Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan
Kontrak konstruksi menjadi pondasi hukum bagi seluruh aspek pelaksanaan pembangunan: lingkup pekerjaan, hak dan kewajiban para pihak, mekanisme pembayaran, pengaturan risiko, dan penyelesaian sengketa. Namun dalam praktiknya, kontrak sering menghasilkan konflik, misinterpretasi, dan ketidakpastian yang berdampak pada pembengkakan biaya, kerugian waktu, dan bahkan kegagalan proyek.
Signifikansi temuan ini bagi kebijakan publik Indonesia amat besar. Infrastruktur menjadi prioritas nasional dan menyerap sumber daya manusia dan keuangan yang masif. Jika kontrak tidak dikelola dengan baik, dana publik bisa terbuang sia-sia melalui sengketa, klaim tak terduga, atau perubahan scope yang merugikan. Kebijakan publik yang cerdas harus bisa mengantisipasi elemen kontraktual yang rawan konflik dan menetapkan standar kontrak nasional yang jelas.
Beberapa kursus sudah membahas elemen dasar kontrak konstruksi, seperti Dasar Hukum dan Jenis Kontrak Konstruksi yang menguraikan hubungan hukum dasar dalam kontrak konstruksi, bentuk kontrak (lumpsum, unit price, cost + fee), dan bagian wajib yang harus ada dalam kontrak konstruksi. Juga Aspek-Aspek Penting dalam Kontrak Konstruksi menekankan bahwa kontrak mesti secara tegas mengatur aspek biaya, waktu, dan mutu agar interpretasi tidak tumpang tindih.
Dengan demikian, kebijakan publik harus menjadikan kontrak konstruksi sebagai instrumen tata kelola yang tidak boleh diabaikan, melainkan diperkuat dengan regulasi, pendidikan, dan mekanisme pengawasan yang sistemik.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dalam praktik di lapangan, dampak dari penerapan kontrak yang baik atau buruk sangat nyata. Kontrak yang transparan dan adil memungkinkan hubungan simbiosis antara penyedia jasa dan pengguna jasa, meminimalkan potensi konflik. Pekerjaan dapat diselesaikan lebih lancar, kualitas dapat lebih terjaga, dan biaya tambahan karena perubahan atau klaim dapat diminimalisir.
Sebaliknya, kontrak yang lemah atau ambigu sering menjadi pintu gerbang konflik. Salah satu masalah paling klasik adalah keterlambatan yang tidak diatur secara rinci klausul denda atau kompensasi dalam kontrak. Jika kondisi force majeure seperti bencana alam atau pandemi muncul, kontrak tanpa fleksibilitas memicu kebuntuan antara pihak-pihak terkait.
Hambatan berat juga muncul dari literasi kontrak yang rendah, terutama di kalangan kontraktor kecil atau menengah. Banyak yang tidak memahami implikasi klausul kontrak bahkan saat menandatanganinya, dan merasa tertekan ketika terjadi perubahan atau adendum. Dalam kursus Tanya Jawab Pengenalan Kontrak Konstruksi, misalnya disebut bahwa kontrak sewa alat (scaffolding) pun sering terlupakan meskipun merupakan bentuk kontrak yang valid dalam proyek konstruksi.
Di sisi lain, peluang besar muncul dari digitalisasi dan transformasi kontrak. Pengadaan barang/jasa pemerintah yang kini banyak memakai sistem elektronik membuka peluang agar dokumen kontrak, addendum, dan pencatatan pelaksanaan disimpan digital secara transparan. Dengan cara ini, manipulasi kontrak lebih sulit dilakukan dan audit menjadi lebih mudah. Artikel Membedah Labirin Hukum Kontrak Konstruksi: Fondasi Krusial, menyoroti bahwa seringkali kerancuan dalam regulasi kontrak disebabkan kurangnya dasar hukum yang jelas dalam berbagai tingkatan undang-undang dan peraturan.
Selain itu, risiko harga bahan yang fluktuatif sering diadaptasi dalam kontrak melalui klausul eskalasi harga. Artikel 10 Risiko Konstruksi Umum untuk Kontraktor dan Pemilik menjelaskan bagaimana banyak kontrak konstruksi kini mencantumkan klausul eskalasi harga agar risiko lonjakan harga bahan dapat disepakati bersama.
Semua itu menunjukkan bahwa meski hambatan tetap ada, transformasi cara penyusunan dan pengelolaan kontrak terbuka lebar dan bisa dijadikan alat strategis untuk mengurangi konflik di proyek konstruksi.
