1. Pendahuluan: Circular Economy sebagai Agenda Transformasi Pembangunan
Dalam banyak literatur global, circular economy sering diposisikan sebagai agenda lanjutan negara maju—sebuah strategi untuk “memperbaiki” sistem produksi dan konsumsi yang telah mapan. Namun, pengalaman Viet Nam menunjukkan konteks yang berbeda. Bagi negara berkembang, circular economy bukan sekadar penyempurnaan teknis, melainkan alat untuk mengoreksi arah pembangunan yang sejak awal bertumpu pada eksploitasi sumber daya, tenaga kerja murah, dan pertumbuhan cepat.
Bab yang ditulis Nguyen, Lai, Pham, dan Nguyen menempatkan circular economy sebagai respons langsung terhadap paradoks pembangunan Viet Nam: keberhasilan ekonomi yang signifikan justru diiringi tekanan lingkungan yang semakin berat. Dalam tiga dekade pasca Đổi Mới, Viet Nam mencatat pertumbuhan PDB rata-rata sekitar 6,4% per tahun (2011–2020) dan peningkatan PDB per kapita lebih dari dua kali lipat. Namun, keberhasilan ini dibangun di atas konsumsi sumber daya yang intensif dan sistem pengelolaan limbah yang rapuh.
Pendahuluan bab ini menegaskan bahwa circular economy di Viet Nam tidak lahir dari idealisme global semata, tetapi dari kebutuhan domestik yang mendesak. Produksi limbah nasional mencapai sekitar 25,5 juta ton per tahun, dengan sekitar 75% masih ditimbun. Di kota-kota besar seperti Ha Noi dan Ho Chi Minh City, tempat pembuangan akhir telah melampaui kapasitas dan kualitas lingkungan—termasuk udara—mengalami degradasi serius. Dalam konteks ini, ekonomi linear tidak lagi sekadar tidak berkelanjutan, tetapi tidak lagi fungsional secara sosial.
Artikel ini berangkat dari tesis bahwa circular economy di Viet Nam harus dibaca sebagai proyek transformasi struktural yang berlapis: ekonomi, kelembagaan, dan budaya. Circular economy bukan hanya tentang daur ulang, tetapi tentang bagaimana negara berkembang menata ulang jalur pertumbuhannya agar tidak mengulang jebakan lingkungan negara industri. Dari titik inilah urgensi penyusunan road map nasional menjadi masuk akal—bukan sebagai dokumen simbolik, tetapi sebagai instrumen arah pembangunan jangka panjang
2. Motivasi Transisi: Pertumbuhan Ekonomi, Tekanan Demografis, dan Batas Lingkungan
Motivasi utama transisi ke circular economy di Viet Nam tidak dapat dilepaskan dari dinamika demografi dan struktur ekonomi. Bab ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang cepat berjalan paralel dengan pertumbuhan penduduk dan urbanisasi. Proyeksi penduduk hingga 2049 memperlihatkan tekanan berkelanjutan terhadap kebutuhan perumahan, transportasi, pangan, energi, dan layanan publik—semuanya berdampak langsung pada konsumsi material dan produksi limbah.
Perubahan struktur ekonomi Viet Nam juga menjadi faktor penting. Kontribusi sektor industri dan jasa meningkat signifikan, sementara sektor pertanian menurun secara relatif. Transformasi ini meningkatkan intensitas energi dan material, sekaligus memperluas jenis limbah—dari limbah domestik hingga limbah industri dan elektronik. Dalam kerangka ekonomi linear, perubahan struktural ini mempercepat degradasi lingkungan dan meningkatkan biaya sosial yang harus ditanggung negara.
Bab ini menekankan bahwa circular economy dipandang sebagai mekanisme harmonisasi antara pertumbuhan dan perlindungan lingkungan. Definisi resmi dalam Undang-Undang Perlindungan Lingkungan 2020 menegaskan circular economy sebagai model yang mencakup desain, produksi, konsumsi, dan layanan dengan tujuan mengurangi ekstraksi bahan baku, memperpanjang umur produk, dan meminimalkan dampak lingkungan. Definisi ini penting karena memperluas circular economy melampaui isu limbah, menuju arsitektur sistem ekonomi secara keseluruhan.
