Krisis Air dan Adaptasi di Era Perubahan Iklim
Perubahan iklim telah menjadi ancaman nyata bagi ketersediaan air dan ketahanan hidup masyarakat pedesaan, terutama di negara berkembang seperti Tanzania. Studi Theodory & Massoi (2023/24) membedah secara mendalam bagaimana komunitas petani dan pastoral di Distrik Kilosa menghadapi tantangan ini melalui tata kelola air adaptif. Artikel ini mengulas temuan utama, data lapangan, studi kasus, serta mengaitkannya dengan tren global dan tantangan tata kelola air di era iklim ekstrem.
Konteks dan Relevansi: Mengapa Kilosa?
Kilosa, salah satu distrik di Morogoro, Tanzania, dikenal sebagai kawasan rawan konflik petani-penggembala dan sangat rentan terhadap perubahan iklim. Wilayah ini memiliki tiga zona agro-ekologi (dataran tinggi, dataran banjir, pegunungan) dan curah hujan tahunan 600–1400 mm, namun tetap menghadapi kekurangan air kronis akibat perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan tekanan lahan.
Kombinasi Data Kualitatif dan Kuantitatif
Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dengan pendekatan campuran:
- Survei 174 rumah tangga (10% populasi di 4 desa: Parakuyo, Twatwatwa, Mamoyo, Mabwerebwere)
- Wawancara mendalam dengan 30 informan kunci (pejabat pemerintah, peneliti, pengelola air)
- 12 Focus Group Discussions (petani, penggembala, perempuan, tokoh adat)
- Analisis data statistik (regresi, faktor analisis) serta triangulasi data kualitatif
- Studi dokumen: kebijakan nasional, strategi perubahan iklim, dan literatur tata kelola air
Perubahan Iklim: Persepsi dan Bukti Lapangan
Persepsi Masyarakat
- Mayoritas responden menyadari perubahan iklim: penurunan curah hujan, musim kemarau panjang, suhu meningkat, dan pola musim tidak menentu.
- Dampak langsung: gagal panen, kekurangan air minum, konflik penggunaan air, dan migrasi musiman.
“Rains were not sufficient, and they lasted for only a short period of time. We tried to prepare our farms early enough, but it did not rain on time.”
(Wawancara Petani, Mabwerebwere)
Bukti Kuantitatif
- Kenaikan suhu: Setiap kenaikan 1°C menurunkan ketersediaan air sebesar 0,69 satuan (p=0,051).
- Penurunan curah hujan: Setiap satuan kenaikan curah hujan meningkatkan ketersediaan air 2,37 satuan (p=0,021).
- Perubahan musim: Pergeseran kalender tanam menurunkan produksi pertanian hingga 3 kali lipat (β = -3,02; p=0,008).
- Dampak pada harga air: Harga air bersih melonjak dari 50–100 TZS/jerrycan menjadi 500–600 TZS/jerrycan saat kemarau.
Dampak Perubahan Iklim terhadap Air dan Penghidupan
Ketersediaan Air
- Sumber air utama: sungai, sumur dangkal, dan bendungan buatan (rainwater harvesting).
- Penurunan debit sungai: Sungai Mkondoa dan Mkata mengalami penurunan debit signifikan, menyebabkan irigasi dan air minum terganggu.
- Bendungan buatan: Di Parakuyo, bendungan komunitas menjadi sumber utama air saat kemarau, dikelola dengan aturan adat.
Dampak pada Pertanian dan Peternakan
- Gagal panen: Penurunan hasil pertanian akibat curah hujan tidak menentu dan musim tanam yang bergeser.
- Kerugian peternak: Kekurangan air dan pakan menyebabkan kematian ternak massal (contoh: tahun 2020, banyak sapi mati karena sungai dan dam kering lebih dari sebulan).
- Konflik lahan dan air: Persaingan antara petani dan penggembala, serta invasi satwa liar (gajah masuk desa saat kemarau).
Dampak Sosial-Ekonomi
- Kenaikan harga pangan: Penurunan produksi menaikkan harga pangan lokal.
- Peningkatan penyakit air: Sumber air tercemar meningkatkan risiko diare, kolera, dan penyakit lainnya.
- Beban perempuan: Perempuan lebih aktif dalam aksi kolektif mencari air, karena bertanggung jawab atas kebutuhan rumah tangga.
Studi Kasus: Tata Kelola Air Adaptif di Parakuyo dan Mabwerebwere
Parakuyo: Integrasi Adat dan Formal
- COBWSO (Community Based Water Supply Organization): Mengelola distribusi air, pungutan, dan pemeliharaan infrastruktur.
- Peran tokoh adat Maasai: Aturan adat melarang aktivitas tertentu di bendungan (misal: berenang), dengan sanksi sosial dan spiritual.
- Kolaborasi formal-informal: COBWSO bekerja sama dengan pemerintah desa dan RUWASA (Rural Water Supply Agency).
Mabwerebwere: Tantangan Infrastruktur dan Kesehatan
- Sumber air utama: Sumur dangkal bantuan NGO (Islamic Society), namun kualitas air buruk dan rentan penyakit.
- Tidak ada COBWSO: Pengelolaan air lebih banyak dipegang pemerintah desa dan NGO.
- Prioritas pembangunan: RUWASA menjadikan Mabwerebwere target utama pembangunan air bersih tahun berikutnya.
Collective Action: Kunci Ketahanan
- Aksi kolektif: Komunitas aktif menuntut hak air bersih, melakukan patroli sungai, dan mencegah penyalahgunaan air.