Rekomendasi Kebijakan Praktis
Berdasarkan analisis di atas dan temuan-temuan dari praktik serta referensi Diklatkerja, berikut rekomendasi kebijakan yang lebih kaya dan aplikatif:
-
Standarisasi Kontrak Konstruksi Nasional Adaptif
Pemerintah pusat harus merilis format kontrak standar nasional yang adaptif—artinya dapat disesuaikan dengan skala, sektor, dan risiko proyek. Format ini harus memuat klausul wajib seperti penjadwalan, denda, perubahan scope, force majeure, eskalasi harga, dan penyelesaian sengketa. Materi Dasar Hukum dan Jenis Kontrak Konstruksi dapat dijadikan referensi dalam menyusun model kontrak nasional. -
Program Literasi Kontrak bagi Pelaku Industri
Pemerintah bersama lembaga pelatihan harus menyelenggarakan kursus, webinar, dan modul daring tentang penyusunan kontrak, pengelolaan adendum, serta legalitas kontrak. Modul Aspek-Aspek Penting dalam Kontrak Konstruksi bisa menjadi salah satu materi dasar. -
Digitalisasi Sistem Kontrak dan Manajemen Proyek
Pembangunan platform kontrak digital nasional yang mengintegrasikan e-procurement, penyimpanan dokumen kontrak, pencatatan adendum, dan pelaporan pelaksanaan dapat meminimalkan sengketa dan meningkatkan auditabilitas. -
Klausul Eskalasi dan Mekanisme Penyesuaian Risiko
Kontrak harus menyertakan klausul eskalasi harga material dan mekanisme penyesuaian yang adil untuk semua pihak apabila terjadi perubahan kondisi makro ekonomi. Ini akan menjaga keseimbangan risiko. -
Penguatan Penyelesaian Sengketa Alternatif (Mediasi & Arbitrase)
Peraturan harus memperkuat mediasi dan arbitrase sebagai mekanisme utama penyelesaian sengketa proyek konstruksi agar tidak bergantung ke pengadilan, yang sering lambat dan rumit. -
Insentif Kontrak Berbasis Kinerja & Kepatuhan K3
Kontraktor yang menunjukkan kepatuhan terhadap K3, minim insiden, dan penyelesaian proyek tanpa klaim besar bisa diberikan poin tambah atau insentif dalam tender pemerintah. -
Audit Kontrak & Evaluasi Berkala
Setiap proyek publik wajib menjalani audit kontrak selama dan setelah pembangunan untuk memastikan klausul kontrak dilaksanakan sesuai kesepakatan.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Setiap kebijakan besar berisiko gagal bila tidak memperhitungkan faktor‐faktor praktis. Pertama, resistensi budaya industri: banyak kontraktor lebih memilih praktik lama meskipun standar baru lebih baik. Kebijakan standarisasi bisa dianggap terlalu membatasi fleksibilitas dalam kontrak individual.
Kedua, ketimpangan akses teknologi: digitalisasi kontrak hanya akan bermanfaat jika semua pihak—termasuk kontraktor kecil di daerah terpencil—mempunyai akses ke internet, perangkat keras, dan keterampilan digital. Jika tidak, kebijakan digital justru memperlebar kesenjangan.
Ketiga, literasi akan kebijakan tetap rendah: kursus kontrak mungkin hanya diikuti sebagian kecil pelaku, sementara banyak yang mengabaikannya. Jika program literasi tidak berkelanjutan dan terukur, dampaknya hanya sementara.
Keempat, klausul eskalasi dan penyesuaian risiko bisa digunakan untuk manipulasi jika tidak terawasi dengan baik. Kontraktor besar mungkin mengajukan klaim eskalasi tidak wajar jika audit dan transparansi lemah.
Kelima, arbitrase/mediasi bisa kehilangan makna jika lembaga penyelesaian sengketa tidak dipercaya atau tidak independen. Bila akreditasi mediator/arbitrator lemah, penyelesaian sengketa akan tetap cacat keadilan.
Penutup
Permasalahan kontrak konstruksi adalah masalah struktural yang memerlukan perhatian kebijakan publik serius. Dengan kebijakan standarisasi kontrak, literasi yang menyeluruh, digitalisasi, mekanisme penyelesaian konflik alternatif, dan insentif berbasis kinerja, sistem kontrak konstruksi Indonesia dapat ditata ulang menjadi instrumen kekuatan pembangunan, bukan beban. Namun, semua itu memerlukan komitmen, penegakan hukum, dan pengawasan agar tidak sekadar tertulis di atas kertas.
Sumber
Kementerian PUPR (2020). Tanya Jawab Permasalahan Kontrak Konstruksi