Motivasi lainnya bersifat strategis-global. Viet Nam berkomitmen pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan menghadapi risiko tinggi terhadap perubahan iklim. Ketergantungan pada model pertumbuhan berbasis sumber daya membuat negara ini semakin rentan terhadap fluktuasi global dan kerusakan ekologis. Circular economy kemudian diposisikan sebagai cara untuk meningkatkan ketahanan ekonomi dan lingkungan secara simultan.
Namun, bab ini juga secara implisit mengingatkan bahwa motivasi normatif tidak otomatis menjamin keberhasilan implementasi. Tekanan pertumbuhan, keterbatasan teknologi, dan kapasitas institusional yang belum merata menciptakan ketegangan antara ambisi circular economy dan realitas lapangan. Di sinilah urgensi road map menjadi krusial: bukan untuk menjanjikan transisi instan, tetapi untuk menentukan prioritas dan tahapan yang realistis dalam konteks negara berkembang
3. Praktik Circular Economy yang Telah Ada: Dari Model Tradisional hingga Inisiatif Lokal
Salah satu kekuatan bab ini adalah penolakannya terhadap anggapan bahwa circular economy sepenuhnya merupakan konsep “impor” bagi Viet Nam. Penulis menunjukkan bahwa berbagai praktik yang sejalan dengan prinsip circular economy telah lama hidup dalam sistem ekonomi dan sosial lokal, meskipun tidak pernah diberi label formal sebagai circular economy.
Contoh paling sering dikutip adalah model VAC (Vườn–Ao–Chuồng)—integrasi kebun, kolam, dan peternakan—yang memanfaatkan limbah satu kegiatan sebagai input bagi kegiatan lain. Limbah organik dari peternakan digunakan sebagai pupuk kebun atau pakan ikan, sementara residu tanaman kembali ke tanah. Model ini mencerminkan prinsip sirkularitas dasar: minimisasi limbah, efisiensi sumber daya, dan ketergantungan pada siklus biologis lokal. Dalam skala rumah tangga dan komunitas desa, VAC terbukti tangguh dan relatif berkelanjutan.
Selain VAC, penulis juga menyoroti eco-economic model dan berbagai desa daur ulang (recycling villages) yang tersebar di wilayah peri-urban. Desa-desa ini berkembang sebagai respons ekonomi terhadap meningkatnya limbah perkotaan, khususnya plastik, logam, dan kertas. Dalam banyak kasus, aktivitas daur ulang dilakukan secara informal, berbasis keluarga, dan berorientasi pasar. Dari perspektif ekonomi mikro, desa-desa ini menyediakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat lokal.
Namun, bab ini tidak meromantisasi praktik-praktik tersebut. Justru sebaliknya, ia menekankan bahwa keberadaan praktik sirkular lokal belum tentu berarti transisi sistemik. Model VAC, misalnya, sulit diskalakan dalam konteks urbanisasi cepat dan transformasi struktur ekonomi. Sementara itu, desa daur ulang sering beroperasi dengan teknologi rendah, standar lingkungan yang lemah, dan paparan risiko kesehatan yang tinggi bagi pekerja.
Dengan kata lain, Viet Nam tidak kekurangan praktik sirkular, tetapi praktik tersebut terfragmentasi, berskala kecil, dan terlepas dari kerangka kebijakan nasional. Circular economy hadir sebagai mosaik aktivitas lokal, bukan sebagai sistem ekonomi yang terkoordinasi. Section ini menunjukkan bahwa tantangan utama bukan menciptakan praktik baru, melainkan mengintegrasikan praktik yang sudah ada ke dalam kerangka pembangunan yang lebih luas
.
