Pengantar: Menyambut Tantangan Abadi Konstruksi Digital
Industri konstruksi Indonesia telah menjadi pilar pembangunan nasional, tetapi peran aspek rekayasa dan teknologi masih terpinggirkan di tengah dominasi manajemen dan regulasi. Dalam orasi ilmiahnya, Prof. Biemo W. Soemardi menggarisbawahi urgensi reposisi aspek teknologi sebagai inti penggerak industri konstruksi ke depan.
Sebagai negara berkembang dengan infrastruktur yang terus tumbuh, Indonesia dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana bertransformasi dari pengguna teknologi menjadi pencipta dan pengembang teknologi konstruksi. Dalam paparan ini, Prof. Biemo tidak hanya menawarkan tinjauan historis, tetapi juga memetakan langkah strategis menuju lanskap konstruksi masa depan.
Kontribusi Strategis Industri Konstruksi terhadap Ekonomi Nasional
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa kontribusi sektor konstruksi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia meningkat dari 7% pada awal 2000-an menjadi 10,12% pada 2019. Ini menunjukkan bahwa konstruksi bukan hanya pelengkap, tapi juga penggerak utama ekonomi.
Namun, ironisnya, adopsi teknologi konstruksi modern masih lamban. Banyak proyek besar tetap bergantung pada teknologi asing, seperti tunnel boring machine, launching gantry, dan teknologi struktur baja. Kondisi ini menciptakan ketergantungan yang berisiko secara strategis dan ekonomi.
Refleksi Historis: Dari Borobudur hingga Proyek Kereta Cepat
Prof. Biemo menelusuri jejak teknologi konstruksi di Indonesia dari era Candi Borobudur, masa penjajahan Belanda, hingga masa modern. Setiap periode memperlihatkan bagaimana inovasi lokal dan adopsi luar negeri memainkan peran penting:
- Borobudur: Penggunaan sambungan mekanik tanpa semen menunjukkan kecanggihan teknik struktural di abad ke-9.
- Era Belanda: Penerapan metode Belgia pada terowongan Sasaksaat dan jembatan Tjisomang menunjukkan kemampuan lokal dalam menyerap teknologi barat.
- Awal Kemerdekaan: Bangunan monumental seperti Gelora Bung Karno dan Hotel Indonesia mencerminkan semangat nasionalisme dan kolaborasi teknologi asing-lokal.
- Era Reformasi: Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung menjadi etalase tantangan integrasi teknologi Tiongkok dan kapasitas domestik.
Tantangan Kunci: Ketimpangan Antara Regulasi dan Teknologi
Meskipun regulasi dan manajemen konstruksi berkembang pesat—ditandai dengan munculnya UU Jasa Konstruksi dan pembentukan LPJK—penguatan sisi teknologinya justru stagnan. Banyak perguruan tinggi lebih fokus pada manajemen proyek daripada inovasi rekayasa.
Catatan kritis: LPJK, yang diharapkan menjadi katalisator inovasi industri, justru lebih sibuk pada isu administratif seperti sertifikasi, bukan pada pengembangan teknologi atau pembentukan ekosistem inovatif berbasis riset.
Teknologi Konstruksi: Lanskap, Realita, dan Peluang
1. Industrialisasi: Beton Pracetak dan Modularisasi
Meski sudah dikenal sejak 1970-an, adopsi teknologi beton pracetak dan baja modular masih terbatas pada proyek-proyek skala besar. Keterbatasan rantai pasok dan mahalnya material baja menjadi kendala nyata. Namun, proyek IKN mulai menunjukkan potensi konstruksi modular sebagai masa depan efisiensi.
2. Green Construction dan Sustainability
Konsep konstruksi berkelanjutan (KB) telah masuk kebijakan sejak 2011 dan diperkuat oleh Permen PUPR No. 5 Tahun 2015. Namun, masih sebatas proyek-proyek PUPR dan belum mengakar di sektor swasta. Program greenship oleh GBCI pun dinilai belum menyentuh aspek konstruksi secara utuh—terlalu fokus pada aspek arsitektural bangunan, bukan proses konstruksinya.
3. Teknologi Digital: BIM dan PMIS
Building Information Modeling (BIM) kini mulai digunakan pada proyek-proyek nasional seperti Tol Rengat–Pekanbaru.
Project Management Information System (PMIS) mampu memantau progres, efisiensi, dan risiko, namun penggunaannya belum merata di seluruh proyek pemerintah.
Arah Masa Depan: Strategi Penguatan Kerekayasaan Nasional
Langkah 1: Bangun Lanskap Teknologi Konstruksi
- Lanskap teknologi menjadi alat untuk:
- Menentukan posisi teknologi saat ini (baseline)
- Mengidentifikasi technology gap
- Merancang peta jalan penguasaan teknologi konstruksi Indonesia
- Contoh sukses: Negara seperti Korea Selatan memiliki Construction Technology Roadmap yang jelas dari riset hingga penerapan di lapangan.
Langkah 2: Transformasi Pendidikan Tinggi
- Perlu ada program studi khusus “Teknologi Konstruksi” atau “Rekayasa Metode Pelaksanaan”
- Praktikum berbasis proyek nyata, bukan hanya simulasi di laboratorium
Langkah 3: Kolaborasi Trilateral: Pemerintah–Kampus–Industri
- Pemerintah sebagai regulator dan penyedia insentif
- Kampus sebagai pusat riset dan pelatihan
- Industri sebagai pengguna dan pengembang teknologi
Kritik dan Analisis Tambahan
Kelebihan Orasi:
- Mampu membingkai tantangan dan solusi secara holistik: dari sejarah, regulasi, teknologi, hingga kebijakan
- Menyediakan data dan ilustrasi konkret (e.g., Jembatan Barelang, Proyek KCJB)
Kelemahan:
- Minim penjabaran kuantitatif tentang kebutuhan SDM teknologi konstruksi
- Belum mengulas secara mendalam soal teknologi baru seperti IoT, AI, atau digital twin
Rekomendasi lanjutan: Riset lanjutan bisa fokus pada benchmarking Indonesia dengan negara seperti Malaysia, Singapura, atau Vietnam dalam adopsi teknologi dan ekosistem inovasinya.
Penutup: Saatnya Indonesia Menjadi Produsen Teknologi Konstruksi
Orasi ilmiah ini adalah panggilan strategis agar Indonesia beralih dari pengguna teknologi menjadi produsen dan pengembang teknologi konstruksi. Di tengah tekanan global, bonus demografi, dan proyek infrastruktur besar seperti IKN, Indonesia tak punya pilihan selain membangun daya saing berbasis teknologi.
Sebagaimana disampaikan Prof. Biemo, sejarah membuktikan bahwa bangsa ini mampu menciptakan karya konstruksi agung sejak ribuan tahun lalu. Kini saatnya sejarah itu disambung kembali dengan semangat inovasi, bukan hanya repetisi.
Sumber
Prof. Biemo W. Soemardi. (2024). Rekayasa dan Teknologi Konstruksi di Indonesia: Perkembangan dan Peluang di Masa Mendatang. ITB Press.
ISBN: 978-623-297-404-3
e-ISBN: 978-623-297-405-0
Dapat diakses melalui www.itbpress.id