- Peran perempuan: Lebih aktif dalam aksi kolektif, terutama dalam menuntut pembangunan infrastruktur air.
Analisis Kritis: Tata Kelola Adaptif dan Tantangan Lapangan
Dimensi Tata Kelola Air
- Sosial: Keadilan distribusi air, peran perempuan, dan pengakuan aturan adat.
- Ekonomi: Efisiensi pungutan air, pengelolaan dana komunitas, dan dampak harga air terhadap kemiskinan.
- Politik: Keterlibatan semua pemangku kepentingan (pemerintah, komunitas, NGO, tokoh adat).
- Lingkungan: Perlindungan sumber air, pengelolaan bendungan, dan adaptasi terhadap degradasi lahan.
Kelebihan Sistem Adaptif
- Fleksibilitas institusi: Kombinasi lembaga formal (COBWSO, Komite Air Desa) dan informal (tokoh adat, aturan lokal).
- Partisipasi masyarakat: Keterlibatan aktif warga dalam pengambilan keputusan dan pengawasan penggunaan air.
- Pembelajaran kolektif: Proses “learning by doing” dalam menghadapi dinamika iklim dan konflik sumber daya.
Tantangan dan Kesenjangan
- Keterbatasan infrastruktur: Sumur dangkal dan bendungan belum mampu memenuhi kebutuhan seluruh desa, terutama saat kemarau panjang.
- Kualitas air: Banyak sumber air tercemar, meningkatkan risiko penyakit.
- Konflik kewenangan: Tumpang tindih peran antara COBWSO, pemerintah desa, dan distrik.
- Keterbatasan dana dan teknologi: Anggaran terbatas untuk perbaikan dan perluasan infrastruktur air.
Hubungan dengan Tren Global: SDGs, IWRM, dan Adaptasi Lokal
- SDG 6 (Clean Water & Sanitation) dan SDG 13 (Climate Action): Studi ini relevan dengan agenda global ketersediaan air bersih dan aksi iklim.
- Integrated Water Resources Management (IWRM): Kilosa menjadi contoh penerapan IWRM berbasis komunitas, dengan kolaborasi multi-aktor.
- Nature-based solutions: Pengelolaan bendungan dan perlindungan DAS secara partisipatif menjadi bagian dari solusi berbasis alam.
- Digitalisasi dan monitoring: Masih menjadi tantangan di Kilosa, namun peluang besar untuk masa depan.
Opini, Kritik, dan Perbandingan
Nilai Tambah Studi
- Pendekatan holistik: Menggabungkan aspek sosial, ekonomi, politik, dan lingkungan dalam tata kelola air.
- Studi kasus nyata: Memberikan gambaran detail praktik adaptasi di tingkat desa, bukan hanya teori.
- Data kuantitatif dan kualitatif: Kombinasi analisis statistik dan narasi lapangan memperkuat validitas temuan.
Kritik
- Kurang eksplorasi teknologi inovatif: Studi lebih fokus pada tata kelola dan aksi kolektif, belum banyak membahas potensi teknologi baru (sensor, digitalisasi).
- Konteks gender: Meski peran perempuan diakui, belum ada analisis mendalam tentang hambatan struktural yang dihadapi perempuan dalam tata kelola air.
- Replikasi ke wilayah lain: Praktik di Kilosa sangat kontekstual, sehingga penerapan di daerah lain perlu adaptasi sesuai budaya dan ekologi lokal.
Perbandingan dengan Studi Lain
- Mirip dengan praktik di Afrika Selatan dan India: Kolaborasi formal-informal dan aksi kolektif juga menjadi kunci di negara-negara tersebut.
- Lebih partisipatif dibanding model top-down: Model adaptif di Kilosa lebih responsif terhadap kebutuhan lokal daripada pendekatan komando sentralistik.
Rekomendasi Kebijakan dan Praktik
- Perkuat kapasitas komunitas: Edukasi iklim, pelatihan pengelolaan air, dan penguatan organisasi lokal.
- Integrasi aturan adat dan formal: Pengakuan resmi terhadap peran tokoh adat dan aturan lokal dalam tata kelola air.
- Investasi infrastruktur air: Prioritaskan pembangunan sumur dalam dan bendungan baru, serta perbaikan sumber air tercemar.
- Kolaborasi multi-aktor: Libatkan pemerintah, NGO, komunitas, dan sektor swasta dalam perencanaan dan implementasi.
- Penguatan monitoring dan evaluasi: Kembangkan sistem pemantauan partisipatif untuk kualitas dan kuantitas air.
- Fokus pada kelompok rentan: Pastikan perempuan, anak-anak, dan kelompok miskin mendapat prioritas dalam akses air bersih.
Ketahanan Air Dimulai dari Tata Kelola Adaptif
Studi Theodory & Massoi menegaskan bahwa ketahanan air di era perubahan iklim hanya bisa dicapai melalui tata kelola yang adaptif, partisipatif, dan kontekstual. Kunci keberhasilan di Kilosa adalah kolaborasi antara lembaga formal dan adat, aksi kolektif masyarakat, serta pembelajaran berkelanjutan. Tantangan infrastruktur, kualitas air, dan konflik tetap ada, namun dengan penguatan kapasitas lokal dan investasi berkelanjutan, komunitas pedesaan dapat menjadi garda depan ketahanan air dan adaptasi iklim di Afrika dan dunia.
Sumber Artikel
Theodory, T.F., Massoi, L. (2023). Adaptive Water Governance and Climate Change Resilience among Rural Communities in Kilosa District, Tanzania. REPOA, Dar es Salaam.