4. Mengapa Praktik yang Ada Belum Menjadi Transisi Sistemik
Pertanyaan kunci yang kemudian diajukan penulis adalah: jika praktik-praktik circular economy telah ada, mengapa tekanan lingkungan tetap meningkat dan ekonomi linear tetap dominan? Jawaban yang ditawarkan bersifat struktural, bukan moral atau teknis semata.
Pertama, terdapat ketidaksesuaian skala. Sebagian besar praktik sirkular yang berhasil di Viet Nam beroperasi pada skala mikro atau komunitas. Sementara itu, sumber utama tekanan lingkungan berasal dari industrialisasi, urbanisasi, dan ekspansi konsumsi massal. Ketika skala masalah tumbuh jauh lebih cepat daripada skala solusi, dampak agregat dari praktik sirkular lokal menjadi marginal.
Kedua, bab ini menyoroti kesenjangan kelembagaan. Praktik informal seperti desa daur ulang berada di luar sistem regulasi formal, sehingga sulit diintegrasikan ke dalam kebijakan circular economy nasional. Ketiadaan standar lingkungan, akses pembiayaan, dan dukungan teknologi membuat praktik ini bertahan sebagai solusi sementara, bukan fondasi transformasi jangka panjang.
Ketiga, terdapat ketegangan antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan. Banyak kebijakan pembangunan Viet Nam masih memprioritaskan pertumbuhan industri dan investasi asing berbasis biaya rendah. Dalam kerangka ini, circular economy sering diposisikan sebagai pelengkap, bukan sebagai prinsip pengarah pembangunan. Akibatnya, kebijakan sirkular cenderung reaktif—berfokus pada pengelolaan limbah—alih-alih proaktif dalam mengubah desain produksi dan pola konsumsi.
Keempat, penulis menyinggung masalah koordinasi lintas sektor. Circular economy menuntut keterlibatan simultan berbagai kementerian, pemerintah daerah, sektor swasta, dan masyarakat. Namun, fragmentasi kewenangan dan kapasitas institusional yang tidak merata menghambat konsistensi kebijakan. Tanpa koordinasi yang kuat, inisiatif circular economy mudah terjebak sebagai proyek sektoral yang terisolasi.
Section ini memperjelas bahwa tantangan circular economy di Viet Nam bukan terletak pada kurangnya kesadaran atau praktik awal, melainkan pada ketidakmampuan mengubah praktik tersebut menjadi arsitektur sistem ekonomi. Transisi ke circular economy menuntut perubahan pada tingkat perencanaan pembangunan, regulasi industri, dan insentif pasar—bukan sekadar penguatan praktik daur ulang yang sudah ada.
5. Road Map Circular Economy Viet Nam: Tahapan, Prioritas, dan Realisme Kebijakan
Bab ini menegaskan bahwa keberhasilan circular economy di Viet Nam sangat bergantung pada road map yang bertahap dan selektif, bukan pendekatan serba-sekaligus. Penulis menolak gagasan transisi instan menuju ekonomi sirkular penuh, dan justru menekankan pentingnya penentuan prioritas sektor dan instrumen kebijakan yang realistis dalam konteks negara berkembang.
Tahap awal road map difokuskan pada penguatan kerangka hukum dan kelembagaan. Pengakuan circular economy dalam Undang-Undang Perlindungan Lingkungan 2020 menjadi fondasi penting, tetapi implementasinya menuntut peraturan turunan yang jelas, pembagian kewenangan yang tegas antara pemerintah pusat dan daerah, serta mekanisme koordinasi lintas sektor. Tanpa fondasi ini, circular economy berisiko tetap menjadi konsep normatif tanpa daya paksa kebijakan.
Tahap berikutnya menekankan prioritisasi sektor dengan dampak lingkungan tinggi dan kesiapan teknis yang relatif lebih baik, seperti pengelolaan limbah padat perkotaan, plastik, pertanian, dan industri pengolahan pangan. Penulis menunjukkan bahwa memulai dari sektor-sektor ini memungkinkan Viet Nam memperoleh quick wins—pengurangan limbah dan penciptaan nilai ekonomi—tanpa menunggu transformasi industri berat yang lebih kompleks.
