi

Kekuatan: Integrasi Konsep dan Praktik

Penelitian ini unggul dalam hal:

  • Menerjemahkan teori ke dalam praktik yang bisa direplikasi di berbagai setting terbatas.

  • Penggunaan parameter berbasis data untuk membangun sistem kontrol mutu internal yang rasional dan hemat biaya.

Kelemahan: Asumsi Keterbatasan Jangka Panjang

Namun, terdapat keterbatasan logika:

  • Penulis menyatakan bahwa laboratorium tidak melakukan uji mikrobiologi sehingga parameter mikrobiologis tidak dijadikan CQA. Namun, dalam jangka panjang, laboratorium QC yang bertumbuh cenderung akan melayani lebih banyak pengujian biologis.

  • Penggunaan soda lime glass selama 48 jam untuk menyimpan air ultrapure, meskipun stabil secara hasil peak area, berpotensi membuka pintu kontaminasi mikrobiologis—yang tidak diuji dalam studi ini.

Poin-Poin Utama yang Perlu Dicatat

๐Ÿงช Prinsip-Prinsip Kunci dari lQbD

  • TLP sebagai fondasi desain laboratorium.

  • CQAs ditentukan berdasarkan kemampuan pengujian laboratorium.

  • CPPs termasuk konfigurasi sistem pemurnian air.

  • Strategi kontrol berbasis SST (HPLC global peak area dan resistivitas).

  • Kontinuitas pemantauan dengan pendekatan Six Sigma.

๐Ÿ’ก Temuan Penting

  • Air ultrapure dapat digunakan hingga 48 jam tanpa degradasi kualitas.

  • Peak area HPLC adalah indikator kontaminan organik yang jauh lebih sensitif dibanding UV-absorbansi.

  • Kombinasi distilasi + nanopure + filtrasi lebih ekonomis (3,2 USD/L) dibanding membeli air HPLC-grade (60 USD/L).

Kesimpulan: Implikasi dan Potensi Ilmiah

Penerapan prinsip Quality-by-Design dalam pendirian laboratorium QC, khususnya dalam desain dan kontrol sistem air, seperti yang dicontohkan dalam penelitian ini, memperluas cakupan QbD dari sekadar proses dan produk menjadi sistem dan fasilitas.

Konsep lab QbD (lQbD) yang diperkenalkan menunjukkan potensi besar sebagai kerangka kerja pengembangan laboratorium yang:

  • Adaptif terhadap konteks lokal,

  • Berdasarkan data dan sains,

  • Mengurangi ketergantungan pada standar luar yang mahal.

Implikasi ilmiahnya menjangkau luas—dari pembentukan standar baru SST berbasis peak area HPLC, hingga kontribusi dalam pengembangan laboratorium farmasi di negara berkembang yang lebih tangguh, efisien, dan terpercaya.

๐Ÿ“„ DOI Resmi Paper: https://doi.org/10.1155/2022/2062406