Transformasi digital Indonesia terus bergerak maju, didorong oleh ambisi besar untuk menjadikan ekonomi digital sebagai pilar pembangunan menuju 2045. Namun laju transformasi ini bergantung pada fondasi yang jauh lebih kompleks daripada sekadar pertumbuhan aplikasi digital. Di balik pesatnya ekspansi ekonomi daring, terdapat kebutuhan mendesak untuk memperkuat infrastruktur data, memperluas konektivitas telekomunikasi, dan membangun regulasi data yang mampu menjaga keamanan sekaligus mendorong inovasi. Laporan terbaru menunjukkan bahwa Indonesia masih menghadapi hambatan struktural dalam seluruh aspek tersebut, dari keterbatasan kapasitas pusat data hingga lemahnya tata kelola data pribadi.
Ekosistem Digital sebagai Penopang Visi Indonesia Emas 2045
Digitalisasi telah menciptakan perubahan besar pada dinamika ekonomi nasional. Akses internet yang kini mencakup lebih dari 97% populasi membuka peluang pertumbuhan yang signifikan, terutama melalui e-commerce dan layanan digital lain yang menjadi penyumbang terbesar sektor ICT. Pemerintah telah menetapkan tiga pilar strategis—pemerintahan digital, ekonomi digital, dan masyarakat digital—untuk memperluas manfaat teknologi ke seluruh lapisan. Tapi untuk mencapai target ini, Indonesia memerlukan ekosistem yang lebih tangguh: pusat data yang memadai, konektivitas stabil, regulasi data yang jelas, serta kebijakan perdagangan yang tidak menghambat arus teknologi global.
Pusat Data: Pertumbuhan Pesat namun Belum Memadai
Permintaan pusat data melonjak seiring maraknya penggunaan layanan berbasis cloud, AI, dan penyimpanan skala besar. Kapasitas pusat data di Jakarta meningkat cepat, namun masih jauh tertinggal dibanding kota-kota utama dunia. Pertumbuhan ini juga tertahan oleh kebutuhan investasi besar, konsumsi energi tinggi, serta hambatan impor peralatan teknologi—mulai dari server hingga sistem penyimpanan—yang belum bisa diproduksi dalam negeri.
Indonesia sebenarnya memiliki peluang menjadi hub pusat data regional karena negara lain seperti Singapura mulai membatasi pembangunan fasilitas baru. Namun realisasi peluang ini membutuhkan ekosistem investasi yang jauh lebih atraktif: proses perizinan yang sederhana, insentif energi terbarukan yang kompetitif, dan kebijakan impor perangkat teknologi yang tidak menghambat pembangunan pusat data skala besar.
Konektivitas Telekomunikasi: Ketimpangan dan Biaya Tinggi
Indonesia menghadapi tantangan geografis yang tidak sederhana dalam membangun jaringan telekomunikasi. Ribuan pulau menyebabkan pemasangan serat optik mahal dan lambat, sementara wilayah rural masih tertinggal jauh dalam akses internet berkecepatan tinggi. Program seperti Bakti Kominfo dan satelit Satria berupaya menjembatani kesenjangan tersebut, namun keterbatasan spektrum, biaya lisensi yang tinggi, serta birokrasi perizinan membuat pemerataan infrastruktur berjalan lambat.
Kecepatan internet nasional juga masih tertinggal dibandingkan negara tetangga. Sementara 5G bergerak lambat karena rendahnya penetrasi perangkat, mahalnya biaya spektrum, dan belum tersedianya rentang frekuensi ideal. Untuk menghadirkan layanan berkualitas dan merata, Indonesia perlu menurunkan hambatan struktural ini melalui penataan kebijakan spektrum yang lebih kompetitif, peran swasta yang lebih besar, serta harmonisasi regulasi di tingkat pusat dan daerah.
Regulasi Kecerdasan Buatan: Tahap Awal yang Masih Eksploratif
Regulasi AI di Indonesia masih bersifat dasar, berupa pedoman etika dari kementerian terkait yang menekankan prinsip kehati-hatian dan perlindungan masyarakat. Pendekatan ini mencerminkan tahap awal adopsi AI nasional, di mana pemerintah memilih pengawasan ketimbang regulasi ketat. Meski langkah awal ini positif, Indonesia perlu bergerak menuju kerangka regulasi yang lebih komprehensif agar AI dapat berkembang secara aman dan bertanggung jawab, termasuk penguatan mekanisme audit algoritma, standar transparansi, serta interoperabilitas dengan regulasi internasional.
Tata Kelola Data: Dari Celah Regulasi Menuju Kejelasan Sistemik
Undang-Undang PDP menjadi tonggak penting bagi perlindungan data di Indonesia. Namun aturan turunannya masih menimbulkan ketidakpastian: waktu respons yang sangat singkat bagi pengendali data, aturan pemberitahuan kebocoran yang luas, dan belum jelasnya mekanisme transfer data lintas negara. Absennya lembaga otoritas PDP juga membuat penegakan aturan sulit dilakukan.
Perbandingan dengan GDPR menunjukkan bahwa Indonesia masih perlu menyempurnakan definisi peran pengendali dan pemroses data, memperjelas prosedur transfer lintas negara, serta mengurangi tumpang tindih regulasi sektoral. Kejelasan tata kelola data sangat penting, bukan hanya untuk perlindungan konsumen, tetapi juga untuk menarik investasi di sektor digital yang mengandalkan kepercayaan dan keamanan.
Rekomendasi Transformasi: Menuju Ekosistem Digital yang Lebih Terbuka
Untuk memperkuat daya saing digital, beberapa rekomendasi utama muncul dari analisis sektor ICT. Pertama, pemerintah perlu mendorong kolaborasi yang lebih besar dengan sektor swasta dalam pembangunan pusat data dan infrastruktur digital karena kapasitas pemerintah saja tidak cukup. Kedua, fokus perlindungan industri melalui pembatasan impor perlu ditinjau ulang dan diganti dengan strategi bertahap yang lebih adaptif terhadap kesiapan industri lokal. Ketiga, penyederhanaan proses perizinan, penyelarasan regulasi pusat-daerah, serta pembentukan unit koordinasi digital nasional dapat mempercepat pembangunan infrastruktur.
Keempat, kebijakan spektrum harus diarahkan pada harga yang lebih rasional dan mendukung persaingan sehat, bukan sekadar sumber penerimaan negara. Kelima, pemerintah harus berperan sebagai fasilitator teknologi baru—mulai dari percepatan 5G hingga WiFi generasi terbaru—agar inovasi dapat tumbuh secara organik di sektor privat. Keenam, penyempurnaan tata kelola data menjadi prasyarat mutlak untuk membangun kepercayaan digital dan memperkuat inovasi berbasis data.
Penutup
Transformasi digital Indonesia tidak hanya bergantung pada banyaknya pengguna internet atau aplikasi digital yang berkembang. Ia berdiri di atas fondasi yang jauh lebih dalam—konektivitas yang kuat, pusat data yang dapat diandalkan, aturan data yang jelas, serta regulasi yang mampu merangkul inovasi sekaligus menjaga keamanan. Membangun fondasi ini adalah pekerjaan panjang yang menuntut arah kebijakan konsisten, ekosistem investasi yang lebih bersahabat, serta keberanian untuk membuka ruang bagi kolaborasi global. Jika langkah-langkah ini ditempuh, Indonesia dapat memperkuat posisinya sebagai kekuatan digital utama di kawasan dalam beberapa dekade mendatang.
Daftar Pustaka
ABC Sector Overview Report – ICT Sector (pp. 104–130).