Instrumen kebijakan yang diusulkan mencakup penguatan extended producer responsibility (EPR), insentif fiskal untuk desain produk sirkular, serta dukungan pembiayaan dan teknologi bagi usaha kecil dan menengah. Namun, bab ini menekankan bahwa instrumen tersebut hanya efektif jika diselaraskan dengan strategi pembangunan nasional. Circular economy tidak boleh berdiri terpisah sebagai agenda lingkungan, tetapi harus terintegrasi dalam perencanaan industri, energi, dan urbanisasi.
Section ini memperlihatkan bahwa road map circular economy Viet Nam bersifat pragmatis dan inkremental. Tujuannya bukan menciptakan ekonomi sirkular ideal dalam waktu singkat, melainkan mengarahkan lintasan pembangunan agar secara bertahap menjauh dari ketergantungan pada ekonomi linear yang boros sumber daya.
.
6. Kesimpulan: Pelajaran Struktural bagi Negara Berkembang
Artikel ini menunjukkan bahwa circular economy di Viet Nam tidak dapat dipahami sebagai adopsi konsep global secara sederhana. Ia merupakan respons struktural terhadap kontradiksi pembangunan: pertumbuhan ekonomi yang cepat di satu sisi, dan tekanan lingkungan yang semakin berat di sisi lain. Dalam konteks ini, circular economy berfungsi sebagai kerangka korektif, bukan sebagai solusi teknis tunggal.
Analisis terhadap praktik yang telah ada, hambatan sistemik, dan road map kebijakan memperjelas bahwa tantangan utama circular economy di negara berkembang bukan ketiadaan ide atau praktik, melainkan masalah skala, integrasi, dan kelembagaan. Praktik sirkular lokal seperti VAC dan desa daur ulang menunjukkan potensi, tetapi tidak akan menghasilkan perubahan sistemik tanpa dukungan kebijakan yang terkoordinasi dan perubahan arah pembangunan.
Pelajaran yang dapat ditarik bagi negara berkembang lain adalah pentingnya menempatkan circular economy sebagai bagian dari strategi transformasi struktural, bukan sebagai proyek lingkungan yang terpisah. Circular economy perlu disesuaikan dengan konteks demografi, kapasitas institusional, dan struktur ekonomi nasional. Meniru model negara maju tanpa adaptasi berisiko menghasilkan kebijakan yang tidak efektif atau bahkan kontraproduktif.
Pada akhirnya, circular economy di negara berkembang seperti Viet Nam bukan soal mengejar standar sirkularitas tertinggi, melainkan soal mengubah lintasan pembangunan sebelum tekanan lingkungan menjadi tidak terkendali. Keberhasilan tidak diukur dari seberapa cepat ekonomi menjadi “sirkular”, tetapi dari sejauh mana kebijakan mampu menyeimbangkan pertumbuhan, ketahanan sosial, dan batas lingkungan dalam jangka panjang.
Daftar Pustaka
Nguyen, T. H., Lai, N. T., Pham, H. Q., & Nguyen, M. T. (2022). A road map to a circular economy in Viet Nam. Dalam Transitioning to a Circular Economy in Developing Asia. Tokyo: Asian Development Bank Institute.
Asian Development Bank Institute. (2022). Transitioning to a circular economy in developing Asia. Tokyo: ADBI.
Geng, Y., Sarkis, J., & Ulgiati, S. (2016). Sustainability, well-being, and the circular economy in China and worldwide. Science, 352(6283), 209–210.
McDowall, W., Geng, Y., Huang, B., et al. (2017). Circular economy policies in China and Europe. Journal of Industrial Ecology, 21(3), 651–661.
Schandl, H., Fischer-Kowalski, M., West, J., et al. (2016). Global material flows and resource productivity. Journal of Industrial Ecology, 20(4), 827–838.
Wiedmann, T. O., Schandl, H., Lenzen, M., et al. (2015). The material footprint of nations. Proceedings of the National Academy of Sciences, 112(20), 6271–6276.