Membangun Budaya Keselamatan Sejak Tahap Desain: Urgensi Penerapan Design for Construction Safety (DfCS) dalam Kebijakan Infrastruktur Nasional

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana

23 Oktober 2025, 11.05

Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Konstruksi adalah sektor dengan tingkat kecelakaan kerja tertinggi di Indonesia. Data Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia menunjukkan bahwa lebih dari 30% kecelakaan fatal di dunia kerja berasal dari proyek konstruksi, dan sebagian besar disebabkan oleh kelemahan dalam desain awal yang tidak memperhitungkan faktor keselamatan.

Pendekatan Design for Construction Safety (DfCS), sebagaimana dijabarkan dalam panduan DfCS Participant Guide oleh Occupational Safety and Health Administration (OSHA) dan berbagai lembaga keselamatan kerja internasional, menghadirkan paradigma baru dalam perencanaan proyek: keselamatan harus dirancang, bukan hanya diawasi di lapangan.

DfCS menempatkan arsitek, insinyur, dan perancang sistem sebagai aktor utama dalam mencegah kecelakaan. Mereka tidak hanya mendesain struktur yang indah atau efisien secara teknis, tetapi juga aman untuk dibangun, digunakan, dan dirawat. Prinsip ini menuntut kolaborasi lintas disiplin sejak tahap konsepsi proyek — antara desainer, kontraktor, dan pemilik proyek — untuk mengidentifikasi potensi bahaya konstruksi dan menguranginya sedini mungkin.

Bagi Indonesia, terutama dalam konteks percepatan proyek nasional seperti IKN Nusantara, pembangunan bendungan, dan jaringan transportasi massal, penerapan DfCS bukan sekadar pilihan teknis, melainkan kebutuhan kebijakan publik yang strategis. Tanpa pergeseran paradigma ke tahap desain, kebijakan keselamatan kerja akan terus bersifat reaktif, bukan preventif.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Penerapan DfCS telah terbukti efektif secara global. Studi dalam panduan menunjukkan bahwa penerapan prinsip DfCS mampu menurunkan risiko kecelakaan hingga 60% pada proyek besar di Amerika Serikat dan Eropa.

Dampaknya tidak hanya menyelamatkan nyawa, tetapi juga menghemat biaya proyek akibat keterlambatan dan klaim asuransi.

Namun, dalam konteks Indonesia, implementasi DfCS menghadapi tiga hambatan utama:

  • Keterbatasan kapasitas profesional desain. Banyak arsitek dan insinyur belum terlatih untuk mengintegrasikan aspek keselamatan dalam desain teknis. Kurikulum pendidikan tinggi teknik dan arsitektur pun jarang menekankan hal ini.

  • Kurangnya regulasi dan insentif. Saat ini, kebijakan nasional seperti Permen PUPR No.10/2021 tentang SMKK belum secara eksplisit mengatur peran perancang dalam keselamatan desain. Akibatnya, tanggung jawab keselamatan sering kali baru dimulai setelah kontraktor masuk ke lapangan.

  • Budaya kerja yang masih berorientasi pada biaya dan waktu. Fokus proyek sering kali hanya pada penyelesaian cepat dan efisiensi biaya, sementara aspek keselamatan dianggap tambahan, bukan keharusan.

Meski demikian, peluang besar terbuka melalui inisiatif pemerintah terhadap green construction dan digitalisasi BIM (Building Information Modeling). Keduanya dapat dijadikan pintu masuk penerapan DfCS karena memungkinkan simulasi risiko dan integrasi keselamatan sejak desain digital dibuat.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

Berdasarkan temuan dan praktik terbaik dalam DfCS Participant Guide, berikut lima rekomendasi kebijakan yang realistis dan relevan bagi Indonesia:

  1. Integrasikan DfCS dalam Standar Nasional dan Regulasi Teknis
    Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia (PUPR) dan Kemenaker perlu memasukkan DfCS ke dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang perancangan bangunan serta peraturan keselamatan kerja. Hal ini akan memperjelas peran perancang dalam tanggung jawab keselamatan dan memastikan prinsip ini diterapkan sejak awal proyek.

  2. Wajibkan Pelatihan DfCS bagi Profesional Desain
    DfCS harus menjadi bagian dari sertifikasi profesi insinyur dan arsitek, dengan pelatihan berbasis praktik. Pemerintah dapat bekerja sama dengan lembaga seperti Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK), asosiasi profesi (IAI dan PII), serta perguruan tinggi untuk mengembangkan kurikulum nasional tentang keselamatan desain.

  3. Integrasikan DfCS dalam Proyek Pemerintah Melalui BIM
    Semua proyek pemerintah dengan nilai di atas batas tertentu sebaiknya diwajibkan menggunakan BIM dengan modul DfCS terintegrasi. Hal ini memungkinkan simulasi potensi risiko sebelum konstruksi dimulai, sehingga kebijakan ini bersifat preventif sekaligus efisien. 

  4. Bentuk Unit Audit DfCS di Setiap Proyek Infrastruktur Strategis
    Pemerintah dapat membentuk DfCS Safety Audit Unit di bawah Direktorat Jenderal Bina Konstruksi. Unit ini berfungsi melakukan peninjauan terhadap aspek keselamatan dalam desain, memastikan bahwa setiap paket tender mencantumkan komponen DfCS secara eksplisit. 

  5. Berikan Insentif Pajak & Penghargaan bagi Proyek yang Menerapkan DfCS
    Proyek yang mengadopsi DfCS dan terbukti menurunkan risiko kecelakaan dapat diberikan pengurangan pajak atau sertifikasi penghargaan nasional. Kursus pendukung penerapan SMKK

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Kebijakan DfCS berpotensi gagal jika hanya berhenti pada tataran administratif. Tanpa dukungan teknis dan budaya organisasi yang kuat, penerapan DfCS bisa menjadi sekadar formalitas di atas kertas.

Beberapa potensi risiko kebijakan antara lain:

  • Desainer tidak dilibatkan dalam tahap konstruksi, sehingga masukan keselamatan tidak diterjemahkan dengan benar di lapangan.

  • Kurangnya koordinasi lintas kementerian (PUPR, Ketenagakerjaan, Bappenas) menyebabkan kebijakan saling tumpang-tindih.

  • Minimnya sistem monitoring dan evaluasi membuat penerapan DfCS sulit diukur keberhasilannya.

Karena itu, kebijakan ini harus diiringi mekanisme evaluasi berbasis data. Misalnya, sistem pelaporan nasional tentang insiden proyek yang dihubungkan dengan kualitas desain. Pendekatan ini akan memperkuat transparansi dan akuntabilitas.

Penutup

Design for Construction Safety (DfCS) adalah kunci transformasi keselamatan kerja di sektor konstruksi. Paradigma ini menuntut agar keselamatan tidak lagi menjadi urusan akhir, melainkan bagian dari DNA desain itu sendiri.

Untuk Indonesia, penerapan DfCS berarti berinvestasi pada nyawa pekerja, efisiensi proyek, dan reputasi nasional dalam tata kelola infrastruktur. Melalui kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan sektor industri—dan dukungan kursus-online seperti yang disediakan oleh Diklatkerja—Indonesia dapat menjadi contoh Asia Tenggara dalam membangun budaya desain yang aman, produktif, dan berkelanjutan.

Sumber

OSHA & NIOSH. Design for Construction Safety (DfCS) Participant Guide, 2023.